Aleppo (voa-islam.com) Menjelang
temaram senja yang memerah. Tanda matahari akan jatuh di ufuk.
Perlahan-lahan kegelapan langit menyertai. Tetapi, di kota Aleppo terus
terdengar bunyi berdentum. Tanpa henti.
Siraman senjata berat dari pasukan al-Assad, tanpa henti. Seakan ingin
memupus semua harapan yang ada. Tak pernah memberikan kesempatan jeda,
sedikitpun bagi para mujahid, yang masih bertahan di jantung kota
Aleppo. Kota yang hanya tinggal reruntuhan dan puing-puing, akibat
hantaman bom, siang dan malam.
Di
jantung kota Aleppo yang dikepung oleh pasukan Suriah selama lebih
dari lima minggu, pasangan muda menemukan cintanya dalam perang. Dalam
perang yang berkecamuk. Dentuman senjata berat, meriam dan howitzer,
serta serangan udara, tak henti-henti.
Tetapi,
seorang mujahid, menyatakan sumpahnya (ijab-kabul), dan menikah dengan
seorang yang dicintainya, di tengah berkecamuknya perang. Keduanya
mengucapkan ijab-kabul di tengah keadaan perang, yang masih sangat
menakutkan. Bagi siapapun.
Bom-bom
yang berjatuhan, silih-berganti, yang mengeluarkan bola api, yang
menjadikan langit menjadi benderang, tetapi menghancurkan semuanya,
termasuk mereka yang ada di kota Aleppo. Di tengah-tengah peperangan
yang sangat dahsyat itu, berlangsung upacara pernikahan sederhana, di
kota Saif al-Dawla, kota kedua terbesar di Suriah. Mereka sedikit
melupakan perang.
Pernikahan
itu seperti sebuah keajaiban. Pernikahan yang penuh dengan pengorbanan
dan keikhlasan. Di mana seorang mujahid, yang menjadi "sniper", Abu Khaled yang mengalami luka parah dikakinya, yang terkena ledakan mortir, dan Hanan, yang menjadi perawat.
Hanan dengan penuh kesetiaan, ketulusan, dan selalu membersihkan luka
di kaki Abu Khaled, serta merawatnya dengan penuh perhatian. Itulah yang
mengawali pernikahan mujahid Abu Khalid dengan Hanan. Sangat indah.
Tidak dapat diuntai dengan kata-kata. Tatkala Abu Khaled meletakkan
cincin di jari Hanan, dan dengan pandangan yang sangat mengharukan
sebagai suami.
Sebenarnya,
ketika Hanan merawat Abu Khaled, yang mengalami luka parah di kakinya,
wakktu itu sudah memasuki hari ke 20, maka saat itulah Abu Khaled
terbetik dalam hatinya, bahwa dirinya mencintai Hanan. Itulah ingatan
yang terlintas di benak Abu Khalid, ketika mengingat, kapan saat ia
jatuh cinta dengan Hanan "pada pandangan pertama."
"Aku melihatnya pertama di sebuah sekolah pertama Coneta. Dari pandangan pertama, aku mencintainya. Lalu
aku terkena ledakan mortir di kaki ku, dan dia sedang membersihkan
luka ku sehari-hari, dan hari demi hari, kemudian aku lebih
mencintainya lagi, "kata Abu Khaled, yang menipiskan jenggotnya, saat
melangsungkan pernikahan.
Hanan
tersenyum kecil, ketika mengenang kembali pertemuan dengan Abu Khaled,
pria yang sangat pendiam, dan hanya sekali-kali tersenyum. Semuanya
karena situasi perang, yang mengharuskan Abu Khaled, selalu berwaspada.
Perang terus berkecamuk, dan dentuman bom, terus berlangsung, pernikahan
yang sangat sederhana itu, tak dapat berlangsung lama-lama.
Sedangkan
Abu Khaled yang baru sembuh dari lukanya, harus pergi ke medan
pertempuran meninggalkan Hanan,yang baru saja dinikahinya.Laporannya
tentang awal cinta mereka membangkitkan senyum dari istrinya, yang saat
menikah hanya menggunakan make-up yang sangat sederhana sekali.
"Ketika
kita bertemu ada sesuatu," kenang Hanan, wanita berusia 23 tahun, yang
mengenakan pakaian yang sangat sederhana, berkerudung putih dan blus
perawat.
Hanan
kehilangan adiknya dalam pertempuran yang berdarah di Aleppo, dan
Hanan menemukan gantinya, Abu Khaled. Perang yang berlangsung sejak
Maret 2011, terus berlangsung hingga kini, tak tahu kapan akan berakhir.
"Cintaku
menjadi sangat kuat, ketika adikku terbunuh. Aku tak memiliki orang
yang aku sayangi lagi. Tetapi, Allah memberikan gantinya", tutur Hanan
yang duduk disamping AbuKhaled, yang mengenakan jaket militer dengan
banyak kantong. "Dan dia adalah seorang penembak jitu yang revolusioner!", tambah Hanan, sambil tersenyum.
Pengantin duduk di kursi besar, menurut adat. Di belakang mereka, sebuah bendera revolusioner tergantung di dinding. Mereka
iris kue cokelat di bagikan kepada para pejuang, dan mereka
melambaikan tangan, sembari menyatakan: "Kami mencintai kehidupan, dan
masih di sini", ungkap mereka.
Seorang
komandan Angkatan Darat Suriah yang sudah tergabung dalam FSA, yang
bergabung dalam menentang rezim Bashar al-Assad menyampaikan
sambutannya. "Inilah kehidupan yang tak pernah kita bayangkan dahulu.
Tetapi, semuannya berlangsung dengan penuh karunia. Semoga Abu Khaled an
Hanan menjadi tanda kehidupan baru kita", ujarnya.
Upacara kemudian pindah di luar. Para
tamu mengucapkan selamat kepada Abu Khaled dan Hanan, dan para
pejuang yang mengelilingi pengantin baru, kemudian meneriakkan
slogan-slogan revolusi melawan rezim Assad. "Kebebasan, kami ingin kebebasan!". Mereka bernyanyi bersama.
"Tidak ada yang bisa menghentikan kehidupan. Tidak ada yang bisa menghentikan para pejuang yang menginginkan kemerdekaan. Tidak
ada yang dapat menghentikan yang pergi berjihad bersama dengan Tuhan,"
ungkap salah seorang tamu. Sedangkan Abu Khaled tetap memegang senapan
serbu Kalashnikov di tangannya.
Tak
jauh dari tempat melangsungkan pernikahan itu, jauhnya beberapa blok,
asap membumbung tinggi dari reruntuhan bangunan akibat serangan pasukan
Bashar al-Assad, yang terus-menerus menghujani pasukan pejuang FSA,
yang ada di kota Aleppo. Para mujahid itu, bersama denga Abu Khaled
mereka pergi, meninggalkan pesta pernikahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar