Akhir-akhir ini, banyak pembahasan Mesir di jagad FB juga Twitter. Hal
ini mungkin karena ada akar sejarah sangat kuat antara Mesir dan
Indonesia. Teringat kisah utusan Indonesia -yang saat itu belum dikenal
dan belum diakui internasional- yang ditanya “Are you Moslem?” ketika
tiba di Mesir tahun 1947. Dengan serempak mereka menjawab “Yes”.
Lalu petugas berkumis Bandara itu bilang “Well, then, Ahlan Wa Sahlan,
Welcome!” dan H. Agus Salim, AR Baswedan, Mr Nazir & Prof Rasjidi
lewat begitu saja tanpa diperiksa petugas bersiap menghadap perdana
menteri Mesir, dan Raja Farouq. Dengan pakaian sederhana. 3 bulan
lamanya mereka bernegosiasi, menjelaskan tentang Indonesia ke
wartawan-wartawan, mencari dukungan, dan lain-lain.
Nama Indonesia sayup-sayup muncul menghiasi media di Mesir. Hingga pada
suatu malam mereka bertemu Raja Farouq dan raja berkata “Karena
persaudaraan Islam-lah, terutama, kami membantu dan mendorong Liga Arab
untuk mengakui kedaulatan Bangsa Indonesia.”
Tanggal 10 Juni 1947, jam 9.00 para delegasi RI tiba di ruang Kemenlu
Mesir, sekaligus PM Mesir Nokrashi Pasha. Namun mereka menunggu sekitar
setengah jam, dan tiba – tiba keluar seorang -duta Besar Belanda- dari
ruang PM Mesir. Belanda memprotes Mesir karena akan mendukung Indonesia.
Dengan tegas, PM Mesir bilang “Menyesal sekali kami menolak Tuan, sebab
Mesir selaku negara berdaulat, dan sebagai negara yang berdasarkan
Islam, tidak bisa membiarkan perjuangan bangsa Indonesia yang beragama
Islam.”
Detik-detik itu digambarkan oleh AR Baswedan sangat mengharukan – kisah
lengkapnya jika tidak berhalangan akan ditulis kemudian- tak terlukiskan
dengan kalimat. “Lega dan syukur kepada Allah, karena Republik
Indonesia pada akhirnya mendapat pengakuan De Jure dalam dunia
Internasional,” katanya.
Bulir-bulir bening air mata membasahi pipi para delegasi. Bergetar
tangan H. Agus Salim menandatangani perjanjian persahabatan antara RI
dan Mesir 10 Juni itu. Kairo menjadi saksi, bahwa di sanalah, tonggak RI
dikenal, bahkan suaranya mulai didengar.
29 Juni, Libanon mengakui kedaulatan RI, satu per satu pengakuan
berdatangan. Pupus harapan Belanda yang menandatangani perjanjian
Linggarjati pada Maret 1947, bahwa nanti akan membentuk Indonesia
Serikat, akan dikuasai Belanda. Pengakuan Mesir telah menghancurkan
harapan tersebut. Tak lama, Juli 1947 Belanda melancarkan Agresi
pertama. Dengan dukungan Internasional, RI saat itu bisa bersuara di
PBB, hingga diinisiasi perundingan Renville – oleh PBB- yang akhirnya
dilanggar Belanda sendiri pada Agresi Militer Belanda II.
Kini, Mesir kembali bergejolak. Ikatan batin itu mungkin terasa
samar-samar. Kalau awal tahun 1947, Abdul Mun’im (diplomat Mesir) datang
bertaruh nyawa -menyelinap- menembus blokade Belanda, menyewa pesawat
dari Singapura ke Yogyakarta bertemu Soekaeno, Sri Sultan, untuk shalat
Jumat bersama. Meminta Soekarno agar mendatangkan utusan ke Mesir -hingga 4
orang datang-. Mungkin saat ini, ketika Mesir bergejolak, hanya doa yang
terucap, yang bisa kita lakukan. Surat yang dibawa AR Baswedan,
penandatangan pengakuan kedaulatan, yang sendirian ia bawa kembali ke
Indonesia bertaruh nyawa, Surat Cinta ini melebur hingga RI dapat tegak,
tempat kita berdiri sekarang.
Rizki Lesus
Wartawan, pegiat Jejak Islam untuk Bangsa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar