
JIKA ada sirene seperti biasanya Mesir berbuka puasa di waktu Magrib kala Ramadhan, tentu sudah meraung-raung pada pukul 06.30. Itu adalah pagi buta. Pagi dimana para malaikat pemberi berkah dan pembawa rejeki tengah turun ke bumi. Di al-Adawiyah, tentara militer juga turun merangsek ke tengah kamp. Setengah jam kemudian, korban tewas pertama. Menyusul korban-korban lainnya hingga mencapai angka 6000—menurut sumber. Entahlah, apakah itu cuma sebuah angka ataukah sekadar data statistik yang tak penting bagi dunia internasional. Rakyat Mesir terhenyak menyaksikan di abad 21, ada petugas keamanannya memberondong mereka dengan senapan. Bukan hanya untuk menakut-nakuti. Tapi dengan niat membunuh, mungkin, sejak awal.

KEMENDAGRI lagi-lagi pasang badan dengan mengatakan bahwa militer mereka—oh ya, mereka menyebutnya dengan tentara antihura-hara—sama sekali tidak bersenjata. Sementara para pendukung Mursi masih sama seperti kemarin sejak hari Idul Fitri (taqoballahu minna wa minkum, ya akhi!), mengenakan kaos sederhana bergambar Mursi. Mereka saling memapah. Ini bukan lagi tentang demokrasi—siapa yang tak ikut aturan main, hayo? Ini pembantaian. Ya, pembantaian.

JIKA Anda ingin membasmi kawanan semut yang merubung satu sudut di rumah Anda, mungkin bisa dengan sekali guyur air keras ataupun minyak. Tapi di al-Adawiyah, yang berkumpul bukan semut. Jengkal al-Adawiyah sampai tak kuasa lagi menampung jumlah orang yang mati. Apakah orang yang mati di al-Adawiyah sama dengan orang yang mati di Rwanda, Gaza, Myanmar, atau Tiananmen Cina? Yang pasti, rumah-rumah sakit dibakar di kompleks ini. Simpel kan, jika Anda ingin tahu berapa jumlah orang yang mati, Anda bisa langsung tanya pada resepsionisnya. Atau jika beruntung, pada dokter. Itu pun kalau ada.

PARA pemuda adalah nafas gerakan manapun di dunia ini. Di tengah kobaran api yang semakin mengurung—coba Anda bayangkan sebuah batu yang dicemplungkan ke air dan riaknya semakin membesar ke segala penjuru, cuma bedanya ini api yang makin mempersempit setiap jengkal tanah—mereka berdiri tegak. Jika demokrasi naïf, maka benarlah kata Hasan al Banna, “Demokrasi bagi kaum liberal sekuler laksana dewa yang terbuat dari kue. Diimani dan disembah jika menguntungkan dan berpihak kepada mereka. Namun jika kurang berpihak, mereka memakannya dengan lahap.”

TAPI Mursi itu keren lho di zaman penuh debu ini. Sungguh. Ia dicerca oleh golongan lain karena melakukan sesuatu yang tak dilakukan oleh Rasulullah dalam membangun wadah untuk umat Muslim—tanpa mengecilkan perjuangan lainnya. Tapi ia berbuat nyata. Ada infrastruktur khilafah yang ia bangun. Coba simak pernyataan berlebihan dari Israel, “Mempromosikan negara khilafah dan penerapan syariat.” Makanya, pendukungnya terus bertahan, walau mati dan darah jadi tebusannya. Bahkan bukan hanya pendukung. Sebagian besar rakyat Mesir hari ini dilaporkan turun juga ke jalan di tempat lain. Sebulan penuh, darurat militer. Sayang, Mursi keburu digulingkan al-Sisi, benar jenderal besar itu!, jadinya kita tidak sempat membuktikannya. Atau mungkin ini hanya kamuflase media? Ah, Becanda!

FEMINISME itu satu hal. Hal lainnya, Islam tak perlu banyak diskusi tak tentu arah lagi untuk membuktikan keterlibatan perempuan dalam perjuangannya. Dua orang ummahat ini tengah berusaha membersihkan puing-puing yang dilalui cucuran darah orang yang mereka kenal; anaknya, suaminya, atau saudaranya, siapa tahu? Yang pasti, pembantaian di sana itu—masih ingat kan kita tengah membicarakan Kairo di Mesir itu?—tak kenal bulu siapa saja: tua, muda, anak-anak, remaja, dewasa, laki-laki dan perempuan, dihajar saja. Ini bukan pertanyaan retorik atau sok jagoan. Karena ini lho, kemana gerangan dunia internasional? Prihatin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar