Jakarta (voa-islam.com) DKI Jakarta bakal punya
"taoke" (bos) baru dari Solo dan Bangka. Dapat dipastikan Jokowi dan
Ahok akan menjadi pemangku kekuasaan di ibukota Jakarta.
Berdasarkan penghitungan cepat (quickcount), menunjukkan Jokowi-Ahok
mendapat dukungan suara 52,7 persen. Sedangkan Foke-Nara mendapat
dukungan suara 47 persen. Selisih antara Jokowi-Ahok dengan Foke-Nara
hanya 5 persen.
Kemenangan Jokowi-Ahok, yang diusung oleh PDIP dan Gerindra itu,
karena memang tak lepas dari rekayasa dan dukungan media yang sangat
luas. Orang Solo dan Bangka itu, digambarkan atau dicitrakan oleh media
sekuler dan kristen, sebagai juru selamat, yang bakal bisa mengubah
ibukota.
Dengan model kampanye melalui YouTube, serta dukungan media jejaring
sosial, yang sangat luas, akhirnya sukses membuat citra wong Solo dan
orang Bangka itu, berhasil menggusur incumbent, Foke. Jokowi-Ahok
digambarkan sebagai antitesa dari Foke. Begitu gegap gempitanya media
mengusung dan mengarak Jokowi-Ahok, melalui berbagai event, yang
berlangsung secara terus-menerus dan sistematis.
Mirip ketika sesudah kejatuhan rezim Soeharto, dan digantikan oleh
Habibie, yang menyelenggarakan pemilu pertama di era reformasi, tahun
l999, dan secara sistematis, digambarkan Megawati yang anak keturunan
Bung Karno, dianggap sebagai juru selamat, bahkan digambarkan sebagai "Ratu Adil", yang akan membawa kebahagian dan kesejahteraan rakyat kecil.
Sampai-sampai PDIP diidentikkan sebagai "Partai Wong Cilik". Tetapi, sesudah Mega berkuasa, kenyataannya, tetap saja nasib "wong cilik",
tak pernah terangkat, tetap jelata dan miskin. Sementara itu, para
pejabat partai PDIP, yang menjadi gemuk, dan terbukti, banyak
kader-kader PDIP, yang menjadi pejabat, kemudian masuk bui. Begitulah
seterusnya.
Sampai muncul tokoh baru, sesudah era Mega berakhir, yaitu "satrio piningit",
yaitu SBY. Kembali lagi nasib rakyat tak pernah menjadi makmur alias
sejahtera. Bahkan, di zamannya SBY ini, rakyat didera berbagai kenaikan
harga-harga yang bertubi-tubi, sehingga jumlah rakyat miskin semakin
berttambah-tambah.
DKI Jakarta sudah berapa kali ganti "taoke", para pemangku
kekuasaan di DKI, silih berganti datang dan pergi. Sekarang muncul
Jokowi-Ahok, yang dicitrakan oleh media massa, sebagai tokoh yang sukses
di Solo dan Bangka.
Jokowi tokoh yang bersahaja, bersih sebersih kaca, tak tersentuh oleh
bau-bau korupsi. Merakyat dan sangat dekat dengan rakyat. Di Solo
Jokowi keliling kampung, tanpa dikawal polisi, ikut makan lesehan dengan
rakyat. Kalau pergi naik pesawat tidak mau menggunakan "first class", pokoknya segala kebaikan ditempelkan di dada Jokowi-Ahok.
Tetapi, rakyat di Jakarta membutuhkan bukti, apakah Jokowi-Ahok, juru
selamat, atau hanya bikinan media, yang memang mereka sudah
berkolaborasi dan ingin mendepak Foke?
Memang, pendukung Foke adalah partai-partai yang citranya sudah
busuk, di mata rakyat. Rakyat juga sudah jenuh dengan Foke. Dua kali
menjadi wakilnya Sutiyoso, dan sekali memegang kekuasaan di DKI, sebagai
gubernur, tanpa banyak perubahan, yang benar-benar dirasakan oleh
rakyat dengan APBD, Rp 140 triliun.
Sementara orang-orang kampung datang ke Jakarta terus berduyun-duyun,
setiap tahunnya, sekadar mencari makan. Tanpa keahlian. Akhirnya,
menjadi beban Pemprov DKI, dan di mana-mana, nampak kekumuhan belaka.
Tetapi, memang mengelola DKI Jakarta, tidak seperti mengelola Solo
dan Bangka, di mana DKI, sebagai pusat ekonomi, politik, dan budaya,
serta gerbang internasional bagi Indonesia, dan dengan APBD Rp 140
triliiun, serta PAD Rp 60 triliun, membuat semua orang menjadi "ngiler", dan begitu kuatnya tarikan kepentingan. Kalangan pengusaha, sampai pusat kekuasaan.
Kemenangan Jokowi-Ahok hanya didukung 52,7 persen suara. Sementara
Foke mendapat dukungan 47 persen suara. Tentu yang paling menarik suara
Partai "Golput", sangat signifikan yaitu mencapai 37 persen.
Konstan tidak berubah seperti pada putaran pertama. Artinya, pemilih DKI
jumlahnya yang terdaftar, 6,9 juta, dan yang "Golput" 37 persen, kemudian sisanya dibagi dua antara Jokowi-Foke, sejatinya yang menang pemilukada di DKI, tak lain, Partai "Golput".
Masih begitu besarnya penduduk DKI, yang tak yakin akan fiigur Jokowi ataupun Foke, dan mereka memilih "Golput". "Golput"
adalah orang-orang yang tidak percaya kepada partai politik, figur, dan
sistem demokrasi, yang hanya menghasilkan tokoh-tokoh, tak bakal dapat
diharapkan memperbaiki keadaan.
Seperti yang sudah-sudah, tokoh-tokoh yang dimunculkan partai
politik, sebagai calon presiden, gubernur, bupati, dan walikota,
ujung-ujungnya mengecewakan rakyat alias "mblegedes", kata
orang jawa. Hanya manis diujung dengan janji-janjinya, ketika kampanye,
tetapi kenyataannya tak pernah terbukti, ketika sudah berkuasa.
Wallahu'alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar