data-config="{'skin':'skins/scmGreen/skin.css','volume':100,'autoplay':true,'shuffle':false,'repeat':1,'placement':'top','showplaylist':false,'playlist':[{'title':'Nurul Musthofa-Ya Dzaljalali Wal Ikram ','url':'http://www.youtube.com/watch?v=_eV6T3hpwEA'},{'title':'Nurul Musthofa-Ya Robbi Sholli Ala Muhammad','url':'http://www.youtube.com/watch?v=2vwjFDiMhv0'}]}" >


Sabtu, 22 September 2012

DKI Punya Taoke Baru Dari Solo dan Bangka.

Jakarta (voa-islam.com) DKI Jakarta bakal punya "taoke" (bos) baru dari Solo dan Bangka. Dapat dipastikan Jokowi dan Ahok akan menjadi pemangku kekuasaan di ibukota Jakarta.
Berdasarkan penghitungan cepat (quickcount), menunjukkan Jokowi-Ahok mendapat dukungan suara 52,7 persen. Sedangkan Foke-Nara mendapat dukungan suara 47 persen. Selisih antara Jokowi-Ahok dengan Foke-Nara hanya 5 persen.

Kemenangan Jokowi-Ahok, yang diusung oleh PDIP dan Gerindra itu, karena memang tak lepas dari rekayasa dan dukungan media yang sangat luas. Orang  Solo dan Bangka itu, digambarkan atau dicitrakan oleh media sekuler dan kristen, sebagai juru selamat, yang bakal bisa mengubah ibukota.
Dengan model kampanye melalui YouTube, serta dukungan media jejaring sosial, yang sangat luas, akhirnya sukses membuat citra wong Solo dan orang Bangka itu, berhasil menggusur incumbent, Foke. Jokowi-Ahok digambarkan sebagai antitesa dari Foke. Begitu gegap gempitanya media mengusung dan mengarak Jokowi-Ahok, melalui berbagai event, yang berlangsung secara terus-menerus dan sistematis.

Mirip ketika sesudah kejatuhan rezim Soeharto, dan digantikan oleh Habibie, yang  menyelenggarakan pemilu pertama di era reformasi, tahun l999, dan secara sistematis, digambarkan Megawati yang anak keturunan Bung Karno, dianggap sebagai juru selamat, bahkan digambarkan sebagai "Ratu Adil", yang akan membawa kebahagian dan kesejahteraan rakyat kecil.
Sampai-sampai PDIP diidentikkan sebagai "Partai Wong Cilik". Tetapi, sesudah Mega berkuasa, kenyataannya, tetap saja nasib "wong cilik", tak pernah terangkat, tetap jelata dan miskin. Sementara itu, para pejabat partai PDIP, yang menjadi gemuk, dan terbukti, banyak kader-kader PDIP, yang menjadi pejabat, kemudian masuk bui. Begitulah seterusnya.
Sampai muncul tokoh baru, sesudah era Mega berakhir, yaitu "satrio piningit", yaitu SBY. Kembali lagi nasib rakyat tak pernah menjadi makmur alias sejahtera. Bahkan, di zamannya SBY ini, rakyat didera berbagai kenaikan harga-harga yang bertubi-tubi, sehingga jumlah rakyat miskin semakin berttambah-tambah.
DKI Jakarta sudah berapa kali ganti "taoke", para pemangku kekuasaan di DKI, silih berganti datang dan pergi. Sekarang muncul Jokowi-Ahok, yang dicitrakan oleh media massa, sebagai tokoh yang sukses di  Solo dan Bangka.

Jokowi tokoh yang bersahaja, bersih sebersih kaca, tak tersentuh oleh bau-bau korupsi. Merakyat dan sangat dekat dengan rakyat. Di Solo Jokowi keliling kampung, tanpa dikawal polisi, ikut makan lesehan dengan rakyat. Kalau pergi naik pesawat tidak mau menggunakan "first class", pokoknya segala kebaikan ditempelkan di dada Jokowi-Ahok.
Tetapi, rakyat di Jakarta membutuhkan bukti, apakah Jokowi-Ahok, juru selamat, atau hanya bikinan media, yang memang mereka sudah berkolaborasi dan ingin mendepak Foke?
Memang, pendukung Foke adalah partai-partai yang citranya sudah busuk, di mata rakyat. Rakyat juga sudah jenuh dengan Foke. Dua kali menjadi wakilnya Sutiyoso, dan sekali memegang kekuasaan di DKI, sebagai gubernur, tanpa banyak perubahan, yang benar-benar dirasakan oleh rakyat dengan APBD, Rp 140 triliun.
Sementara orang-orang kampung datang ke Jakarta terus berduyun-duyun, setiap tahunnya, sekadar mencari makan. Tanpa keahlian. Akhirnya, menjadi beban Pemprov DKI, dan di mana-mana, nampak kekumuhan belaka.

Tetapi, memang mengelola DKI Jakarta, tidak seperti mengelola Solo dan Bangka, di mana DKI, sebagai pusat ekonomi, politik, dan budaya, serta gerbang internasional bagi Indonesia, dan dengan APBD Rp 140 triliiun, serta PAD Rp 60 triliun, membuat semua orang menjadi "ngiler", dan begitu kuatnya tarikan kepentingan. Kalangan pengusaha, sampai pusat kekuasaan.
Kemenangan Jokowi-Ahok hanya didukung 52,7 persen suara.  Sementara Foke mendapat dukungan 47 persen suara. Tentu yang paling menarik suara Partai "Golput", sangat signifikan yaitu mencapai 37 persen. Konstan tidak berubah seperti pada putaran pertama. Artinya, pemilih DKI jumlahnya yang terdaftar, 6,9 juta, dan yang "Golput" 37 persen, kemudian sisanya dibagi dua antara Jokowi-Foke, sejatinya yang menang pemilukada di DKI, tak lain, Partai "Golput".

Masih begitu besarnya penduduk DKI, yang tak yakin akan fiigur Jokowi ataupun Foke, dan mereka memilih "Golput". "Golput" adalah orang-orang yang tidak percaya kepada partai politik, figur, dan sistem demokrasi, yang hanya menghasilkan tokoh-tokoh, tak bakal dapat diharapkan memperbaiki keadaan.
Seperti yang sudah-sudah, tokoh-tokoh yang dimunculkan partai politik, sebagai calon presiden, gubernur, bupati, dan walikota, ujung-ujungnya mengecewakan rakyat alias "mblegedes", kata orang jawa. Hanya manis diujung dengan janji-janjinya, ketika kampanye, tetapi kenyataannya tak pernah terbukti, ketika sudah berkuasa. Wallahu'alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar