data-config="{'skin':'skins/scmGreen/skin.css','volume':100,'autoplay':true,'shuffle':false,'repeat':1,'placement':'top','showplaylist':false,'playlist':[{'title':'Nurul Musthofa-Ya Dzaljalali Wal Ikram ','url':'http://www.youtube.com/watch?v=_eV6T3hpwEA'},{'title':'Nurul Musthofa-Ya Robbi Sholli Ala Muhammad','url':'http://www.youtube.com/watch?v=2vwjFDiMhv0'}]}" >


Rabu, 31 Oktober 2012

Dan Anak-Anak Palestina pun Terkapar.

Anak-anak kecil dan bayi adalah hal yang membuat dunia menjadi begitu bersih dan udara menjadi sejuk untuk dihirup. Mereka memberi arti pada sosok ibu di rumah dan membuat langkah ayah menjadi tegap menuju tempat kerja. Tangisan, tawa, teriakan, dan celotehan mereka adalah anugerah yang tak ada bandingannya.

Dalam waktu sebelas hari, Israel dengan telengas sudah mengubah fitrah anak-anak Palestina di Jalur Gaza. Anak-anak dan bayi kehilangan makna, dan dilanda ketakutan amat sangat—itu karena, satu persatu, dalam jangka waktu yang demikian cepat, mereka kehilangan ayah dan ibunya. Lebih memilukan lagi, mereka pun kehilangan nafasnya yang terakhir.

Dalam sejarah peperangan, Islam tak pernah menorehkan catatan jika ada orang tua, perempuan dan anak-anak tersakiti setiap kali tentara Islam maju ke pertempuran. Israel tak mengenal itu. Anak-anak Palestina tetap menjadi sasaran rudal dan peluru mereka…



Ia yang pergi adalah tabungan kelak di akhirat. Tapi Yahudi Israel adalah penjahat kakap di dunia yang tak punya hati dan rasa.

Sebelum kafan menutupimu, wajahmu adalah semangat bagi kami.

Luka di pelipisnya dan hidungnya yang robek akan hilang sakitnya. Tapi ingatan terhadap biadabnya Yahudi akan terus ada sepanjang masa.

Dalam usianya yang masih sangat belia, ia telah menyaksikan begitu banyak darah, luka, kematian dan kehilangan.



Bocah ini kehilangan sebelah muka dan satu telinganya.

Ia sendirian di antara gedung yang akan roboh, sementara dentuman bom menakutkannya. Tak ada ayah atau ibu…

Dengan apa kami ceritakan semua yang kini terjadi pada bumi Palestina? Satu yang pasti, ini semua karena Yahudi durjana.

Para bocah Gaza yang selamat mengiringi prosesi kematian seorang adik kecil temannya.



Di tengah dentuman bom, di antara mesiu dan roket, kami tetap tersenyum untuk tetap terus mengibarkan Palestina dan membela Islam. Kami tak akan pernah menyerah!

Anak-Anak Palestina Tak Pernah Takut Israel

Kita sudah paham betul kalau anak-anak Palestina setiap hari hidup di bawah ancaman Israel yang tidak main-main; nyawa menjadi tuntutannya. Sepanjang Operasi cast Lead Januri 2009, sedikitnya 500 orang meninggal karena serangan Israel.

Anak-anak itu wafat bukan karena salah tembak atau salah prosedur dari militer Israel, tetapi memang begitulah kekejaman Israel berlangsung. Anak-anak Palestina adalah target pembantaian Israel. Israel takut jika generasi Palestina menjadi kuat dan bertambah banyak, berbeda dengan rakyat Palestina, walaupun masih anak-anak tak pernah sedikitpun takut kepada Israel yang selalu menenteng dan mengokangkan senjata, kemana dan di mana saja.

Namun, lepas dari itu, hal itulah yang membuat anak-anak Palestina istimewa. Mereka kuat dan mampu menghadapi segala susahnya hidup dalam bentuk apapun. Hidup mereka tidaklah sama dengan anak-anak di negeri-negeri lainnya, namun mereka tak pernah takut menghadapi penjajah Israel, dan satu yang pasti, mereka bangga menjadi anak-anak Palestina.



Pergi sekolah, bermain, mengunjungi kerabat, kemanapun mereka, anak-anak Palestina selalu melihat serdadu Israel yang berlaku kasar dan kejam. Kapanpun dan dimanapun.



Berlindung di bawah reruntuhan bekas serangan Israel pada tragedi berdarah Januari silam.



Namun fitrah mereka sebagai anak-anak tetaplah sama. Mereka juga bermain seperti biasa, dengan kesadaran penuh bahwa tentara Israel mungkin mengarahkan senjatanya kepada mereka.



Bagi mereka, mempertahankan rumah dan tanah mereka seperti ini bukanlah sesuatu yang menakutkan lagi. Begitulah, jika perjuangan akan tanah air dan agama sudah melekat sejak awal.




Seorang ABG Palestina digelandang para tentara israel di sebuah stasiun atau terminal, seolah-olah ia adalah pesakitan dan pencuri. Sebenarnya siapa yang pencuri?




Kehilangan menjadi salah satu bagian anak-anak Palestina. Seorang kakak tengah mencium adiknya dengan penuh rasa sayang yang tewas karena biombardir Israel pada Operasi Cast Lead silam.

Senin, 29 Oktober 2012

Ini Injil Versi Gaul Coy: Bunda Maria Disebut Gebetan & Cewek Bunting


Untuk menjangkau kalangan muda, Pendeta Daniel de Wolf merilis Bibel bahasa Belanda versi gaul yang penuh dengan istilah jalanan atau slank yang vulgar seperti cewek Maria, ngeseks, mbolongin, bunting, maen gila, nyicip cewek, gebetan, dll. Juga ada istilah pop abad millenium seperti update status, ngetweet, dan sebagainya, padahal zaman Yesus lahir belum ada facebook, twitter maupun email.

“Maria is pregno en krijgt een baby boy” (Maria bunting dan beranak bayi laki-laki). Demikian kalimat dalam Alkitab (Bibel) versi terbaru di Belanda. Kali ini tidak menggunakan bahasa Belanda resmi, namun dalam bahasa gaul jalanan/slank.
Bibel edisi gaul berjudul “de Torrie van Mattie” tersebut diterjemahkan oleh Pendeta Daniel de Wolf.
“Mattie” adalah bahasa gaul untuk teman, sobat. Tapi itu juga singkatan dari Matius. Jadi pada dasarnya ini kisah Matius, buku pertama dari Perjanjian Baru.
Bahasa slang dalam Bibel gaul itu adalah gabungan kata-kata dari bahasa Inggris, Papiamento, Suriname, Maroko, Turki dan Belanda, yang dipercaya dengan kata-kata yang ditangkap dari media sosial dan budaya pop. Dalam menterjemahkan, Pendeta De Wolf dibantu oleh anak-anak muda dari berbagai latar belakang. Jadilah hasil terjemahan penuh dengan kata “doekoes,” “patas” dan “osso.”
Ide menerjemahkan Bibel ke dalam bahasa gaul ini berasal dari Inggris.
“Terjemahan semacam ini sudah ada di sana, yaitu edisi “The Word on the Street” (Firman Tuhan di Jalanan). Ide ini lalu diadopsi di Belanda dan saya diminta untuk melakukannya. Saya pikir ini ide yang baik,” ujar Pendeta De Wolf . “Di Inggris buku ini beberapa kali berhasil memenangkan penghargaan buku rohani Kristen dan juga menjadi salah satu buku terlaris di toko buku rohani. Amerika dan Jerman juga memiliki Injil versi jalanan mereka sendiri,” tambahnya.

Bibel Gaul Versi Audio juga Dirilis

Untuk menjangkau kalangan muda lebih luas, selain merilis Bibel gaul versi cetak, Wolf juga merilis Bibel gaul versi audio MP3 yang bisa diunduh secara gratis di situs resminya. “Kami juga merekam kisah-kisah injil dalam versi MP3, yang bebas diunduh di situs kami. Rekaman juga sekaligus menjadi alat bagi para sukarelawan pekerja muda dalam berhubungan dengan para pemuda,” ujar Wolf.
Untuk proyek gaulnya itu, de Wolf banyak menuai reaksi negatif yang dari orang-orang yang menganggap Bibel sebagai kitab sakral yang tidak boleh diutak-atik.

Fragmen Terjemahan Bebas: Cewek Maria gak Ngeseks dan Belum Dibolongin

Dalam situs resminya, bisa disaksikan contoh ayat-ayat Bibel dengan bahasa gaul jalanan, misalnya pada perikop kisah “Yesus Sang Pencari Suaka”, “Bangkitlah dari Kursi Rodamu”, dan “Johnyboy Sang Pembaptis.”
Berikut ini adalah contoh fragmen ayat Bibel versi gaul:
“Gini lho, cerita kelahiran Yesus Kristus: Maria, cewek yang mungkin waktu itu masih berumur 14 tahun, rencananya mo merit sama Yusuf bin Yakub. Mereka udah sampe tunangan segala. Pada zaman itu, menurut tradisi Yahudi (sampe sekarang kali yee), nge-seks mah kagak boleh sama sekali. Tapi eeh, Marianya, tek dung. Yusuf terang aja langsung mikir, Maria pasti maen gila sama yang lain. Yang jelas, Yusuf ngerasa, dirinya, jangankan mbolongin Maria, nyicip aja juga nggak pernah. Dasar AIB neh!
Yusuf, anaknya cool, nggak buru-buru update status atau cepet-cepet ngetweet, ngember soal Maria. Namun Yusuf, udah mikir, bakal mutusin Maria. Nah pada saat itu, ia mendadak disambangin Malaikat.
“Nyante aje Sup. Jangan cemen dong untuk nikahin Maria. Gebetan elo kagak selingkuh. Jabang bayi di perut Maria itu hasil olahan Roh Kudus. Maria bakal ngelahirin bayi lelaki. Elo kudu kasih nama Yesus. Tahu nggak artinya? Itu artinya Tuhan yang menyelamatkan. Kenape harus dinamain keren gitu? soalnya Dia bakal menyelamatkan umat manusia dari segala kebangsatan(maksudnya dosa coy) yang mereka lakukan.”
Wah ini pas banget ama yang dulu, ratusan tahu lalu, dibilangin nabi Yesaya. Si perawan akan hamil dan melahirkan orok lelaki, dan orang-orang bakal manggil dia sebagai Immanuel.”
Fragmen ayat-ayat Bibel versi gaul tersebut memang aneh di telinga.
Selain kata-kata vulgar seperti cewek Maria, ngeseks, mbolongin, maen gila, bunting, nyicip cewek, gebetan, dll, hal yang asing di telinga adalah adanya kata-kata modern yang hanya ada abad millenium, misalnya: update status, ngetweet, dan sebagainya.
Tahun 1 Masehi saat Yesus lahir pan belon ada facebook sama twetter, coy!!

Syiar TKW di Hong Kong: Jajakan Buku Agama untuk Berdakwah & Beramal


SEDERHANA namun penuh semangat. Itulah yang tergambar dari sosok Murti’ah, TKW yang sekarang mengais rezeki di Hong Kong ini. Meski bukan ustazah dan bukan pula alumni pesantren, namun ghirahnya sangat tinggi dalam memperjuangkan Islam di negeri orang. Waktu libur saat teman-temannya berhibur, ia memilih menginvestasikan waktunya untuk kebaikan dan dakwah.
Menemui Murti’ah, TKW asal Kediri, Jawa Timur ini tidaklah sulit. Tiap hari Ahad, datanglah ke ‘Kampung Jawa Hong Kong’ –istilah lain untuk menyebut Victoria Park– Di tengah kerumunan ribuan TKW yang memadati Kampung Jawa untuk berlibur dan berhibur itu, Murti’ah melakukan aktivitas yang tidak dilakukan oleh para TKW yang lain.
Kepada voa-islam.com, ibu dua anak ini menceritakan, awal motivasinya datang ke Hong Kong adalah faktor ekonomi. Penghasilannya yang pas-pasan sedangkan dua anaknya beranjak remaja membutuhkan biaya pendidikan yang tidak sedikit. Murti’ah memutuskan bekerja membantu suami, meski dengan berat hati. Ia berangkat juga ke luar negeri setelah melewati suatu proses yang tidak mudah.
“Tidak mudah dan berat hati saya meninggalkan anak dan suami. Tapi demi masa depan mereka saya nekad,” tuturnya mengawali cerita kepada voa-islam.
Murti’ah merasakan betapa berat adaptasi di Hong Kong. “Saya cukup kesulitan beradaptasi dengan budaya Negara Hong Kong saat pertama kali bekerja. Sungguh jauh berbeda dengan budaya Indonesia!” kenangnya.
…Untuk menjaga akidah agar tidak luntur dan tetap eksis di negeri asing, Murti’ah memanfaatkan setiap waktu luang sekecil apapun untuk menggali hal-hal positif…
Untuk menjaga akidah agar tidak luntur dan tetap eksis di negeri asing, Murti’ah memanfaatkan setiap waktu luang sekecil apapun untuk menggali hal-hal positif.
“Makanya saya ikut dalam pengajian-pengajian yang diadakan teman-teman Indonesia di Hong Kong,” lanjut dia.
Lebih jauh, Murti’ah prihatin terhadap teman-temannya sesama TKW yang nilai keislamannya telah memudar di lingkungan yang jauh dari kehidupan Islami. Menurutnya, arus budaya Hong Kong yang tidak bersahabat, adalah ujian akidah yang  sangat berat.
“Saya miris melihat wanita-wanita muda Indonesia yang terjebak dengan kehidupan lesbianisme,” keluhnya.
Dari keprihatinan itu, wanita yang biasa disapa Bu Murti’ah ini berpikir keras untuk mengambil tindakan penyelamat terhadap akidah teman-temannya. Namun apa daya, menyadari dirinya tak punya bekal ilmu yang cukup, maka dipilihlah cara yang sesuai kadar kemampuannya, yaitu menjual majalah-majalah Islam yang diterbitkan oleh warga Indonesia di Hong Kong. Tak ketinggalan juga buku-buku Islam terbitan tanah air.
“Saya tawarkan mereka buku-buku Islam dan majalah, kadang ada yang mau membeli, tapi ada juga yang meremehkan. Tapi saya menyadari akan semua resiko ini, Alhamdulillah saya tetap maju, saya melakukan ini karena Allah, maka saya pun berusaha memotivasi diri sendiri saat menghadapi hambatan,” ujarnya penuh tekad kepada voa-islam.
Murti’ah menjajakan buku agama dengan menggelar tikar di emperan “Kampung Jawa Hong Kong” mulai jam 7.30 pagi-7.00 malam. Berkat kegigihannnya, kini ia mulai dibantu beberapa teman seperjuangan. Mendapat bantuan dari teman-temannya, tidak membuat Murti’ah puas, ia pun meningkatkan dakwahnya dengan berkeliling menjajakan buku-buku agama.
“Saya tiap Ahad menggelar tikar di emperan ini, karena di sini banyak orang lewat. Jika ada teman yang membantu menjaga dagangan ini, maka saya akan menjual di tempat terpisah, yaitu saya jajakan. Saya keliling lapangan Victoria Park ini untuk menawarkan buku,” jelasnya.
Uniknya, Murti’ah menjual buku dan majalah dengan itu harga murah, dengan sedikit untung. Keuntungan penjualan itu pun disisihkan untuk disumbangkan kepada yayasan yatim piatu di tanah air.
...Murti’ah menjual buku dan majalah dengan harga murah. Keuntungan penjualan itu pun disisihkan untuk disumbangkan kepada yayasan yatim piatu di tanah air...
“Keuntungan tersebut saya salurkan untuk beberapa yayasan mengajukan proposal untuk dicarikan bantuan dana di Hong Kong. Tapi masih sedikit yang bisa saya bantu,” imbuhnya.
Kendala paling berat yang dihadapinya adalah musim panas. Buku-buku itu cukup berat. “Teman-teman yang membantu saya pun kecapaian juga, namun alhamdulillah mereka tidak mengeluh,” lanjutnya.
Menyadari pentingnya dakwah melalui buku dan majalah islami, Murti’ah berharap agar sepulangnya ke tanah air kelak, ada TKW lain yang meneruskan perjuangannya.
“Harapan saya jika kelak saya sudah kembali ke tanah air, akan ada yang mau meneruskan apa yang saya lakukan ini. Semoga pemerintah RI terketuk hatinya agar mau memperhatikan keadaan warganya di luar negeri,” pungkasnya kepada voa-islam. Subhanallah, TKW yang luar biasa!! Selamat berjuang Yuk Mur.

.Geliat Dakwah Nakerwan Indonesia di 'Negeri Beton' Hong Kong



Hong Kong (voa-islam.com) - Dakwah Islam di Hong Kong semakin menggeliat. Di Negara yang sering disebut 'Negara Beton' tersebut, dakwah Islam kian menunjukkan ghirahnya, dimotori oleh para dai dan mubaligh Pakistan dan Indonesia.

Ahad 28 maret lalu, sebuah pengajian diadakan di Masjid Jami’ Tsim Sha Tsui, Hong Kong. Pengajian yang diadakan oleh MDZ (Majelis Dzikir) ILHAM, yang berada di bawah naungan PDV (Persatuan Dakwah Victoria park) tersebut mendatangkan dua ustadz dari Jakarta, yaitu Ustadz Muhammad Natta dari majelis Az-Zikra dan Ustadz Muhammad Idris Ismail, seorang qori’ internasional.

Meski jamaah pengajian ini membludak, tapi acara berjalan dengan rapi dan lancar. Ratusan jamaah membanjiri area aula masjid, mengikuti setiap acara pengajian dengan khusyuk dan khidmat. Para jamaah antusias menyimak materi yang disampaikan para ustadz.

Bagi para peserta pengajian, selain menambah ilmu dan mempertebal iman, acara ini juga sangat bermanfaat sebagai wahana untuk menghilangkan dahaga jiwanya yang jauh dari lingkungan islami. Isak dan tangis jamaah sempat mewarnai acara saat ustadz memberikan materi taushiah yang sangat menyentuh qalbu.

Puji, ketua panitia pengajian, menjelaskan bahwa pengajian ini diadakan dengan tujuan mempererat tali ukhuwah sesama tenaga kerja wanita, memperkuat iman agar bisa semangat lagi dalam mempertahankan akidah di negara orang. Karena tidak hanya uang yang di butuhkan para pekerja, namun juga suguhan taushiah agama.

Lebih jauh, Puji menjelaskan, target jamaah tidak ada batasan, tidak memandang suku, golongan, semua dapat mengikuti pengajian tersebut. Yang belum berjilbab pun diperbolehkan mengikuti, karena dakwah tidak boleh diskriminasi.

“Saya berharap para rekan-rekan bisa sering mendapatkan pencerahan. Makanya kami mengumpulkan rekan-rekan di majelis ini, dengan mengundang ustadz dari Indonesia,” pungkasnya.

TKW Hong Kong dalam Cengkeraman Salibis.


Hong Kong adalah negara yang menjanjikan limpahan materi bagi para pekerja dari berbagai negara, khususnya bagi pekerja asal Indonesia,Thailand, Filipina,Nepal, India dan Pakistan. Di negeri inilah para Buruh Migran Indonesia (BMI) –yang di tanah airnya disebut Tenaga Kerja Wanita alias TKW– mengadu nasib. Bahkan tidak sedikit pula para pekerja migran tersebut akhirnya menikah dengan warga Hong Kong kemudian menjadi warga tetap Hong Kong.
Tetapi, Hong Kong dengan segala keglamorannya telah melahirkan dilema yang tidak ringan bagi pekerja migran. Kebebasan pergaulan, mudahnya akses internet, maraknya fashion yang menggoda, membuat mereka jatuh bangun mempertahankan sebuah keimanan. Lemahnya kesadaran beragama bagi masyarakat Hong Kong ikut menjangkiti buruh migran.
Akibatnya, bayak pula muslimah Indonesia yang terkikis jati dirinya, hanyut dalam budaya dan gaya hidup penduduk Hong Kong. Ingin menjadi baik atau buruk, fasilitasnya telah tersedia. Ada yang kian larut dengan gaya hidup westernisasi dengan menanganggalkan agama, ada pula yang kian menguat keimanannya karena takut terseret kejamnya kebebasan hidup.
...bayak pula muslimah Indonesia yang terkikis jati dirinya, hanyut dalam budaya dan gaya hidup penduduk Hong Kong...
Banyak di antara BMI yang membuat komunitas-komunitas. Ada yang mendirikan komunitas dancer, komunitas dakwah, komunitas yang khusus menangani kasus yang menimpa buruh migran, dll.
Komunitas yang sangat membuat kami gerah adalah komunitas salibis. Mereka dari berbagai aliran: Katolik, Protestan dan Pantekosta. Dan aliran yang paling getol adalah aliran Saksi Yehova (Jehovah's Witnesses), karena mampu merangkul semua kalangan, mulai dari buruh migran hingga warga Hong Kong asli. Dengan terang-terangan gereja-gereja tersebut bisa mendatangkan misionaris dari USA, Jerman, Malaysia, Filipina untuk di terjunkan ke negara Hong Kong.
Rata-rata misionaris tersebut menguasai bahasa Indonesia. Aksi mereka dalam melancarkan pemurtadan juga terang-terangan. Mereka mendatangi tempat-tempat yang banyak terdapat warga Indonesia berkumpul. Dengan wajah ramah dan hangat misionaris tersebut menawarkan sebuah "persahabatan" dan "bantuan" halus namun menjebak! Dan kebanyakan dari rekan-rekan BMI sulit mengelak darinya. Salibis yang beraksi Hong Kong juga didatangkan dari Korea Selatan dan fasih berbahasa Indonesia, karena penulis pernah ikut kajiannya.
...Dengan wajah ramah dan hangat misionaris tersebut menawarkan sebuah "persahabatan" dan "bantuan" halus namun menjebak! Dan kebanyakan dari rekan-rekan BMI sulit mengelak darinya...
Ini merupakan awal petaka bagi saudara-saudara kita. Tidak mudah lari dari jeratan salibis. Cara-cara halus di gunakan untuk memperdaya si korban hingga benar-benar mengikuti kemauannya.
Selain dengan cara tersebut banyak lagi cara yang cukup licik. Di antaranya dengan memanfaatkan saudara kita yang dalam kesulitan. Kejadian ini pernah di alami sahabat saya. Kebetulan dia mengalami diskriminasi dengan mendapatkan gaji HKD 2.000 perbulan, padahal peraturan di sini upah minimum rakyat (UMR) adalah HKD 3.580. Sahabat saya tersebut menuntut majikannya dengan bantuanshelter Kristen.
Maka dengan sangat mudah pihak shelter bisa memenangkan kasus tersebut. Akan tetapi tentu saja ada maksud tersembunyi di balik semua itu! keimanannya harus rela ditukar. Namun alhamdulillah, Allah telah menyelamatkan sahabat saya. Setelah kasusnya selesai dimenangkan dengan bantuan pihak salibis dia mampu berkelit dan melarikan diri dari cengkraman misionaris. Fakta di lapangan telah membuktikan bahwa tidak sedikit saudara-saudara kita di Hong Kong telah murtad. Astaghfirullahal azim..
Sampai sekarang kami tidak punya tempat khusus yang menaungi perjuangan menghadapi arus kristenisasi. Masih sangat langka yang peduli dengan masalah kami. Tapi Alhamdulillah, buku-buku kristologi karya Bapak Insan Mokoginta cukup membantu. Buku-buku tersebut banyak di buru rekan-rekan untuk dijadikan bekal saat menghadapi salibis. Terkadang memang kami kesulitan mematahkan argumen-argumen mereka. Itu menjadi tantangan tersendiri bagi kami. Kami tidak rela Islam dihina, direndahkan dan dihujat. Menyimak uraian argumen mereka dengan seksama kemudian dari situ kami menemukan celah-celah kelemahan dan terkesan memaksakan kehendak agar kami mengikuti mereka. untuk saat ini satu-satunya kristolog yang aktif membantu kami adalah bapak Insan Mokoginta.
Kami juga sering menghadapi diskriminasi tentang jilbab, shalat dan puasa. Tidak ringan perjuangan mempertahankan aqidah di negara Hong Kong ditambah lagi lingkaran salibis cukup menakutkan. Tanggungjawab siapakah perjuangan ini? 

TKW Hong Kong: Pernik-pernik Dakwah di Tengah Sejuta Masalah


PAHLAWAN devisa adalah sebutan yang tidak asing lagi bagi Tenaga Kerja Wanita (TKW). Di Hong Kong, TKW asal Indonesia itu lebih dikenal dengan BMI (Buruh Migran Indonesia). Apakah sebutan “pahwalan devisa” yang disandang tersebut sebanding dengan pengorbanan para BMI? Mari kita telusuri lebih dalam pernak-pernik kehidupan BMI.

Lebih dari 100.000 wanita Indonesia mengadu nasib ke Hong Kong. Mereka berasal dari beberapa kota di tanah air. Wanita-wanita yang umumnya lugu tersebut datang ke Hong Kong dengan semangat dan tekad yang tinggi. Mereka  mengorbankan kenyamanan di negaranya demi menggapai kehidupan yang lebih baik. Mereka adalah wanita-wanita mandiri yang sebenarnya punya rasa gengsi yang besar, enggan berpangku tangan pada negaranya yang tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan.

Namun kenyataannya masih banyak warga Indonesia yang meremehkan profesi BMI, sembari menutup mata semangat, tekad dan kemandirian para BMI. Ini memang sangat berbeda dengan buruh migran asal Filipina, yang rata-rata lulusan D-3.
BMI berangkat ke negara tujuan melalui agen penyalur jasa tenaga kerja yang ditunjuk oleh pemerintah. Bagi BMI tujuan Hong Kong diharuskan membayar HKD 21.000,dengan cara memotong gaji BMI beberapa bulan. Sungguh, jumlah yang tidak sedikit, pengorbanan yang butuh kesabaran dan ketabahan. Belum lagi banyaknya sikap meremehkan dari beberapa oknum penyalur tenaga kerja.
... di Hong Kong, tidak sedikit BMI yang mengalami degradasi moral. Jika  tidak kuat iman, pasti para BMI itu akan terlibas budaya Hong Kong yang tentunya jauh berbeda dengan budaya Indonesia...
SEJUTA PROBLEM BMI HONG KONG

Setelah tiba di Hong Kong, tidak sedikit BMI yang mengalami degradasi moral, shock dengan perbedaan kultur, tradisi dan budaya. Masa-masa seperti ini terkadang membuat BMI mengalami pergeseran gaya hidup. Jika  tidak kuat iman dan tak diimbangi dengan pergaulan sehat, pelan namun pasti para BMI itu akan terlibas budaya Hong Kong. Mereka akan terseret budaya Hong Kong yang tentunya jauh berbeda dengan budaya Indonesia.

Telah banyak di temukan fakta di lapangan, ketika di tanah airnya, wanita-wanita BMI itu sungguh santun dan lugu, tapi setelah kerja di  luar negeri  menjadi wanita super gaul, funky. Lingkungan yang telah membentuknya, hal ini akan membuat sebagian pihak menjustifikasi BMI Hong Kong murahan, padahal faktanya tidak begitu, hanya ulah beberapa oknum saja, tapi mayoritas BMI kan kena getahnya.
... Beberapa permasalahan yang menimpa BMI di Hong Kong, di antaranya adalah Narkoba, freesex, lesbi, pemurtadan...
Beberapa permasalahan yang menimpa BMI di Hong Kong, di antaranya adalah Narkoba, freesex, lesbi, pemurtadan. Banyak di temui di lapangan, BMI yang kecanduan narkoba, terjerumus free sex, dan mengidap kelainan lesbian. Tidak dapat dipungkiri pula suburnya arus pemurtadan yang dilakukan secara samar oleh para misionaris salibis.

Lesbi adalah virus yang menyebarnya cukup gampang, terbukti dengan banyaknya BMI yang awalnya terkungkung dengan pergaulan pelaku lesbi, kemudian menjadi bagian dari lesbianisme.

Pelaku lesbi tidak dapat dihakimi dengan melihat satu sisi saja, karena berdasarkan wawancara dengan para pelaku lesbi tersebut, ada masalah-masalah miris sebagai penyebabnya, di antaranya karena trauma terhadap kaum Adam. Ada yang mengatakan bahwa memilih dunia lesbi sebagai pelarian kepenatan melalui hari-hari panjang terkekang sang majikan.

Jika diselami secara dalam, tidak mudah menjawab pertanyaan apakah wabah lesbi yang melanda BMI Hong Kong ini penyakit atau bukan? Secara pribadi, penulis ragu menjawabnya, karena pada dasarnya mereka normal dengan naluri kewanitaan yang sempurnya. Lilitan problemlatika yang amat berat, membuat mereka terseret menjadi lesbi, sedangkan saat berusaha mencari pelarian masalah, mereka salah jalan.
...pada dasarnya mereka normal dengan naluri kewanitaan yang sempurnya. Lilitan problemlatika yang amat berat, membuat mereka terseret menjadi lesbi, sedangkan saat berusaha mencari pelarian masalah, mereka salah jalan...
Mereka tidak layak dibenci dan dijauhi, karena mereka menjadi tanggungjawab dakwah bagi kita. Tugas kita bukan memberinya hidayah, namun membagi ilmu yang kita punya dengan tujuan menunjukkan cara mendapat hidayah, karena hidayah itu mahal, butuh kerja keras mengejarnya, bukan datang dengan sendirinya. Kita yang harus mengarahkan agar mereka mendatangi Allah, mengemis pertolongan dalam menjemput pintu taubat.

Pendakwah perlu berjuang lebih giat lagi untuk menolong saudara-saudaranya yang salah langkah.

PERAN ISLAM BAGI BMI HONG KONG

Ditengah kepungan berbagai problem di negeri orang, ada fakta yang layak mendapatkan acungan jempol. Di tengah himpitan gaya hidup westernisasi, masih bertebaran hamba-hamba Allah yang teguh dengan Islam. Di sela waktu kerjanya mereka aktif dengan kegiatan-kegiatan Islam, antara lain membentuk jamaah yang mengkaji ilmu-ilmu agama dan beberapa kegiatan lainnya.
... Di tengah himpitan gaya hidup westernisasi, masih bertebaran hamba-hamba Allah yang teguh dengan Islam. Di sela waktu kerjanya mereka aktif membentuk jamaah pengajian ilmu-ilmu agama...
Peran dakwah Islam di Hong Kong tidak dapat diremehkan, karena telah banyak orang-orang Islam Indonesia “terislamkan” di Hong Kong, maksudnya mengenal Islam dengan benar setelah di Hong Kong karena mengikuti kegiatan-kegiatan yang di bentuk rekan-rekan BMI.

Demikianlah sekelumit gambaran BMI. Walau digembar-gemborkan sebagai pahlawan devisa, pada kenyataannya  pemerintah banyak menyisakan permasalahan warganya, BMI yang menghadapi permasalahan memilih shelter yang di kelola labour daripada menyelesaikan masalahnya pada pejabat RI di konsulat. Faktanya sebutan pahlawan devisa cuma bualan saja.

Bener Nich, Masih Ngebet Mau Free Sex?


Udah jadi rahasia umum, kalau yang namanya dunia remaja adalah saat yang penuh dengan godaan. Dari mulai drugs, tawuran, free sex, dll, dsb, adalah jenis cobaan yang bersliweran hampir tiap hari di depan mata kita. Hal- hal kaya' gini serius banget loh. Secara gitu, di umur- umur remaja, masa coba- coba dianggap memang paling menyenangkan.

Yups, dan kali ini kita mau kulik tentang salah satu hal yang katanya awet happening banget, yaitu masalah free sex. Nggak tahu kenapa ya, buat "kegiatan" yang satu ini, banyak remaja yang jadi tersangkanya. Eitts, ini nggak sekedar ngemenk doank, Friend. Hasil Survei Komnas Perlindungan Anak di 33 provinsi tahun 2008 aja membuktikan, kalau remaja SMP dan SMA, yang pernah menonton film porno udah mencapai 97 persen. Remaja SMP dan SMA yang pernah berciuman, masturbasi dan oral seks mencapai 93,7 persen, remaja SMP tidak perawan 62,7 persen dan remaja yang pernah aborsi mencapai 21,2 persen.

Apa itu free sex?
Seks bebas atau free sex punya definisi yang simple banget, yaitu perilaku seksual yang dilakukan seseorang bersama partnernya, diluar ikatan pernikahan yang sah. Perilaku seksual ini apa aja? Tentunya hubungan intim berikut "pemanasannya". Sebenarnya sih Free sex nggak cuma ditujukan buat perilaku dikalangan remaja yang belum nikah aja, tapi orang yang sudah menikah juga, kalau dia melakukan hubungan suami istri selain dengan selain pasangan sahnya, itu juga termasuk free sex.

Berawal dari pacaran

Ada yang bilang pacaran itu ada yang sehat dan ada yang nggak sehat. Tapi Friend, as u know lah, yang namanya pacaran kelihatannya mustahil banget kalau nggak melibatkan aktivitas fisik yang menjurus- jurus ke arah sana, ya nggak?. Nah, disinilah akhirnya para setan- setan itu memanfaatkan kelemahan iman yang lagi low banget, buat menggoda siapapun yang pacaran, sampai akhirnya mereka melakukan kekhilafan.

Kalau ada pertanyaan, kalau hubungan seks dengan pacar dan nggak ganti-ganti pasangan termasuk free sex nggak? ya iyalaaa... kan judulnya belum resmi menikah. Jadi disinilah friend, hikmah dilarangnya pacaran dalam Islam. Karena pacaran itu ibarat gerbang menuju zina yang sebenarnya.

Bahaya Free Sex
Rasa penasaran dan selalu pengen tahu, rasanya memang mendominasi banget pikiran kita yang remaja ini. Tapi bukan berarti akal sehat kudu dipaketin jauh- jauh dunk. Asal kamu tahu friend, Free sex yang menawarkan kesenangan sesaat ternyata seperti racun yang berkedok madu. Nggak percaya?. Nich kita suguhin info buat kamu tentang bahayafree sex.

pertama,
 buat yang cewek usia dibawah usia 17 tahun yang pernah melakukan hubungan seks bebas, akan beresiko tinggi terkena kanker serviks.

Kedua, 
mereka berdua juga beresiko tertular penyakit kelamin dan HIV-AIDS yang bisa menyebabkan kemandulan bahkan sampai kematian.

Ketiga, kalau sampai Hamil diluar nikah, dan ngelakuin tindakan aborsi, kedepannya si cewek bisa kena gangguan kesuburan, kanker rahim, cacat permanen bahkan kematian loh. Naudzubillah.
Keempat, semua hal yang kita lakuin pastilah mengandung resiko, friend. Dan jangan naif lah, kalau konsekuensi darifree sex itu nggak gampang, nggak mudah dan nggaksimple. Nggak cuma sekedar penyakit fisik aja yang kita dapat, tapi masa depan kita juga bakal suram. 
Ini nggak sekedar omong kosong!. Kalau kamu sudah melakukan free sex, maka secara kejiwaan, dalam diri pasti bakal muncul perasaan malu, takut, cemas, merasa bersalah, tertekan, merasa nggak berharga bahkan sampai stres. Hal ini bisa menyebabkan si cewek trauma berat. Dan cilakanya, yang begini ini bakal dibawa seumur hidup dia. Yang cowok juga akan kurang lebih sama. Mereka berdua akan selalu dihantui rasa takut dan rasa bersalah. Apalagi kalau sampai si ceweknya tekdung, alias hamil di luar nikah. Nggak cuma mereka berdua yang akan sedih, tapi orang tua yang udah naruh harapan ke kita atas masa depan kita, yang pastinya akan lebih kecewa.
Ini baru sedikit dari efek Free sex, loh. yang lain pastinya lebih banyak, karena pastinya aktivitas penuh dosa ini, udah nggak menyehatkan, apalagi menyenangkan sama sekali. So, kalau udah tahu begini, yakin kamu masih Ngebet mau Free Sex?

Kudu berani Nolak Free Sex
So, buat kamu para cewek- cewek cantik, jangan gampang tergoda rayuan gombal lelaki yg nggak tentu keabsahannya. Dan, jangan mudah melayang sama ucapan yang bilang kalau free sex itu adalah sebuah ungkapan dari cinta. Semua itu dijamin pasti bohong. B coz, hare gene nggak semua cowok itu baik, termasuk yang punya semboyan "abis manis sepah dibuang". Mereka cuma ngerayu kita untuk mendapatkan yang mereka mau dan kalau sudah bosen, tinggal bilang da- da, bye- bye.Ingat girls! nggak akan ada cinta yang bener,sebelum pernikahan yang sah!

Dan buat kamu para cowok- cowok cakep, jaga diri baek- baek ya? kalau ada cewek- cewek genit yang suka menggoda, anggap aja angin lalu. Kalau nggak kuat menahan godaan mereka, mendingan tahan pandangan atau puasa, insyaAllah itu akan lebih menyelamatkan.
No Free Sex!
Friend, semua di dunia ini ada waktunya, dan bakal indah pada waktunya. Wallaupun udah dari sononya rasa penasaran kita terhadap sesuatu sangatlah gede, tapi bukan berarti kita bisa mempraktekkannya sekarang. Apalagi dalam hal yang jelas- jelas kita tahu kalau resikonya nggak ringan. Jangan pertaruhkan masa depan kamu hanya untuk sesuatu yang menakutkan seperti itu. Kenapa? karena umur kita masih muda banget. Masih banyak yang bisa kamu lakukan dan kamu raih. Please deh, jangan sampai masa muda yang cuma sekali ini datang di hidup kita, justru kita rusak dengan tangan kita sendiri.

Bukan Cewek Syahwat!


Ngeliat judul obrolan kita kali ini, kok rada horor gimana gituh ya? Yups, begitulah friend, kali ini kita mau membahas kasus para cewek- cewek yang membikin dunia semakin panazzz!!!. Tapi ini bukan dalam hal prestasi atau bahasan yang positif lainnya, tapi tentang perilaku para cewek yang nggak segan- segan lagi berpakaian super ketat dan suka ngumbar aurat di depan umum. Malah baru- baru ini ada yang nekat banget dan bahkan sampe jadi berita, dimana seorang cewek melelang keperawanannya via internet. Dan konon katanya uang itu buat membantu buatin rumah orang- orang miskin!! nggak salah tuch? Ck.. ck.. ck... trus kita kudu bilang wow gitu??...

Jaman sekarang katanya nggak banget kalau cewek masih punya rasa malu. Katanya sih nggak bakalan punya temen, atau nggak gaul dan tentu saja nggak ngeksis. That's whypara cewek- cewek bermetamorfosa menjadi "pemberani" dengan alasan kebebasan berekspresi. Hasilnya, banyak yang pada ngumbar aurat, dan jumlahnya nggak kehitung lagi, karena saking banyaknya. Sampe- sampe pada kasihan tuch, mereka yang pengin menjaga pandangannya. Lihat atas salah, lihat bawah apalagi... trus masak jalannya kudu merem???

Friend, sebenarnya cewek- cewek itu adalah korban. Korban yang udah dibohongin mentah- mentah dengan konsep dan pikiran para musuh islam yang jelas- jelas nggak bener. Mereka berniat membuat cewek- cewek sebagai bahan pemanis yang setiap saat bisa di pajang atau di delete, bisa di pelototin dengan gratis, dan kalau udah puas bisa ditinggal deh kapan aja. Dan celakanya, banyak cewek- cewek yang mau ngikutin mereka. Dan nggak hanya suka, mereka malah merasa bangga lagi, astagfirullah...

Ini persis banget dengan yang telah disabdakan Rasulullah salallahu alaihi wassalam, "Tidak akan kiamat sebelum umatku mengikuti apa- apa yang telah dilakukan bangsa- bangsa terdahulu, selangkah demi selangkah, sehasta demi sehasta. Diantara para sahabat ada yang bertanya, ya rasulullah apakah yang dimaksud disini adalah bangsa- bangsa Yahudi dan Nasrani? Rasulullah menjawab : Siapa lagi (kalau bukan mereka) (HR. Bukhari)

Selain itu, peran media juga nggak kalah tangguh dalam menggalakkan ajang- ajang lomba yang menjanjikan ketenaran dan uang, yang akhirnya banyak menyedot perhatian para cewek. Nggak cuma buat yang ikut serta, tapi juga para penontonnya. Terbukti, lewat media itulah pengaruh habis- habisan di sebarkan. dan sayangnya... hal itu berhasil mempengarui banyak dari teman- teman kita.
Mereka nggak perduli walau disana mereka di suruh "buka- bukaan" habis- habisan atau didandani macam lenong, yang penting popularitas dan uang ada di genggaman. Memang banyak yang akhirnya "berhasil". Tapi.... apa mereka bahagia, friend? nggak juga tuch. Semua hal dunia yang mereka punya nyatanya menjamin mereka tenang danhappy. Buktinya, banyak yang hidupnya makin nggak jelas. Narkoba, seks bebas, dan dunia malam adalah contoh kecil dari kegiatan mereka selanjutnya. Sayang banget, kesemua hal itu ternyata malah makin menyengsarakan mereka.

Itu baru di dunia, friend. Diakherat malah bakalan lebih dahsyat. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Dua golongan dari penghuni neraka yang belum aku temui; suatu kaum yang selalu membawa cemeti bagaikan ekor-ekor sapi, dengannya dia memukuli manusia, dan wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang, cenderung tidak taat, berjalan melenggak-lenggok, rambut mereka seperti punuk onta, mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium bau surga padahal bau surga tercium dari jarak sekian“. (HR. Muslim)

So, buat kamu girls! gaul bukan berarti kita kudu nggak punya harga diri, pamer aurat diri, atau bahkan menjual diri. kalian itu "mahal" loh, dan berhak  diperlakukan dengan lebih baik. Jadi, kenapa nggak mulai dari diri sendiri aja? kalau kita bisa menghargai diri sendiri dengan baik, inshaAllah orang lain bakal ngikut, yaitu menghargai kita dengan lebih baik. Dan buat itu, nggak ada yang lebih baik dari cara Islam yang mengatur dengan detail tentang cewek.

Jangan jadikan diri kamu yang berharga ini, yang hidup sekali ini di dunia, sebagai ajang "studi banding" orang- orang yang hanya akan nyakitin dan membuat kamu nggak berharga di masa depan. Jangan juga jadikan diri kamu sendiri sebagai "barang" yang pantas di pandang secara gratis dan berhak di ganggu. Ingatlah tentang firman Allah dalam QS Al-Ahzab ayat 59 berikut, “…Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu…”. Allah selalu tahu yang terbaik buat kita, jadi nggak ada alasan buat kita untuk jadi pembangkang. Tutup aurat kamu dengan rapi, girls!, dan tunjukkan pada dunia kalo kamu berharga dan bener- bener bukan cewek penebar syahwat! setuju?

Jumat, 26 Oktober 2012

Jangan Pakai Istilah ‘Israel’, Sebut saja ‘Zionis’

DAMASKUS, (Sahabatalaqsha.com): “Umat Islam mulai hari ini jangan menggunakan istilah ‘Israel’ bagi bangsa dan negara Yahudi yang menjajah tanah suci Palestina (sejak tahun 1948),” demikian disampaikan Syeikh Mustafa Bugho, salah satu ulama terkemuka di negeri Syam, dalam khutbah Jum’atnya kemarin di Masjid Zainal Abidin di kota Damaskus.

Israel, jelas Syeikh Bugho, adalah nama lain dari Nabi Allah Ya’qub ‘alayhissalam, atau di riwayat lain Israel nama salah satu keturunan Nabi Ya’qub. Sedangkan orang Yahudi yang sekarang menjajah Palestina sudah sangat melenceng agamanya maupun cara hidupnya dari tuntunan Nabi Ya’qub.

Syeikh Bugho yang di Indonesia dikenal lewat buku-bukunya, diantaranya best seller buku Al-Wafy (penjelasan hadits-hadits Arba’in karya Imam An-Nawawi) menganjurkan agar umat Islam hanya menggunakan istilah Zionis (dalam transliterasi bahasa Arab: shuhyuuni).

Kenyataannya, orang-orang Yahudi yang menjajah dan menteror Palestina dan ingin menghancurkan Masjidil Aqsha saat ini memang menyebut diri mereka sebagai Zionis.

Sedangkan, masih ada sebagian kecil orang Yahudi yang menentang kezaliman mereka itu. Diantaranya gerakan Yahudi Naturei Karta (www.nkusa.org) yang terus-menerus menentang negara penjajah yang disebut “Israel”.

Bahkan para rabbi dari Naturei Karta dan rabbi-rabbi Yahudi lain sering menegaskan, pendirian negara “Israel” bertentangan dengan Taurat dan Talmud yang mereka sucikan.

Penyelewengan yang paling jelas dari bangsa Yahudi saat ini adalah penyelewengan aqidah dan mengubah-ubah isi kitab Taurat. Diantaranya, di dalam Al-Quran disebut, orang Yahudi sejak zaman Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam sudah menyebut Uzair sebagai anak Allah. Padahal Uzair hanyalah seorang shalih di kalangan orang Yahudi atau Bani Israil.

Penyelewengan lainnya adalah menolak kenabian Muhammad Shallallahu ‘alayhi wa sallam sebagai Utusan Allah yang terakhir.

Allah juga menginformasikan di dalam Al-Quran, Nabi Ibrahim ‘alayhissalam kakek dari Nabi Ya’qub bukan orang Yahudi dan bukan orang Nasrani (Kristen), juga bukan orang Musyrik (yang menganggap ada tuhan selain Allah), tapi beliau seorang Muslim yang hanif atau lurus (Al-Quran surah Ali-Imran ayat 67).

Menurut Syeikh Bugho, “Kenapa kita menyanjung mereka dengan menyebut mereka sebagai keturunan Nabi Ya’qub yang mulia dengan memakai istilah Israel, sedangkan Allah saja menyebut mereka di dalam Al-Quran sebagai keturunan kera dan babi?”

Sesuai anjuran Syeikh Mustafa Bugho untuk menyebut “Israel” dengan istilah “Zionis”, kecuali jika tidak bisa dihindari sama sekali.

Keluarnya Dajjal dan Mengeringnya Danau Tiberias di Israel

Bila anda membuka google dan menelusuri kata “Tiberias”, maka anda akan menemukan keterangan Wikipedia sebagai berikut:

The Sea of Galilee, also Kinneret, Lake of Gennesaret, or Lake Tiberias (Hebrew: יָם כִּנֶּרֶת‎ Judeo-Aramic: יַמּא דטבריא, Arabic: بحيرة طبرية‎), is the largest fresh water lake in Israel, and it is approximately 53km (33mi) in circumference, about 21km (13mi) long, and 13km (8.1mi) wide. The lake has a total area of 166km2 (64sqmi), and a maximum depth of approximately 43 m (141feet).
ARTINYA : Laut Galilea, juga Kinneret, Danau Genesaret, atau Danau Tiberias (Ibrani:יָם כִּנֶּרֶתYahudi-Aramic:יַמּא דטבריא, Arab:بحيرة طبرية), adalah danau air tawar terbesar di Israel, dan ia adalah sekitar 53km (33mil) lingkar, sekitar 21km (13mil) panjang, dan 13km (8,1mil) lebar. Danau ini memiliki luas wilayah 166 km2 (64sq mi), dan kedalaman maksimum sekitar 43m (141kaki).

Air dari Danau Tiberias merupakan sumber utama air bersih bagi bangsa Yahudi dan pemerintah Zionis Israel. Dewasa ini pemerintah Israel sangat khawatir karena keberadaan air Danau Tiberias sudah kian menepis. Jika kita click http://www.savethekinneret.com kita akan temukan peringatan dari pemerintah Israel kepada segenap warganya sebagai berikut:

The Kinneret, Israel's major reservoir of fresh water, is drying up! Many years of below-average rainfall have led the water level to dip to the "black line," beyond which water cannot be pumped without causing severe damage to the entire water supply. Though there are plans in place to build more desalination plants, they will not be operation for several years, so it is incumbent upon us all to conserve water!
ARTINYA: Danau Kinneret, waduk utama air bersih Israel kian mengering! Bertahun-tahun curah hujandi bawah rata-rata telah menyebabkan level air berada di "garis hitam," dimana air tidak bakal dapat dipompa lagi tanpa menyebabkan kerusakan parah pada pasokan air secara keseluruhan. Meskipun ada rencana untuk membangun pabrik desalinasi, iatidak akan beroperasi selama beberapa tahun, sehingga menjadi tugas kita bersama untuk menghemat air!

Mungkin bagi sebagian orang informasi ini dianggap tidak penting bahkan tidak menjadi urusannya. Tapi bagi setiap muslim-mukmin yang peduli dengan tanda-tanda Akhir Zaman informasi ini sangat berharga dan sangat serius. Mengapa? Karena dalam sebuah hadits panjang yang diriwayatkan oleh Imam Muslim terdapat kata “Danau Tiberias”. Dan hadits tersebut berkaitan erat dengan bakal keluarnya fitnah paling dahsyat sepanjang zaman, yaitu fitnah al-Masih Ad-Dajjal..!

Hadits tersebut sangat panjang. Di dalam hadits tersebut dikisahkan bagaimana seorang pelaut Arab Nasrani bernama Tamim Ad-Dari bersama 30 orang awak kapalnya terdampar di sebuah pulau.

Kemudian di dalam pulau itu ia berjumpa dengan seorang lelaki yang menurutnya digambarkan sebagai ”orang terbesar yang pernah kami lihat, paling kuat dan tangannya terbelenggu di leher, antara lutut dan mata kakinya terbelenggu besi”. Lalu terjadi dialog antara Tamim Ad-Dari dengan lelaki misterius yang ternyata adalah Al-Masih Ad-Dajjal. Dialog tersebut sebagai berikut:

Ia berkata: Beritahukan padaku tentang kurma Baisan. Kami bertanya: Tentang apanya yang kau tanyakan? Ia berkata: Aku bertanya pada kalian tentang kurmanya, apakah sudah berbuah? Kami menjawab: Ya. Ia berkata: Ingat, ia hampir tidak membuahkan lagi. Ia berkata: Beritahukan padaku tentang danau Thabari (Tiberias). Kami bertanya: Tentang apanya yang kau tanyakan? Ia menjawab: Apakah ada airnya? Mereka menjawab: Airnya banyak. Ia berkata: Ingat, airnya hampir akan habis.
Ia berkata: Beritahukan padaku tentang mata air Zughar. Mereka bertanya: Tentang apanya yang kau tanyakan? Ia berkata: Apakah disana ada airnya dan apakah penduduknya bercocok tanam dengan air itu? Kami menjawab: Ya, airnya banyak dan penduduknya bercocok tanam dengan air itu. Ia berkata: Beritahukan padaku tentang Nabi orang-orang buta huruf, bagaimana keadaannya? Mereka menjawab: Ia telah muncul dari Makkah dan tinggal di Yatsrib. Ia bertanya: Apakah orang-orang arab memeranginya? Kami menjawab: Ya. Ia bertanya: Apa yang mereka lakukan terhadapnya? Lalu kami memberitahunya bahwa beliau menang atas bangsa arab di sebelahnya dan mereka menaatinya.
Ia bertanya pada mereka: Itu sudah terjadi? Kami menjawab: Ya. Ia berkata: Ingat, sesungguhnya itu baik bagi mereka untuk menaatinya. Aku akan beritahukan pada kalian siapa aku. Aku adalah Al Masih (Ad-Dajjal) dan aku sudah hampir diizinkan untuk keluar lalu aku akan keluar.” (HR MUSLIM - 5235)

Berdasarkan hadits di atas berarti Ad-Dajjal telah mengungkap kunci-kunci kejadian yang menjadi indikator kapan ia bakal diizinkan untuk keluar dan menebar fitnah-fitnahnya. 

Dan salah satu indikator sudah dekatnya saat Ad-Dajjal keluar ialah bilamana air Danau Tiberias telah mengering. Sedangkan saat ini jelas kondisi tersebut sudah hampir menjadi kenyataan....! 

Silahkan dilihat grafik level air Danau Tiberias yang kian menyurut sejak tahun 2004 hingga 2012 (Kinneret Water Levels 2004-2012). Waspadalah saudaraku, fitnah Ad-Dajjal tidak lama lagi akan segera keluar! Siapkan diri beserta keluarga anda dengan kemantapan iman dan tauhid sebelum segala sesuatunya menjadi terlambat.

Benarkah Ibnu Shayyad adalah al-Masih Ad-Dajjal?

Allah SWT menciptakan dua Al-Masih yang kontradiktif. Isa 'alaihissalam adalah Al-Masih pembawa petunjuk. yang dapat menyembuhkan tuna netra dan penyakit sopak (penyakit kulit yang tidak memiliki zat warna). dan dapat menghidupkan orang mati dengan izin Allah. Sedang Dajjal adalah Al-Masih kesesatan yang menyebarkan fitnah kepada manusia dengan kejadian-kejadian luar biasanya seperti menurunkan hujan. menghidupkan bumi dengan tumbuh-tumbuhan dan sebagainya. Dajjal disebut masih karena salah satu matanya terhapus (buta), atau karena ia menghapus bumi selama empat puluh hari.

Pada zaman Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, di kota Madinah ada seorang anak Yahudi yang bernama Ibnu Shayyad. Pribadinya tidak diketahui secara pasti, sehingga Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sangsi apakah dia Dajjal atau tidak. Maka terjadilah suatu peristiwa yang disebutkan secara terperinci dalam hadits berikut ini.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhuma, ia berkata, “Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu dan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berangkat bersama sekelompok orang dan melewati Ibnu Shayyad yang sedang bermain dengan anak-anak di dekat benteng Bani Maghalah. Pada saat itu, Ibnu Shayyad hampir baligh[1], ia tidak merasakan apa-apa sampai Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menepuk punggungnya dengan tangan beliau. Lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bertanya kepada Ibnu Shayyad,
“Apakah engkau bersaksi bahwa aku adalah Rasulullah?”
Ibnu Shayyad memandang beliau dan berkata,
“Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasul kaum ummi (yang tidak bisa tulis baca)”
Lalu ia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
“Apakah engkau bersaksi bahwa aku adalah Rasulullah?”
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menolak pernyataannya dan bersabda,
“Aku beriman kepada Allah dan para Rasul-Nya.”
Lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bertanya,
“Apa pendapatmu?”
Ibnu Shayyad menjawab,
“Aku didatangi oleh seorang yang benar dan pendusta.”
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kembali bersabda,
“Perkaranya samar bagi dirimu.”
Lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
“Sungguh aku menyembunyikan sesuatu darimu.”[2]
Ibnu Shayyad berkata,
“Asap.”[3]
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
“Menjauhlah, sungguh engkau tidak akan melewati batas kemampuanmu.”[4]
Maka Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu berkata,
“Wahai Rasulullah, biarkan aku memenggal lehernya.”
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
“Jika memang dia orangnya[5] maka engkau tidak akan mampu mengalahkannya, dan jika bukan dia, maka tidak ada kebaikan untuk membunuhnya.” (HR. Muslim)

Salim bin Abdullah mengatakan,

“Saya mendengar Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhu berkata, ‘Setelah kejadian tersebut Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan Ubay bin Ka’ab Al-Anshari berjalan menuju batang kurma yang mana Ibnu Shayyad berada di dekatnya. Tatkala sampai di sana, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersembunyi di balik batang kurma tersebut[6] dan mulai mendekat[7] guna mendengar sesuatu dari Ibnu Shayyad sebelum ia melihat beliau.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melihatnya sedang berbaring di atas kasur beralaskan kain beludru lalu terdengarlah suara bergemuruh.[8] Kemudian ibunda Ibnu Shayyad melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sedang bersembunyi di balik pohon kurma, maka ia berkata, ‘Wahai Shafi (nama asli Ibnu Shayyad), ini si Muhammad.’ Maka bangunlah Ibnu Shayyad.
Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Seandainya ia membiarkannya tentu akan jelas keadaannya.[9](HR. Muslim) 

Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu Anhu, ia berkata,

“Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, Abu Bakar dan Umar menemuinya -yakni Ibnu Shayyad- di salah satu jalan di Madinah. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bertanya kepadanya,
“Apakah engkau bersaksi bahwa aku adalah Rasulullah?”
Ia balik bertanya, “Apakah engkau bersaksi bahwa aku adalah Rasulullah?”
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Aku beriman kepada Allah, para Rasul-Nya, dan kitab-kitab-Nya. Apa yang kamu lihat?”
Ibnu Shayyad mengatakan, “Saya melihat singgasana di atas air.”
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Engkau melihat singgasana Iblis di atas permukaan laut, apa pendapatmu?”
Ibnu Shayyad berkata, “Saya melihat dua orang yang jujur dan satu orang pembohong, atau dua orang pembohong dan satu orang yang jujur.”
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Perkara itu tidak jelas olehnya[10], biarkanlah ia demikian.” (HR. Muslim)

Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu Anhu, ia berkata, 

“Kami pernah melakukan haji atau umrah bersama Ibnu Shayyad, lalu kami berhenti di suatu tempat dan orang-orang pun berpencar hingga tinggal saya dan Ibnu Shayyad. Saya merasa sangat ketakutan kepadanya, mengingat apa yang dikatakan orang tentang dirinya. Dia membawa perbekalannya dan meletakkannya bersama perbekalanku. Lalu saya berkata, “Sesungguhnya hari sangat panas, sebaiknya engkau letakkan perbekalanmu di bawah pohon itu.” 
Lalu ia melaksanakannya- yakni Ibnu Shayyad meletakkan perbekalannya di bawah pohon yang jauh dari Abu Sa’id-. Lantas kami dibawakan seekor kambing, lalu ia mengambil mangkok besar berisi susu kambing tersebut seraya berkata, “Minumlah, wahai Abu Sa’id.”
Saya (Abu Sa’id) katakan, “Sesungguhnya hari amat panas, dan susu itu juga panas.” Saya berkata demikian hanyalah karena tidak suka meminum sesuatu yang ia pegang dengan tangannya atau mengambil sesuatu dari tangannya.
Ibnu Shayyad berkata, “Wahai Abu Sa’id, ingin rasanya aku mengambil tali lantas kugantungkan pada pohon, lalu kucekik leherku karena kekesalan hatiku terhadap apa yang dikatakan banyak orang mengenai diriku bahwa aku adalah Dajjal. Wahai Abu Sa’id, jika orang-orang merasa samar terhadap hadits Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam maka tidaklah ada kesamaran bagi kalian yang berasal dari kalangan Anshar.
Bukankah engkau termasuk orang yang paling tahu tentang hadits Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam? Bukankah Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam telah bersabda bahwa Dajjal itu mandul, tidak punya anak, sedangkan saya punya anak yang saya tinggal di Madinah? Bukankah Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam telah bersabda bahwa Dajjal itu tidak bisa memasuki kota Madinah dan Makkah, sedang saya datang dari Madinah dan hendak menuju ke Makkah?”
Abu Sa’id mengatakan, “Begitulah, hingga aku hampir menerima alasannya.”  Kemudian Ibnu Shayyad berkata, 
“Ingatlah, demi Allah, sesungguhnya saya mengenalnya (Dajjal) dan mengetahui tempat kelahirannya, serta mengetahui di mana ia berada sekarang.” Abu Sa’id berkata, “Saya katakan kepadanya, “Celakalah engkau pada hari-harimu.” (HR. Muslim)

Pendapat yang benar menurut para ulama, Ibnu Shayyad bukanlah Al-Masih Dajjal, akan tetapi dia adalah salah satu pendusta, dia memiliki jin dan setan yang memberitahukan segala sesuatu kepadanya. Di masa-masa akhir hidupnya terjadi beberapa kejadian bersama Abu Sa’id dan orang lain, sehingga pada akhirnya dia bertaubat dan mengadakan perbaikan terhadap dirinya dengan melakukan amal-amal shalih. Wallahu A’lam...

___________________________

  • [1] Umurnya hampir 15 tahun.
  • [2] Maksudnya, aku menyembunyikan sebuah kalimat dalam diriku, cobalah engkau tebak, apakah yang aku sembunyikan? Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menyembunyikan kata Dukhan (asap).
  • [3] Ibnu Shayyad berusaha untuk menebak apa yang disembunyikan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, namun ia tidak berhasil maka dia katakan, Dukh (asap). Ia mempunyai jin yang dapat mengabarkan segala sesuatu, namun jin tersebut tidak bisa menyingkap apa yang ada di dalam diri Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, sehingga yang mereka tahu hanyalah kata yang mendekati kata Dukhan (asap).
  • [4] Maksudnya tidak melebihi kemampuanmu dalam perdukunan, engkau tidak lain hanyalah seorang dukun, pendusta dan penipu.
  • [5] Maksudnya, jika memang Ibnu Shayyad adalah Dajjal, maka engkau tidak akan sanggup membunuhnya; karena Allah telah menetapkan bahwa orang yang dapat membunuhnya hanyalah Isa Alaihissalam ketika ia turun ke bumi.
  • [6] Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melakukan hal itu agar tidak diketahui oleh Ibnu Shayyad.
  • [7] Maksudnya mendekat sedikit demi sedikit ke arah Ibnu Shayyad untuk mendegarkan apa yang diucapkannya.
  • [8] Maksudnya suara yang tidak jelas dan tidak dapat dipahami.
  • [9] Maksudnya, jika ibunya membiarkan kita mengawasinya dan tidak memberitahukan keberadaan kita, tentu kita akan mengetahui siapa dia sebenarnya, apakah dia Dajjal atau bukan.
  • [10] Maksudnya, dia didatangi oleh setan sehingga perkara tersebut tidak jelas olehnya.

Solidaritas Rohingya, Muslim Myanmar Tak Rayakan Idul Adha Tahun Ini

Rangoon (SI ONLINE) - Kegembiaraan suasana hari raya Idul Adha tahun ini tak dapat dirasakan muslim Myanmar. Demi menghormati dan bersimpati atas penderitaan kaum Muslim Rohingnya, Organisasi Muslim Myanmar (BMA) mengatakan sekitar tiga juta umat muslim di negara itu tidak akan merayakan Idul Adha tahun ini.

Situs iirawady.org melaporkan Kamis (25/10/2012), pada hari Idul Adha yang jatuh hari ini mereka tidak akan mengadakan festival hari raya yang biasanya mereka lakukan setiap tahun.

"Saudara-saudari kami dibunuh dan desa mereka dibakar di Arakan. Itu alasan kami tidak merayakan Idul Adha," kata pemimpin BMA Myo Latt.

Idul Adha merupakan salah satu hari raya besar bagi umat Islam sejagat selain hari raya Idul Fitri. Hari raya ini juga dikenal dengan hari raya kurban.

Latt mengatakan biasanya semua anggota BMA berkumpul dan makan malam di Ibu Kota Rangoon untuk merayakan hari Idul Adha. Tahun ini merupakan pertama kalinya mereka tidak merayakan hari raya kurban. Namun dia juga menyatakan bagi umat Islam di negara itu atau di kota-kota lain yang ingin merayakan tidak akan dilarang.

Menurut siaran pers dari BMA Selasa lalu, pemerintah tidak bisa menjamin keamanan dan keselamatan umat Islam yang akan merayakan Idul Adha. Itu juga menjadi alasan bagi umat Islam Myanmar untuk tidak merayakan Idul Adha.

Namun menurut salah satu pemimpin komunitas Muslim di Ibu Kota Rangoon, Hla Thein, Rabu sore, pemerintah juga telah mengubah pikiran dan siap mengamankan perayaan Idul Adha di Ibu Kota Rangoon.

Sejumlah masjid dibakar di Arakan akibat konflik antara warga Muslim Rohingya dengan umat Buddha selama empat bulan terakhir.

Sejumlah warga Muslim di daerah Mandalay, Karen, dan Mon juga khawatir akan keselamatan mereka jika merayakan Idul Adha tahun ini. "Lima organisasi Muslim di Myanmar sudah mengirim surat ke pemerintah untuk meminta perlindungan bagi saudara-saudara kami di Arakan. Tapi belum ada tanggapan," kata Myo Latt.

Rabu lalu sebanyak 200 rumah warga dibakar di Kota Kyaukpyu, Arakan. Selasa malam sebelumnya 20 rumah juga telah dibakar di kota itu. Kejadian itu dipicu karena terbunuhnya seorang lelaki Buddha dan 2 perempuan Muslim dalam sepekan terakhir.

"Semua rumah yang dibakar itu milik warga Muslim," kata seorang penduduk Kyaukpyu.

Imam Samudra: Cicit Mujahid yang Meraih Syahid

VOA-ISLAM.COM - Abdul Aziz atau lebih dikenal dengan nama Imam Samudra, adalah nama yang begitu dikenal, baik di kalangan para aktivis Islam atau mujahidin maupun di kalangan musuh dan thawaghit.

Ia menjadi salah satu konseptor jihad, amaliah istisyhadiyah bom Bali I pada 12 Oktober 2012. Sebenarnya sepak terjangnya dalam dunia jihad tak sebatas pada aksi tersebut, ada sejumlah ladang jihad yang pernah ia tapaki baik di dalam maupun luar negeri.

Ia telah mengarungi ‘samudra’ perjuangan yang akhirnya menghantarkan dirinya meraih prestasi tertinggi yakni gugur menjadi syuhada (insya Allah) di hadapan regu tembak pada 08 November 2008 tengah malam di Nusakambangan.

Sebelum syahid, ia sempat menulis beberapa buah buku diantaranya berjudul; “Aku Melawan Teroris” buku fenomenal yang berisi argumen/hujjah berdasarkan syariah dilaksanakan amaliah bom Bali I. Pada halaman awal dalam buku tersebut memuat biografi Imam Samudra yang ditulis dengan cukup menarik. Ia mengisahkan masa kecilnya, pertemuannya dengan sang istri serta nostalgia di medan jihad. Berikut ini kami kutipan selengkapnya biografi Imam Samudra.


Biografi Setengah Hati


Menulis biografi adalah pekerjaan yang sangat aku tidak suka. Ketika SD aku paling tidak suka mengisi buku diary yang biasanya meminta semacam biodata, kata mutiara, dan sejenisnya. Apalagi setelah aku dewasa. Apalagi setelah aku mengerti arti sebuah perjuangan menegakkan kalimah Allah yang menuntut betapa pentingnya menjaga sebuah rahasia. Maka bografi adalah salah satu perkara yang sangat aku hindari.

Jika kini aku menulis biografi, itu karena drakula bin monster Amerika dan sekutunya terlanjur mengetahui nama kecil dan sebagian masa laluku. Meski demikian, dalam penulisan biografi setengah hati ini, akan tetap kuhindari hal-hal yang kukhawatirkan akan membatalkan pahala di sisi Allah kelak –naudzu billahi mindzalik.

Karena menyebut-nyebut kebaikan sendiri di hadapan manusia hanya akan membatalkan pahala. Memang, segala amal itu tergantung pada niat. Tetapi sungguh, menjaga niat itu bukanlah perkara yang mudah. La hawla wala quwwata illa billah.

Seandainya tidak kuingat ayat di atas, dan demi kepentingan pertanggungjawaban seluruh tulisan dalam buku ini, niscaya tak akan kutuliskan biografi setengah hati ini. Siapapun yang ditakdirkan Allah membaca biografi ini, ia tidak akanmendapati apa-apa selain ketidakpuasan atau malah kebosanan. Wallahu a’lam.

Kepada mereka yang sempat bertemu denganku dan mengetahui aib dan atau dosa-dosaku, kukatakan, “Sesungguhnya mereka hanya mengetahui setitik aib dan secuil lautan dosa-dosa yang telah kuperuat. Dan hanya aku dan Allah yang tahu. Semoga Allah Yang Maha Mengampuni menghapuskan segala dosa-dosaku, yang disengaja ataupun tidak, yang nampak dan yang tak nampak.” Amien.

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang lelaki dan seorang wanita, dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal.” (Al Hujurat:13).



Childhood


Dengan takdir Allah, di sebuah kota kecil ibukota kabupaten Serang, Kecamatan Serang (sekarang provinsi Banten), desa Lopang Gede, Kampung Lopang RT O4/ RW 01, jalan Sema’un Bakri 201, pada 14 Januari 1970/1971 aku dilahirkan. Akhmad Syihabuddin bin Nakha’i itu nama ayahku. Sedangkan ibuku bernama Embay Badriyah binti Sam’un.

Kedua orangtuaku –Allahummaghfirlie wa-liwalidayya war-hamhuma kama rabbayanie shaghira– memberiku nama Abdul Aziz. Alhamdulillah, nama yang bagus. Artinya, hamba Allah Yang Mulia. Kalau tidak salah, nama itu sama dengan nama Raja Saudi Arabia waktu itu: Abdul Aziz bin Faishal.

Kedua orangtuaku asli Banten. Dari garis ayah, kakekku (M. Nakha’i) adalah seorang juragan besar pada zamannya. Beliau seorang yang ta’at beribadah. Ia selalu mengenakan topi haji, atau peci hitam. Pertama kali beliau mengajakku ke masjid ketika umurku empat tahun. Itu kuketahui, karena ketika dalam perjalanan menuju masjid, kakek yang mengenakan jas dan sarung berikat pinggang serta terompah kulit dan membawa tongkat seperti Bung Karno itu, ditanya oleh beberapa orang yang berpapasan, “Berapa umur cucunya ini?” lalu kudengar beliau menjawab, “Empat tahun.”

Terakhir kali aku hidup bersama kakek pada sekitar kelas dua SD sepulang sekolah. Waktu itu aku mengenakan T-Shirt Argentina 78. Ayah, ibuku, dan sanak keluarga lainnya pergi ke rumah sakit Serang dengan mengendarai mobil colt bertulis NASIA (Nakha’i dan Asiah), nama perusahaan milik Kakek. Aku ingat persis nenekku (Asiah) dan seluruh perempuan termasuk Ibu dan Bibi serta Uwak menangis begitu tahu Kakek meninggal dunia. Allah Yarham. Inna lillahi wa-inna ilayhi Raji'un.

Alhamdulillah, dengan segala kekurangannya, beliau ketika itu sebagai sosok tukang ngaji dan tukang adzan. Masa itu uwak Safiyuddin, Imam masjid Ust. Suruji, Kyai Mahmud, Ust. Turmudzi, Ust. Asrul, masih terbilang saudara dari garis nenek dan kakek. Sehingga aku tidak terlalu sungkan untuk datang sendiri ke masjid setelah kakek meninggal, sekalipun tidak rutin lima waktu.


Cicit ke-3 dari seorang Ulama’ Mujahid Fi Sabilillah


Dari garis ibu, Alhamdulillah, aku masih kecipratan turunan darah mujahid, sekaligus Ulama'. Ulama' sekaligus mujahid. Yang kumaksud adalah Ki (Kyai) Wasyid, salah seorang tokoh perlawanan masyarakat muslim Banten melawan penjajah Belanda yang beragama Kristen.

Pada Senin, 9Juli 1888, terjadi peristiwa bersejarah yang amat terkenal di Banten. Masyarakat setempat menyebutnya peristiwa “Geger Cilegon”. Jihad fi sablillah melawan penjajah ini dipimpin langsung oleh Ki Wasyid. Dalam beberapa masa kemudian, beliau ditangkap Belanda karena adanya pengkhianatan dari kalangan dalam sendiri. Sejarah lengkapnya aku kurang begitu menguasai. Tetapi yang jelas, jika dirunut, ternyata aku termasuk dalam urutan cicit ke-3 dari Ki Wasyid –rahimahullah.

Alonumen jihad beliau diabadikan berupa patung lelaki berjubah lengkap dengan senjatanya, di tengah kota Serang, ibukota provinsi Banten sekarang. Sejarahwan barangkali menyebutnya sebagai "Pahlawan Nasional", tetapi aku menyebutnya sebagai Ulama Mujahid Fi Sabilillah. Semoga Allah menerima amal shaleh beliau •


SD vs Ibtida’iyyah


Sebelum sekolah, aku agak susah membedakan antara amco dan maco. Kebiasaan nonton tv 14” hitam putih di rumah kakek bersama kakak sepupu, membantuku dapat membaca sebelum sekolah. Tetapi yang paling kuat pengaruhnya ialah karena aku sering duduk di sebelah kakek yang acap kali membawa tumpukan surat bertuliskan “Toko Setudju”, “Bon Kontan” –yang agak unik bentuknya ialah kertas mirip uang bertuliskan “Saham Obligasi”. Dan yang sampai kini aku belum mengerti cara menggunakannya ialah benda terdiri dari ‘roda-roda’ kecil terbuat dari kayu keras yang disebut ijiran cina. Alat ini biasa dipakai kakek untuk menghitung. Kadang-kadang beliau gunakan juga untuk menggelitik badanku yang agak kurus. Dia akan terbahak saat aku kegelian.

1978. Menjelang Zhuhur, aku sempat bertanya, “Gimana, bah, sekolah saya, jadi nggak?” Aku benar-benar kecewa saat kudengar, “Pak Matori bilang, kamu belum cukup umur.” Lalu aku ngotot kalau aku sudah bisa baca. Aku benar-benar merengek ingin sekolah. Akhirnya, beberapa hari kemudian, ayah membawaku ke sebuah sekolah yang waktu itu disebut SD IX. Di sana, aku dipertemukan dengan seorang yang kemudian kukenal sebagai Pak Matori, Kepala Sekolah SD tersebut.

Setelah ditanya, aku diminta melingkarkan tangan kananku di atas kepala dan menyentuh telinga kiri. Kemudian beliau menunjuk kursi kayu coklat bertuliskan SD IX warna putih. Ketika disuruh membaca, dengan cepat aku menyebut, Es De -iX (iks)!”. Kontan beliau tergelak begitu juga ayahku. Dua hari setelah itu, Senin, aku resmi jadi murid kelas I SDN 9 Serang.

Pada tahun yang sama, aku telah duduk di kelas dua Madrasah Ibtida’iyyah Al Khairiyyah Serang. Sekolah Agama yang dimulai pukul 14.00 hingga 17.00 WIB itu, memang peraturannya tidak terlalu ketat. Apalagi asatidz (para pengajar)nya adalah saudara dan tetanggaku sendiri. Suasananya memang agak membosankan. Mulai dari bangku, kursi, dan meja tua yang telah dimakan rayap, buku absensi yang lusuh, disiplin yang amburadul sampai pengajar yang terkesan memanfaatkan ‘sisa umur’ dan ‘tenaga sisa’ setelah bekerja di pagi hari. Yah, daripada tidak.

Pergaulanku dengan teman-teman SD berpengaruh besar pada pendidikan ibtida’iyyahku. Dari sekitar 40 murid, tak sampai 10 orang yang belajar di ibtida’iyyah. Memprihatinkan memang. Sejak saat itu, aku mulai ‘ngadat’ malas ke madrasah. Jika sebelumnya pukul 14.00 WIB aku sudah di madrasah, maka kebiasaan baik itu kemudian berubah. Aku lebih suka nonton TV di rumah kawan baru atau jalan-jalan ke alun-alun Serang tanpa sepengetahuan orang tua. Bad habitual itu terus berjalan selama setahun, sehingga akhirnya raport ibtida’iyyahku berangka merah, alias blank. Walhasil tidak naik kelas.

Sepertinya, orangtuaku memahami keadaanku. Mereka tidak marah. Begitu aku menginjak kelas dua SD, terutama ibuku memberi warning dan nasihat agar kembali masuk madrasah. Otomatis sejak pukul 07.00 hingga 17.00 WIB, dipotong shalat Dzuhur hingga 14.00 WIB, aku full belajar. Secara umum, mereka yang di madrasah baru kelas satu, maka di sekolah luar telah menginjak kelas dua ke atas. Bahkan pada saat aku kelas empat ibtida’iyyah, ada di antara kawanku yang telah duduk di kelas III SMP.

Kelas I-II SD kujalani. Sekolah enjoy, biasa-biasa saja. Waktu itu aku belum mengerti apa itu rangking, apa itu angka merah. Hanya yang tidak pernah kulupakan sampai saat ini, jika tiba giliran pelajaran membaca, aku dan dua orang teman sekelasku disuruh keluar dan diberi buku bacaan tersendiri. Kadang-kadang kami disuruh ke perpustakaan. Rupanya Bu Guru tahu kalau aku ‘bosan’ membaca dan menulis “Ini Budi.., itu bukan..” Berulang-ulang.

Kejadian yang terus berulang itu akhirnya kusampaikan pada ibuku. Beliau nampak tersenyum senang. Waktu itulah pertama kali aku mendengar ibu berkata, “Kakak-kakakmu bintang pelajar, kamu harus seperti mereka.” Aku begitu tertarik saat ibu menceritakan bahwa kakakku sering menerima hadiah buku tulis dan perlengkapan sekolah dari sekolahnya. Saat kutanya bagaimana caranya jadi bintang pelajar dan mendapatkan hadiah itu, ibuku hanya bilang, “Rajin-rajin belajar.”

Sebenarnya, tidak ada bedanya bagiku rajin belajar atau pun tidak. Bahkan saat itu, aku memahami rajin belajar sebatas rajin sekolah. Rasanya tidak ada bedanya mengulang kembali pelajaran di rumah ataupun tidak. Toh saat ulangan harian, atau ujian kenaikan kelas, nilai yang didapat tetap sama. Dan, Alhamdulillah, selalu dapat juara kelas. Saingannya paling juga anak pak Penilik Sekolah yang berkantor di Depdikbud. Ia sering mendapat rangking satu.

Di antara pelajaran (bidang studi) yang diajarkan, yang paling kugemari adalah matematika dan IPA. Selebihnya, kuanggap sebagai pelengkap saja. Kalau boleh kubilang, aku membaca 80% buku-buku perpustakaan sekolah, surat kabar, dan majalah. Sedangkan buku-buku pelajaran hanya 20%.

***

“Buldozer” pendidikan sekuler memang terlalu kuat, sehingga sanggup menggusur pendidikan dien (agama). Sejak kelas IV aktivitas SD-ku makin meningkat. Aku harus ikut lomba matematika, lomba catur, lomba puisi, lomba mengarang, dan macam-macam lomba lain yang memerlukan waktu ekstra di luar jam sekolah SD. Anak kecil seusia itu, siapa sih yang tak senang diajak jalan-jalan keluar sekolah oleh Pak Guru untuk ikut perlombaan? Apalagi dikasih makan nasi Padang dan kalau pulang dapat uang saku. Melihat kenyataan ini, kedua orangtuaku tak berkutik. Aku cuma membatin, “Apakah ini yang dimaksud ibu sebagai bintang pelajar?”

Seperti kubilang tadi, akhirnya ibtida’iyyah tergusur. Aku berhenti. Waktu itu aku belum mengerti bahwa sebenarnya hal itu merupakan musibah. Kelas V SD lebih seru lagi. Kali ini aku mewakili sekolah untuk mengikuti pemilihan pelajar teladan mulai tingkat kecamatan, sampai kabupaten. Ada rasa kebanggaan tersendiri, saat upacara Senin pagi, wali kelasku mengumumkan di depan murid-murid dan guru bahwa aku berhasil menjadi pemenang dengan meraih angka 8 (delapan) untuk studi matematika. Nilai itu merupakan angka tertinggi. Untuk mata pelajaran lainnya tak aneh mendapat nilai di atas itu. Alhamdulillah.

Sebagai pelajar SD ‘ultranasionalis’ (Ciyaa..), tak aneh kalau aku dan Tim Sekolah memenangkan cerdas-cermat P4 tingkat kecamatan (lumayan…). Di tingkat kabupaten kami tumbang, Alhamdulillah. Bayangkan kalau menang sampai tingkat kabupaten, terus tingkat provinsi, terus nasional, mungkin sekarang aku jadi pengacaranya Edi Tansil, atau Sofyan Wanandi. Bisa juga menjadi Hakim Ketua yang memvonis ‘hukum mati’ untuk Theo Syafi’i, atau malahan menjadi hakim ketua untuk sidang kasus bom Bali, dan yang jadi tersangka pasti TPM…

Lagi-lagi, aku dikirim mewakili sekolah untuk lomba baca puisi. Seperti biasa, untuk putra, aku ditakdirkan menang tingkat kecamatan sehingga kemudian maju ke tingkat Kabupaten. Waktu itu seingatku utusan putri dari sekolahku kalah tipis. Yang terpilih sebagai pemenang putri malah dari sekolah lain. Siapa dia? (berhubung sudah 23.15 WITA dan aku sudah mengantuk, jadi mendingan tidur dulu deh... he he he...

***



Rupanya pemenang putri itu dari sekolah ‘musuh’-ku, musuh dalam segala perlombaan. Ia dari SD 2 Serang. SD 2 Serang memang musuh bebuyutan dengan SD kami. Tapi yang jelas predikat SD teladan, sudah disapu oleh sekolahku. Kelak ‘sang Putri’ ini bertemu di eS-eM-Pe. Tak disangka.

Adalah karunia Allah yang sangat-sangat-sangat besar jika sejak empat tahun aku dikenalkan masjid –Alhamdulillah– sehingga dalam kesibukan sekolah seperti apapun aku tidak bisa meninggalkan shalat. Inilah barangkali yang akhirnya memanggil nuraniku untuk kembali ke ibtida’iyyah. Aku harus duduk di kelas IV ibtida’iyyah. Di sini aku mulai menyukai pelajaran bahasa Arab dan hadits. Aku sangat senang saat ustadz Asma’i menyuruhku membaca sekaligus menterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Beliau yang juga tetanggaku dan masih saudara jauh, dalam sebulan mengajar empat kali; dua kali bahasa Arab dan dua kali hadits.

Minggu pertama, bahasa Arab teori. Beliau membacakan bahasa Arab kemudian menerjemahkan. Murid-murid mendengarkan. Baru pada pertemuan berikutnya, setiap murid disuruh membaca dan menerjemahkan.

Minggu ketiga, beliau menuliskan hadits sekaligus menerjemahkan. Kemudian beliau menerangkan kandungannya. Seluruh murid wajib menulis tulisannya. Minggu berikutnya beliau khususkan untuk hafalan hadits yang minggu ini beliau tuliskan minggu sebelumnya. Murid yang sudah setor hafalan pada pertemuan itu, tidak punya kewajiban untuk hafalan pada pertemuan berikutnya.

Kebiasaan Pak Ustadz yang kuhafal itu rupanya memancing kebiasaan burukku. Aku memang memiliki kebiasaan kurang bagus waktu itu. Cepat bosan mendengarkan keterangan pelajaran secara formal, bahkan tidak tertarik sama sekali. Sepertinya, aku lebih suka membaca sendiri daripada mendengar guru menerangkan pelajaran. Toh hasilnya sama. Kalaupun aku mendengar dan memperhatikan Sang Guru di depan kelas, itu karena aku manjalankan kewajiban seorang murid untuk menghormati ustadz dan guru. Dan itu akan mendapat pahala di sisi Allah. Hal itu juga melatih seseorang untuk tidak sombong alias takabur.

Dari empat pertemuan dengan ustadz Asma’i, seterusnya aku lebih sering menghadiri dua kali pertemuan saja; pertemuan kedua dan ketiga. Pertemuan pertama dan keempat kugunakan untuk ‘minggat’ ke Pelabuhan Merak. Mengamati kesibukan para kuli panggul, hilir mudik di kapal ferry sekaligus menikmati birunya selat Sunda. Kalau tidak, sudah pasti aku nongkrong di taman bacaan terjauh dari rumah dan sekolah. Teman seangkatan madrasahku, paham benar kebiasaan bolosku. Tetapi anehnya, aku tidak mendapat teguran sama sekali dari orangtua dan para ustadzku. Makin aneh lagi setelah aku dipilih mewakili kelas untuk mengikuti cerdas-cermat tingkat sekolah, kemudian naik ke tingkat kecamatan. Sekolah kami, waktu itu hanya menduduki juara kedua, dikalahkan oleh tuan rumah Madrasah Nurul Huda, Kelapa Dua Serang. Hadiahnya songkok hitam tanpa cap, dan Al Quranul Karim cetakan Al- Ma’arif Bandung.

Harus aku sesali dan aku akui, belajar di Ibtida’iyyah lebih terkesan asal-asalan dengan berbagai faktor penyebab. Sehingga sampai lulus ibtida’iyyah, nilai ijazahku amburadul. Asal lulus. Nilai rata-rata enam lebih dikit. Sedangkan di SD cukup banyak ‘kompor’ yang membuatku sangat termotivasi. Mulai dari teman sekelas sampai wali kelas yang memberikan semacam expectation, agar aku meraih NEM terbesar se Kabupaten Serang. Alhamdulillah tak terlalu berhasil, tidak juga gagal.

Kabar angin yang kudengar, angka tertinggi saat itu adalah 49. Sedangkan aku cuma dapet 47 dari enam mata pelajaran. Di kota lain, kabupaten lain atau provinsi lain, angka seperti itu mungkin terhitung kecil atau dianggap kecil. Tadi di Kabupatenku –kata Pak Guruku– angka yang kuperoleh cukup lumayan. Alhamdulillah.

***

Di luar pendidikan formal versi sekuler, malam hari setelah maghrib sampai Isya’, aku tetap mengikuti pengajian Al-Qur’an secara khusus, mulai dari turutan (Juz ‘Amma) yang menggunakan metode Baghdad (Al-Qa’idah Al-Baghdadiyyah) sampai khatam Al-Qur’an. Selama enam tahun belajar Al-Qur’an, aku baru belajar pada enam guru ngaji, terhitung dari mulai alif bengkok, tajwid, makhraj huruf sampai langgam qira’at.

Para ustadz –semoga Allah membalas kebaikan mereka semua dengan kebaikan setimpal– yang sangat berjasa itu antara lain: Kyai Mahmud, Nyai Ncah, Ustadz Surudji, Ustadz Turmudzi, Ustadz Asrul (Almarhum), Bimur (Almarhum), Kyai Hasan, serta Mang Min.

Teenager

Disadari atau tidak, cerita tentang Jannah (surga) dan Nar (neraka) sangat berpengaruh pada diriku. Apalagi jika membaca komik berjudul Surga dan Neraka dengan peran utama bernama Sholeh dan Karma. Dalam komik bergambar itu, tokoh Sholeh dengan amalnya yang sholeh seperti shalat, ngaji, sedekah, hormat pada orangtua dan kebaikan lainnya akhirnya masuk surga. Sedangkan si Karma yang tidak shalat, tidak ngaji, tidak sedekah dan selalu berbuat keburukan akhirnya masuk neraka.

Otomatis hal ini menimbulkan keinginanku untuk meneruskan pendidikan negeri (sekuler). Ketika lulus SD aku berniat mendaftar ke SMPN 4 Serang dan MTS Insaniyah, Serang. Waktu itu aku berfikiran; SMP Negeri untuk urusan dunia dan Tsanawiyah untuk akhirat. Simple. Kenyataan berbicara lain. SMP favorit –yang ketika test aku ditakdirkan Allah mendapat ranking ke-4 dari 240 siswa yang diterima– itu ternyata kekurangan lokal. Sehingga untuk murid kelas I harus menjalani kegiatan belajar pada sore harinya. Dengan begitu berarti saat itu aku ‘siap diproses’ menjadi manusia Sekuler, manusia Pancasilais yang wajib bertoleransi dengan kebathilan dari penjuru manapun.

***

Ada satu peristiwa “nggak lucu”, yang akhirnya jadi sejarah hidup dan kenangan manis. Dalam satu upacara penutupan penataran P4 murid baru, yang jadi protokol waktu itu adalah..., adalah..., adalah...ya itu, Sang Putri yang menjadi juara I baca puisi pelajar SD se-Kabupaten Serang. Upacara bubar. Siswa berebut ke kantin demi membasahi kerongkongan masing-masing, sekaligus mengganjal perut bagi yang lapar. Kantin penuh. Aku malas berebut. Alternatifnya, aku cari tukang es yang lagi ‘manyun’. Rasanya memang kurang enak, kalau tidak terpaksa –barangkali– para siswa tidak membelinya. “Bagi-bagi rejeki,” pikirku. Aku pun ngloyor ke arahnya. Waktu itu uang Rp 50 masih bisa mendapatkan segelas es.

Belum lagi air itu kuminum, tiba-tiba ‘pembaca protokol’ itu berdiri di depanku, hanya terpisah oleh gerobak kecil tempat menata botol-botol sirup sekitar satu meter. Rupanya Si Dia juga kehausan dan punya selera yang sama. Di hari yang terik itu, aku segera mengucapkan, “Selamat pagi…” Si Dia malah bilang, “Selamat siang dong...!” Lalu kubalas, “Selamat Pagi Indonesia… karya Supardi Djoko Damono...!” Judul puisi wajib bagi seluruh peserta lomba baca puisi yang sama-sama kami ikuti sebelumnya.

Dia hanya menjawab, “Nggak lucu!” Sambil berlari kecil membawa bungkusan es sirup warna orange. Aih! Ketika masuk kelas pada Senin harinya, orang yang bilang “nggak lucu” itu ketemu lagi. Rupanya kita sama-sama duduk di kelas satu ‘A’. Hari pertama kita masuk, Wali Kelas meminta masing-masing siswa memperkenalkan diri. Dari perkenalan demi perkenalan itu, aku jadi tahu kalau ‘satu A’ terdiri dari para ‘Veteran’ berbagai perlombaan di masing-masing SD dulu.

Saat tiba giliranku, aku hanya memperkenalkan nama dan asal sekolahku. Begitu aku akan kembali duduk, ada diantara siswa yang protes, "Hi... curang, dia pelajar teladan tuh Pak!!!” Hotman Simatupang, guru matematika yang kebetulan waktu itu memimpin perkenalan kami menahanku agar tidak duduk dulu. Ia memintaku untuk melengkapi introduction. Yah... terpaksa sambil nyengir kuda kuceritakan juga sedikit pengalaman eS-De.

Perkenalan selesai. Acara berikutnya pemilihan Ketua Kelas. Orang yang kemarin lusa bilang “Ngga’ lucu!” itu terpilih menjadi kandidat. Aku juga. Ha ha ha. Apa karena gara-gara beli es sirup di tempat yang sama, atau gara-gara sama-sama baca puisi, aku tak tahu. Di eS-De udah bosan jadi Ketua Kelas, juga ketua regu “Rajawali”. Aku buru-buru konsentrasi doa moga-moga bukan aku yang terpilih jadi Ketua Kelas. Anugerah....benar! Alhamdulillah, aku tak terpilih. Protokol “ngga’ lucu” itu akhirnya resmi jadi Ketua Kelas satu A. Sedangkan aku lupa, entah jadi apa.

Selain pelajaran PSPB (Pendidikan Sejarah Pembohongan Bangsa) yang mencetakku menjadi Pancasilais dan Nasionalis, tidak ada pelajaran lain yang aneh. Kalaupun saat itu aku cukup menyukai subject Bahasa Inggris, itu karena Pak Ma’ruf kulihat rajin shalat. Soal vocab, kelas V SD aku sempat sedikit berguru pada abang kandungku –yang sampai detik buku ini kutulis tidak pernah bertemu lagi (semoga Allah memberikan hidayah).

Satu dua pesan guru Ibtida’iyyahku, membantuku tidak terlalu terseret arus kerusakan remaja awal. Setidaknya dalam nuraniku yang masih sangat ingusan waktu itu, tertanam perasaan atau semacam ‘intuisi’, bahwa kelas ‘satu A’ sedang berjalan menuju kerusakan. Betapa tidak, sebagian besar siswa telah merobohkan tiang agama. Mereka meninggalkan shalat. Belajar mulai jam 13.00 WIB, selesai 17.30 WIB, Maghrib 17.45 WIB. Shalat Asharnya kapan? Alhamdulillah, aku dan tiga orang teman sekelas memanfaatkan waktu istirahat yang sangat singkat itu untuk shalat Ashar di luar sekolah seberang jalan. Disebut masjid Den-Bek. Sarung Cap Manggis dan peci hitam cap 555-ku kerap kami pakai bergantian. Alhamdulillah.

***

Heterogenitas dunia eS-eM-Pe di jantung kota itu memang sangat mengasyikkan. Adalah hal yang sangat biasa jika siswa dan siswi belajar bersama, kemah bersama, makan bareng-bareng, naik angkot nengok teman sakit bareng-bareng. Itu semua –pada saat itu– kuanggap tidak apa-apa. Bahkan kuanggap sebagai ‘keharusan’ dunia remaja. Dengan modal hanya ‘tidak meninggalkan sholat’, aku sangat bangga dan bersemangat saat menceritakan kepada Ayah-Bunda bahwa aku dan teman-teman, siswa dan siswi, empat atau lima orang, habis nonton film bareng. Tidak ada teguran sekalipun aku telah bergaul dengan bukan mahram. Kalau di kota yang terkenal religius saja sudah seperti itu, bagaimana pula pergaulan di kota lain?

Pergaulan yang –jika dilihat dari kacamata Islam– termasuk amburadul itu, dengan takdir Allah tidak menghalangiku untuk meraih juara I pidato se-SMP 4. Naskah pidato yang kutulis sendiri pada waktu itu tak lain dari memory recall pelajaran Tarikh Nabi sewaktu di ibtida’iyyah, ditambah dengan sedikit dari “Sejarah 25 Nabi dan Rasul” Ny. Hadiyah Salim, hadiah dari Bunda tercinta.

Allah Maha Penyayang. Maha Pengasih. Maha Tahu. Dialah, hanya Dia; Pemberi hidayah. Dia tidak membiarkan masa remajaku ‘terbakar’ begitu saja oleh gelombang sekularisme dan materialisme bin Pancasila. Satu ketika seusai EBAS (Evaluasi Belajar Akhir Semester) dua, seluruh sekolah libur selama dua pekan. Saat itu bertepatan dengan bulan Ramadhan. Di antara beberapa organisasi Islam, Muhammadiyah dan Persis bergabung mengadakan acara Pesantren Ramadhan. Dengan dorongan kedua orangtuaku, kakak serta abang, Allah menggerakkan hatiku untuk mengikutinya selama sepekan.

Penjelasan dan pengajaran yang ilmiah, fair dan bersahaja, ditambah keikhlasan para asatidz dan panitia, menjadikan aku benar-benar tertarik. Di situlah aku mengerti apa itu bid’ah, apa itu sunnah, apa itu syirik dan apa itu Islam. Penjelasan masalah pergaulan, membuatku benar-benar tertusuk.

Masih segar dalam ingatanku keterangan guru agama di SMP, bahwa dalam berjalan, siswi harus di sebelah kiri dan siswa di sebelah kanan. Ini karena perempuan di Indonesia aturannya memang berjalan di sebelah kiri. Nah, pada saat ustadzah di Pesantren Ramadhan memancing para peserta tentang bagaimana cara berjalan lelaki dan perempuan ketika bersama-sama? Secara spontan dan sangat ‘pe-de’ aku menjawab persis seperti yang diterangkan guru agamaku di SMP. Ada juga peserta yang menjawab kebalikannya, tetapi kebanyakan idem dengan jawabanku.

Setelah suasana reda, ustadzah kemudian menjelaskan bahwa berjalan beriringan lelaki dan wanita yang bukan mahram adalah haram, dilarang dalam Islam. Baik si laki-laki di sebelah kanan atau di sebelah kiri, baik sepasang maupun beberapa pasang. Beliau kemudian memberikan dalil dari Al-Qur’an dan Hadits yang menjadi dasar hukum keterangannya.

Uraian beliau membuatku benar-benar kaget, sedih dan sejuta perasaan lain. Kurasa, itulah konflik batin pertama yang kualami. Bagaimana tidak, sejak aku mengenal sekolah, aku telah terbiasa bergaul dan bermain dengan siswi-siswi yang tak menutup aurat. Bebas bersalaman dengan mereka tanpa merasa berdosa. Bahkan setiap kali aku kebagian giliran tugas baca do’a dalam upacara bendera, ada beberapa siswi yang dengan sukarela memakaikan dasi kupu-kupu di leherku, ada yang memakaikan topi, lalu kemudian kami tertawa riang bersama khas remaja tanpa merasa berdosa sedikit pun. Jika ada yang tidak suka dengan gaya kami, segera kami beranggapan bahwa dia cemburu, atau buruk sangka, atau ketinggalan zaman. Jadi, ya kami jalan terus, toh kami nggak ngapa-ngapain, lagian di depan banyak orang. Musibah!

Bagiku, Pekan Ramadhan saat itu benar-benar penuh hidayah dan rahmat. Itulah starting point yang membuatku mengerti betapa indahnya Islam, betapa hebatnya Islam, betapa sempurnanya Islam. Di situ aku mengerti bahwa hanya Islamlah satu-satunya jalan menuju kemuliaan hidup di dunia dan akhirat. Padahal sebelumnya aku hanya mengerti bahwa Islam itu sekedar ritual. Sejak saat itu aku mulai mengerti apa arti hidup, apa arti ibadah. Aku mulai paham dan merasakan sebuah kekhusyu’an. Aku mengerti bahwa masa-laluku adalah salah. Astaghfirullah!!!

***

Senin, aku harus kembali ke eS-eM-Pe E. Tidak seorang pun tahu bahwa hampir sepanjang malam aku menangis, menyesali masa lalu. Kadang-kadang batinku ‘mengutuk’ mengapa para asatidz di Ibtida’iyyah dulu tidak memberikan pengertian yang benar tentang Islam. Begitu juga guru agamaku di SMP. Sebenarnya, aku enggan kembali ke sekolah. Saat itu aku benar-benar membenci teman-teman wanita di sekolahku, kecil-kecil udah pada nyanyi lagu cinta, giliran disuruh ngaji pada mlongo.

Aku juga membenci diri sendiri kenapa masuk sekolah ‘Belanda’ itu? Demi menghormati dan menjaga hati orangtua, meski dengan ogah-ogahan, akhirnya aku ke sekolah. Biasanya naik angkot, kali itu aku jalan kaki sambil tak berhenti memikiran dan membandingkan materi-materi di Pekan Ramadhan dan di SMP. Jauuh...jauuh! Aku benar-benar menyesal, kecewa dan marah. Tapi pada siapa? Aku juga cukup jengkel begitu ingat bahwa ke sekolah harus mengenakan celana pendek warna biru di atas lutut.

Sejak di gerbang sekolah sampai di kelas, tak seorang pun yang kusapa. Teman putri yang bilang “Selamat pagi” pun tak kujawab. Teman putra yang bilang “Selamat pagi” kujawab dengan, “Assalamu'alaikum.” Beberapa menit kemudian, pengajian oleh guru agama di lapangan basket dimulai. Para siswa dipersilakan bertanya tentang seluruh masalah agama setelah beliau berceramah sekitar setengah jam. Aneh, penjelasannya sama sekali tidak menyentuh hati dan cenderung membosankan.

Dalam secarik kertas, kutuliskan pertanyaan tentang hukum seorang wanita baligh mengenakan jilbab. Maksud pertanyaanku, agar guru agama itu menjelaskan kepada seluruh siswi supaya menutup aurat mereka. Kupikir beliau akan menerangkan kadungan surat An-Nur ayat 30-31 dan Al-Ahzab ayat 53 tentang kewajiban memakai jilbab. Tercengang aku. Apa jawaban beliau? “Jilbab adalah budaya Arab, untuk menutupi wajah dari pasir karena Arab terkenal gurun pasirnya. Sedangkan Islam mencintai kebersihan. Sedangkan di Indonesia alam dan iklimnya lain. Jadi tidak wajib memakai jilbab.”

Benar-benar menjengkelkan. Saat itu aku merasa berada di tengah dunia lain. Dunia sekuler. Dunia yang jauh dari Al-Qur’an dan Sunnah. Dunia yang jauh dari Islam. Dunia yang sangat dekat bahkan terkurung oleh Sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di Indonesia: adalah Pancasila. Dunia astung!

Raport kenaikan kelas dibagi. Seperti biasa, juara kelas I sampai III disuruh berdiri di depan kelas. Aku hanya tunduk. Bosan. Hati kecilku waktu itu sudah bergumam gundah, “Aku juara sekuler!” Mulai hari itu, aku mempunyai kekuatan dalam hati untuk tidak bersalaman dengan perempuan non-mahram. So, barangkali teman-teman putri yang dulu memakaikan topi dan dasi kupu-kupu warna biru, ketika upacara, agak terkejut dan tersinggung ketika uluran tangan mereka tak kusambut. Saat itu aku hanya merapatkan kedua telapak tanganku di depan dada sambil berkata, “Alhamdulillah.” Aku sempat mendengar ucapan salah seorang dari mereka, “Dih... najis, kok berubah?”

Benar! Ketua regu Garuda, pembaca doa upacara bendera, dan ‘siswa gaul’ itu, telah berubah. Sejak liburan panjang akhir tahun ajaran 1984/1985 dimulai, aku sudah berniat good bye SMP sekuler. Aku ingin mesantren atau pindah ke sekolah PERSIS (Persatuan Islam). Niat itu sudah kusampaikan kepada kedua orangtuaku. Mereka bingung juga.

Sejak SD dan Ibtida’iyyah, aku punya tempat khusus untuk menyendiri selain taman bacaan. Tempat itu berada di tegalan yang tak terlalu jauh dari kuburan, sekitar 100 meter dari rumah. Saat itu, aku memilih ke ‘pertapaan’-ku sambil membawa buku. Barangkali dapat ilham, pikirku.

Sekitar 20 meter dari tempat yang kutuju, terdapat 3-4 anak-anak sebayaku bermain. Satu di antaranya teman sekelasku waktu SD. Kami ngobrol sebentar. Baru sekitar lima menitan, tiba-tiba mata kaki kananku seperti disengat sesuatu. Dua anak yang sejak aku datang asyik menikmati mangga di atas pohonnya, tiba-tiba langsung melorot turun. Dua-duanya kemudian lari menjauh sambil teriak “Ular..ular..!” Teman yang tadi mengobrol pun jadi ikut bingung. Soalnya kami tak melihat ular. Kakiku terasa berdenyut-denyut. Nyeri.

Kulihat agak kebiru-biruan. Ada lubang kecil dan sedikit darah tapi tak mengalir. Segera kumasukkan ibu jariku ke langit-langit mulutku. Kuambil lendirnya. Bismillah, kusapukan lendir itu ke tempat luka. Setengah pincang aku berlari kecil ke rumah. Temanku tadi ikut mengantar. Kejadiannya setelah Ashar. Begitu Maghrib, ukuran kakiku menjadi dua kali lebih gemuk dari kaki kiri. Kami berdua tak tahu pasti apa penyebab sebenarnya.

Dalam keadaan kaki sakit, beberapa hari kemudian aku mendapat undangan menghadiri semacam Bazar Amal Pesantren Persatuan Islam. Berjalan kaki tak mungkin, naik becak juga dilarang. Jalan terakhir satu-satunya adalah naik ‘kendaraan terakhir’ yang ayah miliki. Akhirnya kami keluarga menghadiri bazar tersebut. Belakangan aku baru sadar, rupanya itulah ‘kebersamaan terakhir’ yang aku lampaui bersama kedua orangtuaku.

***



Rasa haru dan kagum timbul saat menyaksikan murid-murid SDI (SD Islam) mementaskan kemampuan mereka menghafal hadits sekaligus terjemahannya. Luar biasa. Tiba-tiba ada yang mencabut peci ‘sakti’ cap 555 yang bertengger di kepalaku. Orang berjilbab yang ternyata ‘kakak pernah sepupuku’ pelakunya. Dia bilang, “Nanti kalau dipanggil ke depan, kamu jangan pakai peci ya! Bagusan tanpa peci.” No comment. Akhirnya peci ‘apek’ kesayanganku itu dikembalikan lagi.

Pada sesi akhir acara Bazar Amal, aku terkejut begitu namaku disebut sebagai peserta terbaik Pesantren Ramadhan tahun itu. Aku diminta naik panggung. Sambil setengah pincang dan setengah malas, kukeluarkan peci yang kukantongi tadi dan kukenakan kembali. Tepat di dekat tangga anak panggung yang terlindung dari penglihatan hadirin, tiba-tiba sepupuku mencabut kembali peciku sambil bilang, “Udah gitu aja, cakep tuh!” No time, naik panggung, terima piagam. Hadirin tepuk tangan. Bosan. Aku turun lagi.

Sejak menyaksikan kemahiran murid-murid Pesantren Islam itu, keinginanku untuk pindah sekolah semakin kuat. Di sekolah itu semua siswi berjilbab, anggun dan sopan. Ruh ke-Islaman kuat terasa. Sedangkan seluruh siswa mengenakan celana panjang. Mantap!

Tahun ajaran baru 1984/1985 tiba. Kaki kananku yang belum membaik lebih menguatkan alasanku untuk tidak daftar ulang ke sekolah sekuler. Lewat seminggu, datang utusan dari sekolahku mempertanyakan masalah daftar ulang dan kelanjutan pendidikan. Tanpa sepengetahuan ayah ibuku, kukatakan kepada mereka, yang juga teman sekolah dan tetanggaku, bahwa aku akan pindah sekolah. Mereka kaget dan tidak setuju dengan rencanaku itu. Rata-rata mereka menyayangkan prestasiku dan kemampuanku jika harus pindah ke sekolah lain.

Tak sampai sepekan, teman-teman yang datang menemuiku lebih banyak lagi. Aku salut dengan solidaritas mereka. Kali ini ibuku turut bicara. Satu di antara mereka menyampaikan pesan sekolah bahwa aku mendapat juara umum ke-3 se SMP. Penentuan itu didapatkan dari hasil EBAS plus kegiatan ko dan ekstra kurikuler. Juara satunya diraih oleh kakak kelas. Kedatanganku sangat diharapkan dalam upacara Senin sekaligus pengumuman dan pembagian hadiah. Jadi, kata mereka, kalau mau pindah sekolah ya nanti saja setelah pengumuman, yang penting datang dulu.

Nampaknya ibuku tertarik, padahal aku juga tertarik, tapi sedikit. Aku tidak ingin ibuku kecewa, sekali pun beliau tidak memaksa. Hati manusia begitu tipis, mudah berubah, apalagi jika berhadapan dengan dunia, barangkali aku seperti itu. Musibah lagi!

***

Ke sekolah lagi. Sepatu “Arista” strip kuning, celana biru pendek, dasi kupu-kupu cap “kancing cepret”, topi pet, tas anti karat anyaman daun pandan, langsung ke bagian Admin bayar daftar ulang. Di situ aku baru tahu aku duduk di kelas paling bontot, II-E. Masuk sebentar, sekedar menyimpan tas di sembarang meja. Bel upacara telah dipencet pertanda dimulai apel Senin di lapangan basket. Biasanya aku ada di depan atau baris kedua, karena memang tubuhku kecil. Tapi setelah ‘nyantri’ aku memaksa berada di barisan belakang. Tidak ada yang menarik dari penjelasan ‘Pembina Upacara’ sekaligus Kepala Sekolah itu.

Pembina OSIS membacakan pengumuman yang bagiku tak surprise lagi. Namaku dipanggil maju lagi. Berdiri dekat tiang bendera menghadap ke arah sekitar 600 bocah lebih siswa dan dewan guru. Kepala sekolah menyalami kami setelah memberi hadiah. Tepuk tangan riuh rendah. Hatiku biasa saja, sebab waktu itu aku sudah mengerti apa itu riya’ dan apa itu rendah hati.

Kelas II-E. Alhamdulillah, dengan teman putra dari kelas berapa pun aku adaptable, begitu juga dengan guru-guru. Ada satu topik yang cukup melekat di benakku saat itu bahwa wanita adalah tiang negara, jika wanita baik maka negara akan baik, jika wanita rusak maka negara rusak. Bekal dari pesantren Ramadhan bagiku menjadi beban moral. Didorong oleh hadits, “ballighu ‘anni walau ayah” (sampaikanlah dariku walaupun satu ayat), akhirnya aku ajak teman-teman diskusi di kelasku, baik putra maupun putri. Saat aku bicara masalah jilbab, 99,999% tidak nyambung. Dari 24 siswi hanya satu yang nyambung. Barangkali pendidikan agama di rumahnya cukup bagus. Tapi ya bagaimana? Mau pakai jilbab di zaman seperti itu sama halnya dengan mengharapkan surat berhenti sekolah.

Ada yang lucu. Waktu itu istilah ‘dengkulmu’ adalah istilah gaul yang sama sekali tidak berarti kasar. Ia lebih sebagai istilah keakraban. Saat aku ajak ngobrol masalah aurat pria tiba-tiba hampir serempak ada beberapa teman nyeletuk, “Dengkulmu, bagaimana coba?” “Sama-sama bengkok,” kataku. Kami tertawa bersama.

Saat itu, semangat membacaku semakin ‘menggila’. Tiada hari tanpa perpustakaan. Keragaman judul buku dan ruangan yang cukup luas membuatku sanggup bertahan lama. Alhamdulillah, hampir sebagian besar buku di tempat itu pernah kubaca. Setelah buku-buku agama, ensiklopedia bergambar tentang alam semesta benar-benar menarik perhatianku. Seingatku, satu-satunya novel yang pernah kubaca adalah, Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Buya Hamka.

Sedangkan Tengelamnya Kapal Van Der Wijck Hamka, Salah Didik, Salah Asuh, Atheist, atau yang lainnya aku sama sekali tak tertarik. Aku juga tidak tertarik dengan Siti Nurbaya yang hanya tahu judulnya saja. Satu ketika aku pernah kecewa terhadap perpustakaan. Ceritanya, aku bermaksud pinjam buku untuk dibawa pulang. Alhamdulillah, ternyata buku-buku itu sudah kubaca. Ada yang belum kubaca tapi tak menarik, ada juga yang menarik tapi sedang dipinjam anggota perpustakaan lain. Jadi tak ada judul baru yang bisa kubaca. Kalau tak salah, jatah maksimal buku yang boleh dipinjam dalam satu kali adalah tiga judul. Tetapi aku biasanya nego dengan penjaga perpustakaan.

Alhamdulillah bisa membawa pulang sampai empat buku. Meski demikian, kebiasaan ‘mustaka’ itu tidak membuatku menjadi ‘kuper’. Pergaulan dengan teman-teman tetap terjaga. Meski waktu undangan ulang tahun dari siapapun tidak pernah kuhadiri. Alhamdulillah, aku berhasil menolak dengan cara yang baik. Satu dua orang ada yang menganggapku fanatik, tetapi dia menghormati pendirianku. Jadi kita nggak clash. Kami jalan masing-masing.

***

Suatu ketika aku dipanggil oleh guru elektronika yang juga pembina pramuka. Bukan main senangnya ketika diberitahu bahwa aku mendapat beasiswa Depdikbud Kabupaten Serang. Jika ketika SD aku dibebaskan uang SPP dan BP3, maka kali ini aku mendapat tabanas selama setahun. Aktifitas di OSIS sama sekali tidak mengganggu stabilitas prestasi belajarku, baik sebagai juara kelas maupun juara umum. Alhamdulillah. Malah pergaulanku semakin luas.

Entah siapa yang mulai, teman-temanku tiba-tiba menjodoh-jodohkanku dengan ketua OSIS yang juga mantan juara baca puisi SD, sekaligus pernah bilang, “nggak lucu”. Aku cukup terkejut saat memasuki aula, tiba-tiba adik-adik kelas dan kakak kelas menyanyi, “Zakiyah siapa yang punya... Zakiyah siapa yang punya..., yang punya ... Abdul Aziz”. Tak bisa kugambarkan perasaanku. Aku dan istriku (sorry, waktu itu belum jadi istri) saling pandang secara reflek dan kami sama-sama tersenyum.


Saat Salju Tiba, Rindu pun Menjelma


Tapi itu hanyalah sebuah lukisan yang sempat terpampang di kamar belajarku, kamar seorang siswa kelas 3A, No Induk 8485 1027, SMP Negeri 4 Serang, Jl Juhdi No. 18, Serang, Banten, Jawa Barat, Indonesia. Kodeposnya lupa, tetapi barangkali istriku ingat, sebab dia teman sekelasku dulu, pernah di bangku depan, duduk bersebelahan.

Di sebelah lukisan bagus itu ada rumus. Rumus yang mengesankan. Di bawah rumus-rumus itu ada tumpukan buku. Di antara buku-buku itu ada sebuah buku berjudul, Ayatur Rahman fie Jihadi Afghanistan (Tanda-tanda kekuasaan Allah dalam Jihad di Afghanistan) tulisan Dr. Abdullah Azzam rahimahullah. Mereka yang sempat membaca buku itu, Insya Allah akan tergerak hatinya untuk berjihad mengangkat senjata ke Afghanistan. Tapi waktu itu umurku masih 16 tahun, baru bisa membayangkan, menghayati, dan kemudian melamun.

Lebih dari sekali buku itu kubaca, dan selesai membacanya selalu Aku berdoa semoga Allah menyampaikanku ke bumi Afghanistan, negeri para syuhada, negeri para penghuni syurga.

Di pintu dalam kamar belajarku, ada aku gambar peta Afghanistan. Bentuknya mirip peta Kalimantan. Terakhir kulihat pada tahun 1995. Saat aku menikah, gambar itu masih tertempel di sana.

Sejak mengenal ‘buku ajaib’ itu, aku tak pernah berhenti berdoa agar Allah menggabungkanku dengan para mujahidin dan menjadikanku salah seorang syuhada. Untuk mempertajam dan memantapkan doaku, sejak saat itu juga aku berhenti nonton TV dan mendengarkan musik. Saat itu juga, aku menjadi semacam introvert. Teman setiaku adalah Al-Qur’an dan buku-buku diniyah (agama). Sesekali, aku ada membaca surat tulisan tangan dari seorang teman wanita yang kini menjadi ibu bagi anak-anakku juga anak-anaknya.

***

Intifadhah Palestina dan jihad Afghanistan membuat diriku benar-benar geram dan gundah. Aku ingin segera selesai sekolah dan mencari kerja untuk mendapatkan ongkos ke Afghanistan. Tapi ya bagaimana, untuk beli perangko kartu lebaran dan buku diary untuk kukirim ke Ketua OSIS-ku saja, aku harus menjebol tabunganku hasil beasiswa dari Depdikbud waktu itu. Ketua OSIS-ku waktu itu, kini menjadi Perdana Menteri di kerajaan tentara dan mata air di surga (nama putraku berarti Tentara Allah, dan nama putriku berarti mata air di surga). Dan yang menjadi Kaisar atau Rajanya adalah Imam Samudra.

Alhamdulillah, Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. Tiga tahun kemudian doaku terkabul. Tahun 1990, aku lulus MAN (Madrasah Aliyah Negeri) Cikulur, Serang. Di sebuah masjid Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, tepatnya masjid Al Furqan, jalan Kramat Raya 45, Jakarta, aku mendengarkan ceramah dari seorang da’i yang kurang aku kenal namanya. Saat itu juga aku berjumpa dengan seseorang bernama Jabir (syahid dalam peristiwa bom Antapani Bandung). Dengan bahasa Indo-Sunda, kami berkenalan. Kemudian entah bagaimana ceritanya, pembicaraan saat sampai pada topik jihad. Kuceritakan buku-buku jihad yang pernah kubaca, ia nampak interes dan antusias.

Setelah dia (agak) mengorek latar belakangku, seingatku waktu itu, dia berkata, “Tahun ini ada pemberangkatan, mau ikut nggak?” Untuk memperkuat dugaanku lalu kutanya, “Maksudnya ke Afghanistan?” Dia hanya menjawab, “Dik, udah dech, cepetan cari ongkos sekitar Rp 300 ribu. Insya Allah kalau antum ikhlas, Allah akan memudahkan urusan antum.”

Ciaoooo!!! Segera aku pamit dan kembali ke rumah. Ada sedikit sisa tabungan hasil kirim artikel berita ke Panji Masyarakat ditambah pemberian ibunda tercinta. Aku tak terlalu enak meminta uang dari ibuku, tapi apa boleh buat, setelah aku nyatakan bahwa aku akan ke luar negeri, beliau memberikan uang yang aku perlukan. Uang itu hasil usaha menjual jilbab dan busana muslimah yang kadang-kadang kubantu mencarikan bahan-bahannya di Tanah Abang, Jakarta.

Jumpa lagi sekitar tiga hari berikutnya dengan Kang Jabir. Setelah mendapatkan paspor Jakarta dalam minggu yang sama, kami ke Dumai dan bermalam sehari. Keesokan harinya, perjalanan dilanjutkan ke Malaka, Malaysia. Pada waktu itu rute Dumai-Malaka terkenal sebagai jalur TKI. Tidak sedikit mereka yang ditolak oleh imigrasi Malaysia, sekalipun mereka melengkapi dengan dokumen resmi dan uang tunjuk (uang jaminan selama tinggal di Malaysia).

Karena barangkali aku tidak memiliki tampang TKI, Alhamdulillah, dengan mudah dapat melewati antrian ratusan ‘turis’ Indonesia yang akan ke Malaysia. Tinggal sehari lebih sedikit di Malaysia. Keesokan sorenya kami menuju bandara Subang-Jaya, Selangor Darul-Ehsan. Begitu pesawat MAS (Malaysian Air System) take off, aku baru merasakan benar-benar berat meninggalkan tanah air. Ada perasaan ‘lain’ terhadap mantan Ketua OSIS SMPN-4 angkatan 84/85 Serang. Ok! Lupakan itu. Aku segera teringat ayat ini:

Katakanlah, “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya dan Allah tidak memberi petunjuk (hidayah) kepada orang-orang fasiq.” (At-Taubah : 24).

***



Di atas udara dalam pesawat, para kernet udara (stewardest) menawarkan free post card, amplop dan sejilid kecil kertas surat berlogo Malaysian Air System. Sambil mengisi waktu 8 jam flight KL-KHI (Kuala Lumpur-Karachi), kutulis sekeping post card kepada satu-satunya wanita –selain ibu dan saudariku– yang pernah singgah dan akhirnya menetap dalam kehidupanku. Wanita itu adalah mantan Ketua OSIS yang pada saat itu juga baru lulus SMA. Kalau tak salah post card itu ditulisi dengan terjemahan surat Al-Baqarah ayat 214:

Apakah kamu menyangka bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang padamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam goncangan/cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.

Alhamdulillah, dengan takdir Allah, paid stamp post card itu akhirnya sampai juga ke tangan Sang Mantan Ketua OSIS, yang kuketahui beberapa saat menjelang pernikahan kami, 1995.

Setelah transit dua jam di Bombay, India, MAS yang kami tumpangi selamat landas di Karachi. Sehari semalam, kami bermalam di maehmon khana (ruang tamu) sebuah masjid Karachi. Perjalanan dilanjutkan ke Peshawar pada awal pagi. Sampai saat ini aku tak tahu apa nama daerah itu, sebuah rumah gaya Paki-Afghan yang sangat sesuai dengan syariat Islam.

Tinggal sehari di situ. Ba’da shubuh esok harinya, perjalanan ke negeri impian para lelaki dilanjutkan. Melewati gunung-gunung yang indah, menumpang bus dengan penumpang sebagian besarnya berbahasa ‘planet’ yang tidak pernah kukenal sama sekali. Sepanjang perjalanan aku yang mengenakan pakaian Afghanis dan menutup seluruh wajahku kecuali mata dengan menggunakan ridah (selimut tipis), tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sekali bicara, orang akan tahu siapa aku. Perjalanan sepenuhnya dipimpin oleh Syahid Jabir dan dua orang Arab yang sampai saat ini tak kukenal darimana dan siapa namanya.

Menjelang Ashar, dengan berjalan kaki dari perbatasan Pakistan-Afghanistan selama hampir 4 jam, sampailah kami di sebuah camp sederhana yang terkenal dengan sebutan, Muaskar Khilafah. Di situ aku memulai kehidupan yang sama sekali baru dan sangat baru. Kehidupan yang betul-betul bersih sekalipun tidak disebut ‘steril’ 100 persen.

***

Sungguh, satu babak kehidupan baru yang amat membahagiakan.

‘Musik’ kami adalah rentetan peluru, ledakan mortar,

dan dentuman zigoyak dan da-scha-ka- (anti air craft gun).

‘Nyanyian’ kami adalah nasyid-nasyid (sejenis achapella)

pembangkit semangat jihad.

‘Senandung’ kami adalah lantunan ayat-ayat Al-Qur’an

yang tak pernah berhenti selama 24 jam saling bergiliran.

Tiada suara wanita, tiada tangis anak kecil,

apalagi musik-musik jahiliyah, panggilan setan.

Flat ground yang dikelilingi gunung di empat penjuru itu benar-benar menentramkan hati, benar-benar ‘surga’ bagi para perindu surga kekal di akhirat. Tidak ada seorang pun yang berani datang ke tempat itu kecuali ia benar-benar siap menggadaikan nyawanya di jalan Allah. Tidak ada seorang pun bertahan lama di situ kecuali jika ia telah siap bertarung melawan kaum kafir, baik komunis asli Uni Soviet ataupun komunis northern sebangsa Dustum –yang kini berkoalisi dengan Si Karzai di bawah ketiak Amerika dan para pengecut sekutunya.

Mereka yang datang ke tempat ‘aneh’ seperti itu hanyalah mereka yang siap membunuh atau dibunuh kafir, siap berjihad demi menegakkan kalimat Allah. Dan kesiapan mental seperti itu, hanya akan terwujud dengan rahmat dan takdir Allah. Alhamdulillah.

Khost, nama tempat itu. Daun-daun zaitun masih kekal bertahan. Daun-daun caparkat dan cactus Afghan telah luruh, tinggallah duri-duri dan kayunya yang kelak dibakar untuk kayu penghangat dan pemasak. Anor (delima) tak lagi berbuah, runtuh sudah daun-daunnya. Saghol (serigala) melolong di tengah malam. Selapis jaket mesti dikenakan. Begitulah keadaannya saat pertama kali aku tiba. Ya, saat itu musim gugur telah tiba.

Purnama kelima dari saat awal aku tiba telah menjelma. Musim gugur hilang sudah. Datanglah penggantinya. Afghanistan menggigil. Satu ketika sepulang belajar, saat aku berbaring di dekat room heater, suara keras bertubu-tubi menimpa atap tendaku, persis seperti bunyi lemparan benda keras. Saudara-saudara Afghan berteriak, “Baraan…, baraan…” Segera Aku longokkan kepalaku keluar tenda. Dan… pletak! Sebongkah benda menjitak kepalaku. Subhanallah.., bongkahan itu ternyata benda keras yang terbuat dari air yang membeku sebesar biji nangka. Dingin rasanya. Jernih warnanya. Es, nama benda itu... Kemudian baru kutahu kalau baraan itu artinya hujan.

Tiga hari kemudian sekitar jam enam pagi kudengar lagi teriakan saudara Afghan, “Baraaf..., baraaf...” Penasaran kujengukkan kepala keluar tenda. Subhanallah…, Salju..., salju...! Saat itu aku benar-benar menjadi ‘anak kecil’. Jika dulu aku suka hujan-hujanan di kampung halaman, maka saat itu aku salju-saljuan. Segera aku melompat keluar tenda menyambut kapas demi kapas salju yang terjun dari pintu-pintu langit. Saudara-saudara Afghan dan Arab hanya cengar-cengir dan cengengesan melihat polahku, tapi aku tak peduli. Ya, di negeriku tidak ada salju. Yang ada hanyalah hujan air, dan setelah itu lahirlah banjir.

Menjelang delapan pagi, saat akan memulai rutinitas, gunung-gunung di sekitar kami telah berselimut salju. Puncaknya begitu indah, hampir sama dengan gambar iklan Hazeline Snow. Di sekeliling kami tanah yang dulu berwarna coklat kini memutih, begitu juga pepohonan dan bebatuan. Kata penghuni lama di camp itu, suhu udara mencapai -7 °C (minus tujuh derajat celcius), jauh di bawah titik beku. Aku sendiri tak pernah mengukur. Yang jelas, orang sekurus aku mengenakan sekitar 5 lapis pakaian, dan kadang-kadang 6 lapis jika ditambah jaket wool ala Eropa.

Khost bukanlah kampus biasa. Bukan kampus orang-orang Eropa atau Amerika yang mengisi kehidupan mereka dengan segala kemaksiatan dan kemewahan dunia. Jika mereka kuliah, hanyalah demi kepentingan dunia semata. Khost adalah sekeping tanah di bentangan-bentangan bumi. Sewaktu-waktu, kapan saja, musuh bisa menyerang, menghantar mortar, memuntahkan peluru, lalu terjadilah pertempuran seru. Ajal memang di tangan Allah. Tapi di Khost dan front-front jihad lain di Afghanistan kematian terasa begitu dekat. Musuh ada di segala arah. Maut sewaktu-waktu akan menjemput.

***


Siaga tetap siaga. Waspada tetap waspada. Tetapi ‘indah’ adalah ‘indah’. Main salju bagiku terlalu indah, subhanallah. Umurku saat itu baru menjelang dua puluh. Masih ada tersisa rona-rona jahiliyah. Masih ada guratan-guratan kenangan lama. Tanggal dan harinya lupa sudah. Tetapi yang jelas di malam hari, langit begitu cerah, gemintang begitu indah menantang. Cassiopia, jalinan bintang berbentuk ‘W’ kubidik sebagai sasaran.

Nah…, tiba-tiba ingatanku jauh ‘terlempar’ ke alam ‘sana’, ke sebuah benua bernama Asia, terus terlempar ke Asia Tenggara, dan terus ke sebuah negara dengan ibukota bernama Jakarta. Di sebelah baratnya ada kota bernama Kalideres, diteruskan lagi ke arah barat. Satu jam kemudian kan tiba di terminal yang disebut Ciceri. Berjalan saja ke utara yang sekitar 1000 meter. Maka tibalah di sebuah tempat bernama Cinanggung. Ada sebuah rumah, Blok F 140.... Duh, ternyata di situlah rumah seorang wanita yang tempo hari kukirim postcard.

Astaghfirullah! Segera kusebut asma-Nya, ada apa ini? Segera kuambil teko kecil berisi air hangat, lalu aku berwudlu, shalat dua rakaat, berbaring. Malam begitu panjang, mata sukar terpejam. Seperti telah kubilang, ‘indah’ adalah tetap ‘indah’, ingin aku berbagi cerita, tapi dengan siapa? Dengan saghol-saghol, dengan atap tenda, atau dengan siapa? Ternyata tidak ada. Ya sudah ‘telan sendiri’ saja. Refleks goresan jahiliyahku kembali timbul. Running text, penggalan syair Ebiet G. Ade pun berkelebat, katanya:

Banyak cerita yang mestinya kau saksikan...

Sayang kau tak duduk di sampingku kawan...

Laa ilaha illallah. Astaghfirullahal ‘Azhiim... kembali kusebut asma-asma-Nya.

***

Casio F-44-w di tanganku menunjukkan angka 4 lebih sedikit. The seven brother, rangkaian rasi yang terdiri dari 7 bintang telah mengambil posisinya. Waktu sahur telah tiba, ikhwan-ikhwan yang lain segera kubangunkan. Beberapa potong daging, sedulang nasi minyak Afghanis, 4 sobek roti nan dan sambal kentang yang telah kuhangatkan segera kusajikan. Malam itu memang giliranku sebagai penyaji sahur. Dalam suasana ukhuwah, dengan penuh kesyukuran kami santap rezeki Allah itu. Sedangkan udara di luar sana kian menggigit. Pagi semakin dingin.

Jumat pagi, sinar akhtab (matahari) cukup hangat. Ada sedikit aktivitas yang kami jalankan demi menjaga stabilitas iman dan stamina jasad. Demi maintenance niat-niat suci mencari syahid, menghimpun ridha Allah dan syurga-Nya. Hari itu, dalam salah satu even, Allah mengujiku dengan sedikit luka yang menimpa sebagian lengan dan kakiku. Aku diam, diriku dan Allah yang tahu. Aku berharap semoga hal ini kelak akan menjadi saksi di hari akhirat.

Tetapi setelah itu, lagi-lagi sisa-sisa jahiliyahku mencuat, lalu mengalirlah di batinku,

Mungkinkah kau masih mengharapkanku...

Kini tubuhku penuh dengan luka...

Potongan syair dari lagu Tommy J. Pisa yang sempat ngetop di masa aku eS-eM-Pe. Aku seolah-olah berbicara dengan sang mantan Ketua OSIS-ku itu. Suatu hal yang semestinya sangat tidak pantas dialami oleh lelaki yang sedang mengejar bidadari sejati di alam surga nanti. Yang sedang mengejar ridha Allah dan surga-Nya.

Sungguh aku tak mengerti mengapa hal seperti itu mesti terjadi dan kualami. Tidak ada faktor pendukung secara lahir, baik dari personal, aktivitas lingkungan, yang dapat memancing kenangan itu hadir kembali. Pada sorenya, segera kuingat pesan Umar bin Khattab, “Hisablah dirimu sendiri sebelum kamu dihisab di akhirat kelak...”

Ya, kini aku harus menghitung diri, instrospeksi atas segala apa yang terjadi dan kualami. Aku sangat mengerti bahwa mengingat wanita yang bukan mahram adalah termasuk zina hati. Mengenang masa lalu dengan mantan Ketua OSIS adalah juga termasuk dosa-dosa kecil yang akan mengotori hati. Tetap dosakah jika semua nostalgia itu datang secara surprise, tak dipaksa? Adakalanya kenangan itu tiba-tiba hadir saat mataku tertumbuk huruf Z, atau melihat kacamata. Kenapa? Ebiet G. Ade pasti tahu jawabannya…

Teori umum mengatakan bahwa kenangan atau lamunan, biasanya timbul saat kita tidak memiliki kesibukan atau ketika waktu senggang. Tetapi aku tidak, justru kenangan itu timbul di saat-saat aku sibuk, di saat tanganku menyandang kalashinkov, di tengah gelegar mortar, di tengah hujan peluru dan bau mesiu. Saat menghisab diri yang entah untuk kesekian kali, hampir selalu tak ketemu jawaban. Mengadu pada teman sebaya, atau konsultasi pada senior? No! aku bukan tipe seperti itu. “Solve Yourself Problem !” Itu mottoku. Hanya Allah, hanya Allah, dan hanya Allah yang Maha Tahu. Dialah tempat mengadu.

Akhirnya... Di musim salju tahun kedua, kujumpa jawabannya. Gerangan apa? “SEBAB AKU ADALAH MANUSIA.”

Rabbi...

Telah aku berdoa pada-Mu

Dalam hampir tiap-tiap waktuku.

Aku berkata pada-Mu

Cabutlah segala rinduku, kecuali kerinduan pada-Mu



Dalam simpuh dan sujudku

Selalu aku mengadu

Jangan gugurkan pahalaku

Hanya karena secuil rindu yang mengganggu



Robbie...

Jika Kau takdirkan peluru menembus ulu hatiku

Dan lalu aku menjumpai-Mu

Terimalah ke-syahidanku

Telah aku bertaubat, atas segala kenangan yang kuingat.



Ini ada peluru, ini ada mesiu

Aku rindu Ayah Bunda, aku rindu Si Dia,

Tetapi aku lebih rindu pada-Mu



Saat musim salju tiba

Maka rindu pun menjelma

La hawla wala quwwata illa billah...