data-config="{'skin':'skins/scmGreen/skin.css','volume':100,'autoplay':true,'shuffle':false,'repeat':1,'placement':'top','showplaylist':false,'playlist':[{'title':'Nurul Musthofa-Ya Dzaljalali Wal Ikram ','url':'http://www.youtube.com/watch?v=_eV6T3hpwEA'},{'title':'Nurul Musthofa-Ya Robbi Sholli Ala Muhammad','url':'http://www.youtube.com/watch?v=2vwjFDiMhv0'}]}" >


Jumat, 07 September 2012

Mitos: Dulu SBY Kini Jokowi.

Suasana Pilgub DKI menguak kenangan lama 8 tahun silam. Kala itu, saya masih ingat betul, menjelang pemilu 2004, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi anak emas seluruh media massa: dari cetak hingga elektronik. SBY menjadi media darling. Setiap gerak-gerik yang dilakukan SBY menjadi santapan media dengan cita rasa positif. Setiap tindak tanduknya menjadi berita utama. Puja puji mengalir deras tak tertahankan.

SBY ramai-ramai digadang oleh media sebagai tokoh yang sangat menjanjikan. Sosok yang akan membawa angin perubahan. Tokoh pembawa harapan besar. Pendek kata: SBY adalah insan paripurna yang hampir nihil dari kekurangan.

Sisi human interest pun tak luput diberitakan untuk menambah dramatisasi suasana psikologis publik. Karena itu, ketika Taufik Kiemas menyebut SBY sebagai “Jenderal kok kayak anak kecil”-- untuk menjawab pertanyaan watawan seputar pengunduran diri SBY sebagai menkopolhukam—serta merta media pun menjadikan ini sebagai headline. Jadilah SBY sosok yang dizalimi sehingga menarik simpati luar biasa dari masyarakat.

Pencitraan tersebut akhirnya berujung pada kesuksesan SBY meraih posisi RI 1 dengan Jusuf Kalla sebagai pendampingnya. Suasana gegap gempita meruak. Metro TV yang kini kerap menjelekkan SBY, kala itu secara langsung menayangkan euphoria detik-detik kemenangan SBY.

Kini, fenomena tersebut terulang dalam Pilgub DKI Jakarta. Jokowi sekarang menjadi SBY baru. Jokowi menjadi media darling. Apapun tentang Jokowi diberitakan positif oleh seluruh media. Jokowi mendadak menjadi ikon perubahan yang dicitrakan mampu menyelesaikan persoalan di Jakarta. Gaya kepemimpinanya di Solo sebagai walikota terus diberitakan dan dianggap mampu ditransfer untuk menuntaskan masalah pelik di Jakarta.

Mitos. Begitulah saya mengistilahkan fenomena ini. Mitos adalah sesuatu yang belum tentu benar tapi telah terlanjur dianggap kebenaran oleh masyarakat. Dan media memiliki peran sangat luar biasa besar dalam melakukan mitosisasi tersebut.

Media dengan semangat mencitrakan bahwa SBY dan Jokowi adalah sosok yang mampu membawa perubahan. Pencitraan ini belum tentu benar namun karena setiap hari media massa memborbardir publik dengan berita positif SBY dan Jokowi, maka masyarakat akhirnya terpengaruh dan terbentuk opininya. Tahun 2004, media menjadikan SBY sebagai mitos dan berhasil. Tahun 2012, mitos itu diarahkan kepada Jokowi dan juga berhasil.

Publik baru tersadar jika SBY selama ini hanyalah mitos ketika melihat kinerjanya sebagai presiden. Ternyata, SBY tak se luar biasa yang diberitakan. Ternyata SBY tak segemerlap yang diinformasikan. Ternyata SBY tak sebaik yang dikatakan media. Dan akhirnya, setelah mitos itu tak terbukti, publik ramai-ramai menghujat SBY, tak terkecuali media massa yang ironisnya justru menjadi pihak yang paling gencar.

Mitosisasi sangat berbahaya karena subeyktif, tak ada ruang untuk bersikap kritis dan terkesan memaksa publik untuk memilih orang sesuai dengan selera media.

Ada dua pertanyaan tersisa terkait fenomena mitosisasi ini. Pertama, Apakah Jokowi akan mengalami nasib setali tiga uang dengan SBY? Dielu-elukan di awal lalu kemudian dicampakkan di kemudian hari? Ruang untuk itu selalu tersedia jika ketika Jokowi terpilih sebagai gubernur, ia tak mampu menuntaskan persoalan banjir, macet, kemiskinan dan pengangguran di ibukota Indonesia.

Kedua, mengapa SBY? Mengapa Jokowi? Dan belakangan juga mengapa Dahlan Iskan? Kesederhanaan Jokowi sesungguhnya juga dimiliki bupati atau walikota lain. Kepolosan Jokowi juga dipunyai oleh tokoh lain. Yang sudah dikerjakan Jokowi juga sesungguhnya diraih oleh gubernur, walikota atau bupati lainnya, bahkan dengan goresan prestasi yang lebih baik. Contoh: Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan yang telah mengumpulkan lebih dari 60 penghargaan nasional dan internasional selama menjabat dan pernah mendapat pujian dari Habib Rizieq. Tapi sekali lagi, mengapa harus Jokowi?

Banyak spekulasi mengemuka. Dan saya yakin, kita sudah cukup cerdas untuk mengetahui jawabannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar