BADA Shubuh, Rabu pagi itu (14/8/2013), di tengah dengungan
Al-Matsurat yang dilantunkan para pendukung Muhammad Mursi, al-Adawiyah
dipenuhi dengan semua hal yang sudah dipersiapkan semua orang;
helikopter berputar-putar di udara, militer mengepung setiap sudut
Adawiyah seperti pisau dari berbagai penjuru untuk memotong kue, plus
juru tembak di atas gedung mengintai—dan itulah makna kasar dari
pernyataan Kemedagri Mesir beberapa jam sebelumnya, “Kalian pulang hari
ini, tenda akan kami bongkar, atau kalian mati di tempat.” Sederhana.
Datar. Dingin.
JIKA ada sirene seperti biasanya Mesir berbuka puasa di waktu Magrib
kala Ramadhan, tentu sudah meraung-raung pada pukul 06.30. Itu adalah
pagi buta. Pagi dimana para malaikat pemberi berkah dan pembawa rejeki
tengah turun ke bumi. Di al-Adawiyah, tentara militer juga turun
merangsek ke tengah kamp. Setengah jam kemudian, korban tewas pertama.
Menyusul korban-korban lainnya hingga mencapai angka 6000—menurut
sumber. Entahlah, apakah itu cuma sebuah angka ataukah sekadar data
statistik yang tak penting bagi dunia internasional. Rakyat Mesir
terhenyak menyaksikan di abad 21, ada petugas keamanannya memberondong
mereka dengan senapan. Bukan hanya untuk menakut-nakuti. Tapi dengan
niat membunuh, mungkin, sejak awal.
KEMENDAGRI lagi-lagi pasang badan dengan mengatakan bahwa militer
mereka—oh ya, mereka menyebutnya dengan tentara antihura-hara—sama
sekali tidak bersenjata. Sementara para pendukung Mursi masih sama
seperti kemarin sejak hari Idul Fitri (taqoballahu minna wa minkum, ya
akhi!), mengenakan kaos sederhana bergambar Mursi. Mereka saling
memapah. Ini bukan lagi tentang demokrasi—siapa yang tak ikut aturan
main, hayo? Ini pembantaian. Ya, pembantaian.
JIKA Anda ingin membasmi kawanan semut yang merubung satu sudut di
rumah Anda, mungkin bisa dengan sekali guyur air keras ataupun minyak.
Tapi di al-Adawiyah, yang berkumpul bukan semut. Jengkal al-Adawiyah
sampai tak kuasa lagi menampung jumlah orang yang mati. Apakah orang
yang mati di al-Adawiyah sama dengan orang yang mati di Rwanda, Gaza,
Myanmar, atau Tiananmen Cina? Yang pasti, rumah-rumah sakit dibakar di
kompleks ini. Simpel kan, jika Anda ingin tahu berapa jumlah orang yang
mati, Anda bisa langsung tanya pada resepsionisnya. Atau jika beruntung,
pada dokter. Itu pun kalau ada.
PARA pemuda adalah nafas gerakan manapun di dunia ini. Di tengah
kobaran api yang semakin mengurung—coba Anda bayangkan sebuah batu yang
dicemplungkan ke air dan riaknya semakin membesar ke segala penjuru,
cuma bedanya ini api yang makin mempersempit setiap jengkal tanah—mereka
berdiri tegak. Jika demokrasi naïf, maka benarlah kata Hasan al Banna,
“Demokrasi bagi kaum liberal sekuler laksana dewa yang terbuat dari kue.
Diimani dan disembah jika menguntungkan dan berpihak kepada mereka.
Namun jika kurang berpihak, mereka memakannya dengan lahap.”
TAPI Mursi itu keren lho di zaman penuh debu ini. Sungguh. Ia dicerca
oleh golongan lain karena melakukan sesuatu yang tak dilakukan oleh
Rasulullah dalam membangun wadah untuk umat Muslim—tanpa mengecilkan
perjuangan lainnya. Tapi ia berbuat nyata. Ada infrastruktur khilafah
yang ia bangun. Coba simak pernyataan berlebihan dari Israel,
“Mempromosikan negara khilafah dan penerapan syariat.” Makanya,
pendukungnya terus bertahan, walau mati dan darah jadi tebusannya.
Bahkan bukan hanya pendukung. Sebagian besar rakyat Mesir hari ini
dilaporkan turun juga ke jalan di tempat lain. Sebulan penuh, darurat
militer. Sayang, Mursi keburu digulingkan al-Sisi, benar jenderal besar
itu!, jadinya kita tidak sempat membuktikannya. Atau mungkin ini hanya
kamuflase media? Ah, Becanda!
FEMINISME itu satu hal. Hal lainnya, Islam tak perlu banyak diskusi
tak tentu arah lagi untuk membuktikan keterlibatan perempuan dalam
perjuangannya. Dua orang ummahat ini tengah berusaha membersihkan
puing-puing yang dilalui cucuran darah orang yang mereka kenal; anaknya,
suaminya, atau saudaranya, siapa tahu? Yang pasti, pembantaian di sana
itu—masih ingat kan kita tengah membicarakan Kairo di Mesir itu?—tak
kenal bulu siapa saja: tua, muda, anak-anak, remaja, dewasa, laki-laki
dan perempuan, dihajar saja. Ini bukan pertanyaan retorik atau sok
jagoan. Karena ini lho, kemana gerangan dunia internasional? Prihatin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar