data-config="{'skin':'skins/scmGreen/skin.css','volume':100,'autoplay':true,'shuffle':false,'repeat':1,'placement':'top','showplaylist':false,'playlist':[{'title':'Nurul Musthofa-Ya Dzaljalali Wal Ikram ','url':'http://www.youtube.com/watch?v=_eV6T3hpwEA'},{'title':'Nurul Musthofa-Ya Robbi Sholli Ala Muhammad','url':'http://www.youtube.com/watch?v=2vwjFDiMhv0'}]}" >


Selasa, 04 September 2012

Prototipe Dua Perempuan dari Keluarga Wahid dalam Menyikapi Ahmadiyah dan Muslim Rohingya.

ADA DUA SOSOK perempuan dari keluarga Wahid, yang sering muncul di layar kaca, atau sepak-terjangnya jadi liputan media massa. Mereka adalah Yenny Wahid, anak kedua mendiang Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Satunya lagi, Lily Wahid, adik kandung mendiang Abdurrahman Wahid.
Yenny Wahid sangat bersemangat ketika terjadi kasus Ahmadiyah (kerusuhan Cikeusik Banten, 6 Februari 2011). Suaranya lantang, langkahnya menerjang, bagai kuda jalang. Tapi, ketika umat Islam Rohingya dibantai, suaranya nyaris tak terdengar.
Begitu juga dengan Lily Wahid yang bersemangat tinggi membela kaum kafirin dalam persoalan pendirian Gereja, yang menimbulkan sengketa antara jemaat Gereja Yasmin dengan warga Curug Mekar Komplek Yasmin Bogor. Saat itu Lily dengan gagah perkosa berdiri di pihak Gereja Yasmin. Namun ketika terjadi genosida di Myanmar, suaranya juga nyaris tak terdengar.
Masyarakat masih ingat, ketika kasus Ahmadiyah di Cikeusik hangat diberitakan, Yenny dan Lily menerjang Gubenur, Menteri bahkan Presiden. Ketika Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah saat itu mengungkapkan harapannya agar Jemaat Ahmadiyah yang berjumlah sekitar 1.120 orang dan tersebar di enam kecamatan di Provinsi Banten dapat segera bertobat, Yenny menentang. Menurut Yenny, pernyataan Ratu Atut Chosiyah tersebut bernada provokasi dan tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Bahkan Yenny seperti meledek: “Saya baru tahu Gubernur Banten mempunyai mandat dari Tuhan untuk meluruskan manusia. Saya pikir menjadi gubernur hanya mendapat mandat dari masyarakat saja.”
Kalau Ratu Atut Chosiyah dalam kapasitasnya sebagai gubenur mendapat mandat dari masyarakat untuk menyadarkan agar pengikut Ahmadiyah bertobat, lha Yenny dapat mandat dari siapa membela Ahmadiyah?
Bukan hanya pejabat setingkat gubernur yang dikritisi Yenny, juga menteri. Menurut Yenny, SKB tiga menteri yang diterbitkan 9 Juni 2008 dan berkenaan dengan Ahmadiyah, dinilai telah dijadikan landasan bertindak bagi sekelompok orang untuk melakukan penyerangan terhadap warga Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten.
Bahkan Lily Wahid, ketika itu mengatakan bahwa kasus Cikeusik 6 Februari 2011 merupakan bagian dari kegagalan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Lily menilai, SBY selama ini telah gagal mengurusi ekonomi, menjaga keamanan, dan memberantas korupsi. Tidak hanya menilai SBY gagal, Lily juga ‘mendesak’ agar SBY segera mundur: “…kalau seandainya nanti dia tidak sanggup kita akan minta dia mundur, dia tidak sanggup perbaiki ekonomi, menjaga keamanan, dia tidak sanggup memberantas korupsi mungkin kita akan minta dia mundur..”
Tapi sampai saat ini, belum ada suara tegas dan kongkrit dari Lily Wahid dan partainya yang secara rsmi meminta SBY untuk mundur dari jabatannya. Cuma rame saat itu doang.
Dalam kaitan ini, yang paling kasihan ya SBY, sang presiden. Ia tidak berani membubarkan Ahmadiyah, tidak bersikap tegas, bahkan cenderung membela, namun tetap disalah-salahkan oleh para pendukung kesesatan seperti Lily Wahid ini. Di sisi lain, ia dikecam umat Islam yang menghendaki Ahmadiyah dibubarkan. Ibarat pisang gepeng, digencet dari dua belah sisi sebelum akhirnya dihidangkan untuk disantap.
Ahmadiyah diusik keberadaannya, karena ajarannya memalsukan Islam, seolah-olah sama dengan Islam namun berbeda secara mendasar, bukan sekedar perbedaan penafsiran.
Muslim Rohingya jelas berbeda dengan Ahmadiyah. Mereka tidak memalsukan agama Budha atau Kristen yang hidup di Myanmar. Keislaman mereka sama dengan umat Islam lain di seluruh pelosok dunia. Masalahnya, orang kafir beragama Budha yang mayoritas itu, memang membenci Islam dan ogah berdampingan dengan etnis Rohingya. Seperti iblis yang menjadi musuh nyata manusia bani Adam as.
Menurut catatan Indra Sastrawat, sesungguhnya Muslim Rohingya merupakan penduduk asli kawasan Arakan, yang saat itu berupa kerajaan yang dipimpin oleh seorang Raja dari etnis Rohingya. Belakangan, Arakan dibanjiri pendatang dari Tibet, yang jumlahnya kian menggelembung, dan akhirnya menggusur dominasi pribumi Rohingya, bahkan dikenal dengan nama etnis Rakhine yang dianggap lebih ‘pribumi’ dari Rohingya. Mirip kasus syi’ah di Iran yang mengalahkan dominasi Suni karena digelembungkan oleh zionis dan sekutunya (AS).
Kalau kasus Ahmadiyah di Cikeusik dilakoni oleh segelintir umat Islam yang amatiran, di Myanmar pelaku genosida adalah pemerintah dan militer. Resmi. Seperti genosida yang pernah berlangsung di Bosnia beberapa tahun lalu.
Nah, dua perempuan dari keluarga Wahid ini mungkin pengetahuannya belum sampai sejauh itu, sehingga mereka tidak mampu berkata-kata sepatah pun. Mungkin peta intelektualitas mereka baru berkisar Jombang, Ciganjur, Cikesusik dan kabupaten Bogor, belum jauh sampai ke Myanmar. Jadi, harap maklum adanya.
SBY dan SAS
Pada 15 Februari 2012, di hadapan 128 Duta Besar negara asing yang berkumpul di Kantor Kementerian Luar Negeri, SBY mengatakan: “Soal Ahmadiyah dan GKI Yasmin, saya perlu jelaskan, negara tidak melarang siapa pun yang memiliki keyakinan.”
Pernyataan tersebut jelas bertabrakan dengan aspirasi umat Islam yang menginginkan Ahmadiyah dibubarkan, dan pemalsu dokumen pendirian Gereja Yasmin ditertibkan. Terkesan SBY membela keduanya, dalam rangka menyenangkan para Dubes asing tadi.
Sementara itu, menyikapi kasus Rohingya, SBY mengatakan bahwa konflik di Myanmar adalah konflik horizontal antara etnis Rohingya dengan etnis Rakhai. Bahkan SBY menyamakannya dengan konflik horizontal yang pernah terjadi di Ambon dan Poso. Sepertinya SBY menolak konflik di Myanmar itu sebuah genosida terhadap Muslim Rohingya. “Kebetulan etnis Rohingya itu beragama Islam, sedangkan Rakhai beragama Buddha.”
Pernyataan itu disampaikan SBY di kediaman pribadinya, pada Sabtu petang tanggal 04 Agustus 2012.
Dalam konflik Poso yang berlangsung sejak 1998 dan berakhir beberapa tahun kemudian, salah satu episodenya (Mei 2000), terjadi pembantaian terhadap komunitas pesantren Walisongo. Pelakunya Tibo dan kawan-kawan. Apakah dapat dikatakan bahwa kebetulan saja korbannya warga ponpes Walisongo) beragama Islam, sedangkan pelaku pembunuhannya kebetulan beragama Kristen? (lihat http://umarabduh.blog.com/2011/05/30/jangan-lupakan-poso/)
Kalau terhadap umat Islam di Indonesia SBY terkesan kurang membela, apalagi terhadap muslim Rohingya.
Bagaimana dengan Said Agil Siradj yang selama ini terkenal sebagai pembela kesesatan dan kekafiran? Di kantor PBNU di Jakarta, pada tanggal 01 Agustus 2012 SAS mengatakan, “… kami sangat mengutuk isu tersebut. Kami sangat prihatin, bukan dari sisi politik, namun kemanusiaan.”
Respon SAS tentang kasus muslim Rohingya muncul setelah ia diminta beberapa wakil komunitas Buddha yang khawatir konflik atau genosida terhadap muslim Rohingya yang dilakukan oleh umat Budha, merembet ke Indonesia. Sebab, sudah ada suara-suara yang menghendaki agar vihara-vihara Budha ditutup.
Rupanya, SAS melakukan jumpa pers kala itu dalam rangka membela umat Budha Indonesia yang khawatir ada ‘pembalasan’ dari umat Islam Indonesia terhadap umat Budha Indonesia, ketimbang dalam rangka membela muslim Rohingya yang jauh di sana.
Makanya, dalam jumpa pers kala itu, SAS cenderung mengatakan agar umat Islam di Indonesia untuk tidak terpancing dengan tragedi kemanusiaan yang menimpa etnis Muslim Rohingya di Myanmar; konflik yang terjadi di Myanmar jangan sampai merambat ke Indonesia, karena hubungan antara umat Islam dan Budha di Indonesia selama ini selalu harmonis. Oleh karena itu SAS berusaha meyakinkan: “Jihad ke Myanmar itu tidak perlu. Itu bukan urusan kita.”
Jadi, ketika muslim Rohingya dibantai, itu bukan urusan kita, bukan urusan SAS? Sementara itu kekhawatiran umat Budha akan kemungkinan terjadinya ‘pembalasan’ dari umat Islam Indonesia terhadap umat Budha Indonesia merupakan urusan yang lebih penting bagi SAS? Begitulah watak pembela kesesatan dan kekafiran.
***
Mari kita renungkan dan hayati ayat ini.

 أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ أَنْ لَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ أَضْغَانَهُمْ(29)

وَلَوْ نَشَاءُ لَأَرَيْنَاكَهُمْ فَلَعَرَفْتَهُمْ بِسِيمَاهُمْ وَلَتَعْرِفَنَّهُمْ فِي لَحْنِ الْقَوْلِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ أَعْمَالَكُمْ(30)

Atau apakah orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya mengira bahwa Allah tidak akan menampakkan kedengkian mereka? (QS Muhammad: 29).
Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya. Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kamu. (QS Muhammad: 30).
Imam Ibnu Katsir memaknakan lahnul qaul adalah apa-apa yang muncul dari pembicaraan mereka yang menunjukkan atas maksud-maksud mereka, (di mana) pembicara difahami dari kelompok mana dia dengan makna-makna dan maksud pembicaraannya. Itulah yang dimaksud dengan lahnul qaul. (Tafsir Ibnu Katsir QS Muhammad ayat 30).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar