Pembaca yang budiman, beberapa waktu lalu muncul konflik antara rakyat Sulu, yang mengatasnamakan tentara Kesultanan Sulu
dengan tentara Malaysia di Lahat Datu, Sabah, Malaysia. Kuat dugaan,
Filipina berada di balik peristiwa itu. Sultan Kiram dijadikan
bonekanya, sementara rakyat Sulu yang dikirim sebagai "Tentara
Kesultanan Sulu" hanya dikorbankan untuk nafsu serakah Filipina. Saat
gagal, Filipina dengan mudah bisa cuci tangan, dan mengkambing-hitamkan
Sultan Kiram.
Nama Kesultanan Sulu yang semula tersembunyi dan
hampir tidak ada yang tahu, tiba-tiba sontak menggemparkan dunia, akibat
sekumpulan orang bersenjata mendatangi dan menyerang Lahad Datu -Sabah,
Malaysia, atas nama "Tentara Kesultanan Sulu" untuk menuntut
pengembalian Sabah ke pangkuan Kesultanan Sulu. Perang antara mereka
dengan Tentara Diraja Malaysia pun tak dapat dielakkan lagi.
Dan yang lebih mengejutkan lagi, ternyata The Grand Mufti of Sulu adalah
orang Indonesia yang sudah tidak asing lagi kiprahnya dalam dunia
pergerakan Islam, dialah Al-Habib Muhammad Rizieq bin Husein Syihab.
Dengan menyandang gelar Datu Paduka Maulana Syar'i Sulu disingkat DPMSS
dia dinobatkan oleh Sultan Sulu sebagai Mufti Besar bagi Sultanate of
Sulu Darul Islam (SSDI) sejak tanggal 23 Rabi'ul Awwal 1430 H / 19 Maret
2009 M, tatkala beliau masih mendekam di sel penjara Polda Metro Jaya
terkait Insiden Monas 1 Juni 2008.
Pada Senin, 4 Maret 2013,
Habib Rizieq selaku Mufti Besar Negeri Sulu dengan didampingi Menteri
Luar Negeri Sulu Datu H. Zakariya dan menteri Pemuda Sulu Datu Asree
Moro, sibuk dari pagi hingga malam melakukan pembicaraan dengan berbagai
pihak dari para petinggi Malaysia. Puncaknya menjelang tengah malam,
rombongan Kesultanan Sulu yang dipimpin Sang Mufti diterima Menteri
Pertahanan Malaysia Datu Sri Zahid Hamidi di sebuah Hotel Berbintang di
Kuala Lumpur. Apa yang dirundingkan ?
Berikut wawancara khusus
SUARA ISLAM dengan Mufti Besar Sultanate of Sulu Darul Islam (SSDI)
al-Habib Muhammad Rizieq bin Husein Syihab tentang apa dan bagaimana
yang terjadi dengan Negeri Sulu sebenarnya.
SI : Habib, ada
sejumlah penulis dan pengamat di Indonesia melalui berbagai media massa,
yang menyebut persoalan Sulu hanyalah "pepesan kosong", menurut Habib ?
HABIB : Ungkapan tersebut hanya keluar dari sekumpulan orang yang "tidak tahu" apa-apa tentang Sulu, tapi "sok tahu".
SI : Habib bisa ceritakan sedikit tentang letak Kesultanan Sulu dan asal usulnya ?
HABIB : Pada awal abad 13 Miladiyyah, telah ramai datang para Ulama
Ahlul Bait, yaitu para Habaib yang berasal dari Hadramaut - Yaman ke
kepulauan Sulu dan Mindanau di Selatan Philipina untuk menyebarkan
Islam. Da'wah mereka sukses dan berkah, sehingga hampir seluruh
masyarakat disana memeluk Islam.
Pada Tahun 1405 M, Syariful
Hasyim yang nama aslinya adalah Sayyid Abu Bakar, karena jasanya
mengislamkan Sulu, maka dinobatkan oleh masyarakat Sulu sebagai Sultan
untuk memimpin Kesultanan Islam Sulu, yang wilayahnya meliputi Pulau
Palawan, Tawi-Tawi, Sabah, Sulu, Basilan dan Zamboanga.
Dan di
Tahun 1515 M, masyarakat Mindanau menobatkan kerabat Sultan Sulu, yaitu
Syarif Muhammad Kabungsuan, karena jasanya mengislamkan Mindanau,
sebagai Sultan Mindanau dengan wilayah kekuasaan mencakup seluruh
kepulaun Mindanau kecuali Zamboanga. Kedua Kesultanan Islam bersaudara,
saling cinta dan bekerja sama. Bahkan ketika Spanyol datang hendak
menjajah, kedua Kesultanan Islam tersebut bahu membahu mengalahkan
Tentara Spanyol.
SI : Tapi dalam sejarah dunia disebutkan bahwa
Spanyol dan Amerika Serikat pernah berkuasa atas Sulu dan Mindanau ?
HABIB : Tidak betul ! Yang benar Spanyol dan Amerika Serikat secara
bergantian menguasai Phlipina, bukan Sulu dan Mindanau. Ada TIGA BUKTI
sejarah yang menunjukkan hal tersebut :
Pertama, pada tangal 7
November 1873, Menteri Inggris di Madrid, A.H.Layard, menyurati Kerajaan
Spanyol dan menyatakan bahwa Inggris punya hak menolak kedaulatan
Spanyol atas Sulu, karena masyarakat Sulu tidak pernah mengakui dan
tunduk menyerah kepada Spanyol.
Kedua, dalam Perjanjian Paris
Treaty tahun 1898 yang mengharuskan Spanyol menyerahkan seluruh
jajahannya di Philipina kepada Amerika Serikat hanya menyebutkan dari
wilayah Luzon sampai wilayah Vesayas, sehingga tidak termasuk Sulu dan
Mindanau, karena memang Spanyol tidak pernah berhasil menguasai Sulu dan
Mindanau.
Ketiga, dalam PETA yang dikeluarkan Perjanjian Paris
Treaty tahun 1898 antara Amerika Serikat dan Spanyol dibuat GARIS
PEMISAH antara wilayah jajahan Spanyol yang meliputi Luzon dan Vesayas
dengan wilayah Moroland yang meliputi Sulu dan Mindanau.
Tapi
memang, Spanyol dan Amerika Serikat selalu berupaya untuk menguasai Sulu
dan Mindanau yang mereka sebut dengan bangsa MORO, tapi mereka selalu
mendapat perlawanan sengit dari rakyat Sulu dan Mindanau,
Jadi
jelas, bahwa sejak berdiri Kesultanan Sulu mau pun Kesultanan Mindanau
adalah Negeri Merdeka yang berdaulat, bukan bagian dari Philipina,
Spanyol atau pun AS.
SI : Lalu, bagaimana ceritanya Kesultanan
Sulu dan Kesultanan Mindanau yang semula adalah Negara Merdeka
berdaulat, tapi kini dikuasai Philipina ?
HABIB : Setelah
Syariful Hasyim menjadi Sultan Sulu, maka anak cucunya secara turun
temurun menjadi Sultan Sulu, hingga giliran Sultan Badaruddin I yang
memiliki dua putera : Pertama Sultan Azimuddin I, yaitu moyang dari
keluarga Kiram yang saat ini dinobatkan oleh pemerintah Philipina
sebagai Sultan Sulu dan beristana di Manila. Dan kedua, Raja Muda Datu
Bantilan, yaitu moyang dari Sultan Bantilan Mu'izzuddin II yang saat ini
dinobatkan sebagai Sultan Sulu oleh para Syarif, Datu, Ulama, Tokoh dan
Rakyat Sulu melalui Musyawarah di RUMAH BICARA yaitu semacam Rumah
Majelis Syura Rakyat Sulu di Jolo ibukota Sulu.
Ketika Sultan
Azimuddin I berkuasa, hubungannya sangat dekat dengan Spanyol, bahkan
sampai ada "issu" bahwa dia "dibaptis" di Manila ibu kota Philipina.
Sultan Azimuddin I berkilah bahwa itu hanya "siasat", namun tatakala dia
mengizinkan Spanyol membangun gereja di Sulu, maka rakyat Sulu pun
marah, sehingga Sultan Azimuddin I dima'zulkan dan diganti dengan
adiknya, yaitu Raja Muda Datu Bantilan yang dinobatkan sebagai Sultan
Mu'izzuddin I. Namun, 30 tahun kemudian Sultan Mu'izzuddin I
mengembalikan tahta Kesultanan kepada kakaknya Sultan Azimuddin I
tatkala diketahui sudah bertaubat dan usianya pun sudah sangat lanjut,
sebagai tanda cinta antara dua bersaudara.
Sejak saat itu,
proses sejarah berjalan, keturunan kakak beradik Sultan Azimuddin I dan
Sultan Mu'izzuddin I secara bergantian menjadi Sultan Sulu melalui
musyawarah di RUMAH BICARA.
Jatuhnya Sulu dan Mindanau ke
Philipina bermula dari datangnya Amerika Serikat dan sekutunya menjajah
Philipina. Kemudian dari Philipina, AS dan sekutunya terus menerus
melancarkan serangan ke Sulu dan Mindanau untuk dijajah. Namun rakyat
Sulu dan Mindanau terus melakukan perlawanan sengit.
Akhirnya,
AS berhasil mengadu-domba keluarga Kesultanan Sulu dan Mindanau,
sehingga ada sejumlah keluarga kesultanan yang bersekutu dengan AS,
sehingga AS lebih mudah mengklaim bahwasanya Sulu dan Mindanau sudah
dikuasainya. Padahal, di Sulu dan Mindanau tiada hari tanpa perlawanan
rakyat terhadap AS dan sekutunya.
Ketika AS dan sekutunya
melepaskan Philipina, maka mereka memasukkan Sulu dan Mindanau ke
wilayah Philipina, sehingga pemerintah Philipina mengklaim Sulu dan
Mindananu merupakan bagian dari negerinya. Hal ini tentu ditolak oleh
rakyat Sulu dan Mindanau, karenanya hingga kini terjadi perlawanan
sengit dari rakyat Sulu dan Mindanau melalui perjuangan MNLF yang
dipimpin Nur Missuari, dan MILF yang dipimpin Haji Murad, serta ABG
yaitu ABU SAYYAF GROUP, dan kelompok lainnya.
Sementara
keluarga Kesultanan Sulu dan Mindanau kembali dipecah belah dan di adu
domba oleh Pemerintah Philipina dengan menciptakan banyak Sultan dan
Datu PALSU untuk melemahkan perjuangan rakyat Sulu dan Mindanau.
Maka itu, tidak heran jika pada tanggal 12 September 1962, Sultan
Ismail Kiram I, yang dinobatkan oleh Philipina, menanda tangani
penyerahan Kedaulatan Sabah dan seluruh Kepulauan Sulu kepada Pemerintah
Philipina. Apalagi Sultan ini pernah ikut sebagai Tentara AS dalam
Perang Dunia II dengan pangkat Mayor.
Nah, sejak saat itulah
hingga kini Philipina mengklaim bahwa Sulu dan Mindanau, termasuk Sabah
di Kalimantan Utara menjadi wilayah kedaulatannya.
SI : Kenapa
Philipina hanya mengakui Sultan Keluarga Kiram dari keturunan Sultan
Azimuddin I, sedang keluarga Sultan Bantilan dari keturunan Sultan
Mu'izzuddin I tidak diakui Philipina ?
HABIB : Ada dua alasan
utama : Pertama, karena keluarga Sultan Kiram mau mengakui kedaulatan
Philipina atas Sulu dan Mindanau, sehingga rela jadi warga negara
Philipina. Sedang keluarga Sultan Bantilan tidak mengakui hal tersebut,
bahkan berjuang untuk kemerdekaan Sulu dan Mindanau, sejak dahulu hingga
kini.
Kedua, Philipina berpegang kepada putusan Hakim Makaskie
pada pengadilan British di Borneo tahun 1939 M, yang menyebutkan bahwa
pewaris Kesultanan Sulu yang berhak atas "Uang Sewa Sabah" ada sembilan,
yaitu dua pria dan tujuh wanita, yang kesemuanya dari keluarga Sultan
Kiram. Padahal, putusan tersebut hanya terkait tuntutan kesembilan
pewaris tersebut terhadap "Uang Sewa Sabah" saja, sementara keluarga
Sultan Bantilan ketika itu memang tidak mengajukan tuntutan "Uang Sewa
Sabah", tapi yang mereka tuntut adalah KEMERDEKAAN SULU.
Jadi, jelas kenapa Philipina mau mengakui Sultan Kiram dan menolak Sultan Bantilan.
SI : Kalau begitu, siapa Sultan Sulu yang sah ?
HABIB : Bagi rakyat Sulu bahwa Sultan yang sah adalah Sultan yang
dipilih dan direstui oleh para Syarif, Datu, Ulama, Tokoh dan Rakyat
Sulu melalui Musyawarah di RUMAH BICARA, dan Sultan tersebut wajib
berkomitmen untuk MEMERDEKAKAN SULU dan MINDANAU dari penjajahan
Philipina.
Dengan demikian, Sultan Kiram yang dinobatkan oleh
Pemerintah Philipina bagi rakyat Sulu TIDAK SAH, karena tidak dinobatkan
melalui Musyawarah di RUMAH BICARA. Apalagi Sultan Kiram ikut tunduk
kepada Pemerintah Kafir Philipina, dan menganggap dirinya sebagai warga
Philipina. Begitu pula beberapa Sultan lain yang menobatkan dirinya
sendiri sebagai Sultan dan mengakui Philipina sebagai negara mereka. Ada
pun Sultan Bantilan Mu'izzuddin II bagi rakyat Sulu adalah SULTAN SAH,
karena dinobatkan melalui musyawarah para Syarif, Datu, Ulama, Tokoh dan
Rakyat Sulu melalui Musyawarah di RUMAH BICARA dengan komitmen
MEMERDEKAKAN Sulu dan Mindanau dari penjajahan Kafir Philipina.
SI : Lalu apa saja yang sudah dan akan dilakukan oleh Sultan Sulu yang sah untuk kemerdekaan Sulu dari penjajahan Philipina ?
HABIB : Pertama, Sultan Bantilan Mu'izzuddin II sejak dinobatkan
sebagai Sultan Sulu sudah mendeklarasikan KEMERDEKAAN SULU dan MINDANAU
secara terbuka.
Kedua, Sultan Bantilan sudah membentuk KABINET
pemerintahannya dan mengumumkannya kepada rakyat Sulu. dan Mindanau,
bahkan dunia internasional.
Ketiga, Sultan sudah mengembalikan
semua simbol Kesultanan Sulu dan Mindanau sebagaimana mestinya, seperti
Islam sebagai dasar negara, syariat sebagai hukum negara, logo, lambang,
bendera, panji, stempel, nasyid kenegaraan dan sebagainya.
Keempat, Sultan sudah dan sedang menyurati berbagai Kepala Negara untuk
meminta dukungan pengakuan kemerdekaan Sulu dan Mindanau, termasuk para
Sultan di Nusantara.
Kelima, Sultan mengangkat duta-duta
kesultanan yang dikirim ke berbagai negara untuk menggalang dukungan
bagi kemerdekaan Sulu dan Mindanau.
Keenam, Sultan bertekad
untuk menyatukan semua Faksi Perlawanan terhadap Philipina, baik MNLF di
Sulu, atau MILF di Mindanau, atau ABU SAYYAF di Basilan, dan
faksi-faksi lainnya. Sebab tanpa persatuan, rakyat Sulu dan Mindanau
tidak akan pernah meraih KEMERDEKAAN.
Ketujuh, Sultan bertekad
untuk memerdekakan Sulu dan Mindanau dengan jalan DAMAI, artinya melalui
jalur politik dan diplomatik, selama Philipina tidak lagi melakukan
serangan terhadap rakyat Sulu dan Mindanau. Berapa pun lama masanya,
karena sudah puluhan tahun rakyat Sulu dan Mindanau melalui MNLF dan
MILF mau pun ABU SAYYAF dan lainnya, BERPERANG melawan Philipina,
puluhan ribu rakyat Sulu dan Mindanau gugur sebagai Syuhada, namun belum
mengantarkan kepada kemerdekaan. Jadi, Sultan mau coba jalan lain,
tanpa memadamkan semangat perlawanan dalam jiwa rakyat Sulu dan Mindanau
terhadap penjajah Philipina.
Kedelapan, jika upaya damai pun
tak membuahkan hasil, lalu Philipina tetap melakukan serangan kepada
rakyat Sulu dan Mindanau, maka Sultan Bantilan akan menyerukan segenap
rakyat Sulu dan Mindanau untuk JIHAD FI SABILILLAH secara besar-besaran,
karena tidak ada jalan lain lagi.
Kesembilan, Sultan
menyerukan rakyat Sulu dan Mindanau untuk membuang KTP Philipina, tapi
menggantinya dengan KTP Kesultanan, sebagai bentuk ikrar bahwa Sulu dan
Mindanau BUKAN PHILIPINA. Kini, sudah puluhan ribu rakyat menyambut
seruan Sultan. Ke depan kita berharap SEMUA rakyat Sulu dan Mindanau
melakukan hal yang sama. Termasuk, turunkan Bendera Philipina di wilayah
Sulu dan Mindanau, dan naikkan Bendera Kesultanan.
Kesepuluh,
Sultan mengangkat Mufti Besar untuk membimbing Sultan dan Rakyatnya agar
tetap berjalan di jalan Allah SWT dan Rasulullah SAW sesuai Aqidah
Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
SI : Habib sendiri bagaimana bisa
menjadi The Grand Mufti of Sulu ? Habib kan warga negara Indonesia kok
boleh jadi Mufti Besar Sulu ?
HABIB : Sepuluh tahun terakhir
saya bersama Tuan Guru Haji Abdulhalim Abbas, mantan orang nomor dua di
ARQOM, dan kawan-kawan, bekerja sama dengan Majelis Ugama Islam Sabah
(MUIS) sering SAFARI DA'WAH berkeliling keluar masuk berbagai kota dan
kampung di seluruh Sabah.
Dalam Safari Da'wah tersebut lah saya
banyak bertemu dan berkumpul serta berkomunikasi dengan warga Sulu,
baik yang telah menjadi warga negara Malaysia mau pun belum. Termasuk
para Syarif, Ulama dan Datu dari Sulu, yang kemudian mereka lah yang
mengusulkan kepada Sultan Bantilan untuk mengangkat saya sebagai Mufti
Besar Sulu dan Tuan Guru Haji Abdulhalim Abbas sebagai Pemasihat Utama
Sultan. Akhirnya, usulan tersebut disetujui oleh Sultan dan seluruh
anggota kabinet kesultanannya.
Dalam Konstitusi Sultanate of
Sulu Darul Islam (SSDI) bahwa Mufti Besar Negeri Sulu mau pun Penasihat
Sultan, boleh diambil dari negara dan bangsa mana pun, termasuk
Indonesia dan Malaysia. Sebab, persaudaraan Islam itu lintas sektoral
dan teritorial. Habaib dan Ulama itu milik umat Islam dimana pun mereka
berada, tanpa peduli negeri mau pun suku bangsanya.
SI : Apa Peran dan Tugas Utama seorang Mutti Besar Sulu saat ini, selain memberi fatwa dalam urusan agama ?
HABIB : Tugas Besar Mufti Besar Sulu saat ini adalah ikut serta secara
pro aktif memperjuangkan KEMERDEKAAN SULU dan MINDANAU dari penjajahan
Philipina.
SI : Apakah benar Sabah milik Kesultanan Sulu ? Bagaimana duduk persoalan sebenarnya ?
HABIB : Ya. Pada awalnya memang Sabah milik Kesultanan Sulu, dan warga
asli Sabah itu adalah rakyat Sulu. Nah, pada tanggal 22 Januari 1878,
Kesultanan Sulu menyewakan Sabah kepada British North Borneo Company
(BNBC) dengan syarat selama BNBC memerlukan dan mau mengelolanya, dan
selama ada "Bulan dan Bintang".
Namun pada Tahun 1946, saat
BNBC tidak lagi memerlukan Sabah dan tidak mau lagi mengelolanya, pihak
BNBC tidak mengembalikan Sabah ke Kesultanan Sulu sebagaimana mestinya,
tapi menyerahkan Sabah kepada Kerajaan Inggris yang menjajah Malaysia,
dengan dalih syarat perjanjian selama ada "Bulan dan Bintang" yang
ditafsirkan sebagai perjanjian selamanya. Sedang Kesultanan Sulu
menafsirkan "Bulan dan Bintang" sebagai simbol Kesultanan, yaitu
keturunan Sultan Azimuddin I sebagai Bulannya dan keturunan Sultan
Mu'izzuddin I sebagai Bintangnya.
Dengan penafsiran sepihak dan
dalih over sewa, Inggris pun melanjutkan sewa Sabah tanpa batas waktu.
Pada akhirnya, saat Inggris melepaskan Malaysia, maka Sabah dimasukkan
ke wilayah Malaysia, namun tetap dalam status sewa tanpa batas waktu,
hingga kini.
Nah, kini banyak muncul kerabat Kesultanan Sulu
atau pihak lain yang mengatas-namakan Kesultanan Sulu, menobatkan diri
sebagai Sultan Sulu. Salah satu sebabnya adalah karena banyak yang ingin
mendapatkan "Uang Sewa Sabah" berikut aneka fasilitas dan pelayanan
khusus. Pemerintah Malaysia sendiri melalui Kedubesnya di Manila, masih
tetap membayar sewa tersebut kepada keluarga Kiram, dengan alasan karena
diakui sebagai Sultan Sah oleh pihak pemerintah Philipina.
SI :
Kalau Malaysia sudah bayar sewa, kenapa pihak keluarga Sultan Kiram
justru mengirim tentaranya menyerang Lahad Datu di Sabah ?
HABIB : Malaysia terjebak dalam permainan pemerintah Philipina, karena
Malaysia membayar sewa untuk "pribadi" keluarga Kiram yang dipelihara
oleh pemerintah Philipina, bukan untuk rakyat dan negara Sulu.
Padahal, Malaysia tahu bahwa selama ini Philipina selalu mengklaim Sabah
sebagai bagian wilayahnya dengan menggunakan dokumen Kesultanan Sulu.
Itulah sebabnya, kenapa Philipina tetap mempertahankan keberadaan
"Sultan Sulu" bukan "Kesultanan Sulu", agar bisa dijadikan "alat
politik" untuk menuntut Sabah.
Jadi, saya menduga kuat bahwa
Philipina berada di balik peristiwa Lahad Datu. Sultan Kiram dijadikan
bonekanya, sementara rakyat Sulu yang dikirim sebagai "Tentara
Kesultanan Sulu" hanya dikorbankan untuk nafsu serakah Philipina. Saat
gagal, Philipina dengan mudah bisa cuci tangan, dan mengkambing-hitamkan
Sultan Kiram.
SI : Apa Habib punya data dan fakta tentang keterlibatan Philipina di balik peristiwa Lahad Datu ?
HABIB : Data dan Fakta dalam bentuk hitam di atas putih secara
eksplisit yang menyatakan bahwa Philipina terlibat dalam peristiwa Lahad
Datu memang tidak ada, tetapi indikatornya banyak dan kuat, antara lain
:
Pertama, yang paling banyak diuntungkan dari peristiwa Lahad
Datu adalah Philipina, karena yang selama ini membantu rakyat Sulu,
baik langsung mau pun tidak langsung adalah Malaysia. Dengan terjadinya
peristiwa Lahad Datu, maka hubungan Sulu dan Malaysia memburuk, sehingga
posisi Sulu di dalam menghadapi penjajah Philipina semakin melemah.
Kedua, Philipina sudah kelelahan menghadapi perlawanan rakyat Sulu dan
Mindanau, sehingga Philipina punya kepentingan untuk memindahkan KONFLIK
MORO dari Sulu dan Mindanau ke Sabah.
Ketiga, Philipina memang
sudah lama mengklaim kedaulatannya atas Sabah. Bahkan pada tahun 1967,
di zaman Marcos, Philipina pernah membentuk pasukan berisikan dua ratus
tentara dari bangsa Sulu dan Mindanau, yang kemudian terkenal dengan
nama JABIDAH SPECIAL FORCE sesuai nama komandannya, Jabidah. Mereka
dilatih secara khusus di pulau Corregidor di wilayah Luzon -Philipina,
tanpa tahu tujuan sebenarnya. Pada tahun 1968, tatkala mereka akan
dikirim ke Sabah untuk membantai bangsa Sulu dan Mindanau di Sabah yang
setuju ikut Malaysia melalui Referendum 16 September 1963, maka mereka
menolak untuk memerangi saudaranya sendiri. Akhirnya, seluruh anggota
Unit Komando Jababidah dibantai di pulau tersebut atas perintah Marcos.
Namun ada beberapa yang berhasil menyelamatkan diri, sehingga peristiwa
keji tersebut terbongkar. Inilah peristiwa yang membuat bangsa Moro
demonstrasi berbulan-bulan di Manila, Mindanau dan Sulu, yang akhirnya
melahirkan pembentukan MNLF untuk melawan Philipina. Jadi, jika
Philipina pernah menempuh jalan keji untuk merebut Sabah, maka tidak
heran jika Philipinan mampu mengulangi kekejiannya melalui peristiwa
Lahad Datu di Sabah. Dan bisa terulang kembali di masa mendatang.
Keempat, dalam peristiwa Lahad Datu, respon Philipina agak dingin,
bahkan ikut meloloskan para penyerbu saat lari dari kejaran Tentara
Diraja Malaysia. Tidak sampai disitu, Presiden Philipina secara
terang-terangan memberi pernyataan terkait peristiwa Lahad Datu, bahwa
Philipina akan terus memperjuangkan kedaulatannya atas Sabah secara
diplomatik melalui forum internasional.
SI : Sikap Sultan
Bantilan sendiri terhadap masalah Sabah bagaimana ? Dan bagaimana pula
sikap Sultan Bantilan terhadap peristiwa Lahad Datu ?
HABIB :
Sultan Bantilan tidak akan pernah mempermasalahkan Sabah berada dalam
wilayah kedaulatan Malaysia, selama Malaysia merupakan negeri Islam dan
mengelola Sabah dengan baik dan memperlakukan warga Sulu di Sabah dengan
baik pula. Tak pernah terbersit di benak Sultan Bantilan untuk menuntut
pengembalian Sabah.
Hanya saja, Sultan berharap "Sewa Sabah"
dibayar oleh Malaysia untuk negara "Kesultanan Sulu" bukan pribadi
"Sultan Sulu" atau keluarganya. Artinya, uang sewa tersebut mestinya
disetorkan kepada pihak yang tepat untuk digunakan bagi pembangunan
Negeri Sulu dan peningkatan kesejahteraan rakyat Sulu.
Soal
peristiwa Lahad Datu, Sultan Bantilan melihat bahwa itu hanya merupakan
rekayasa politik jahat yang ingin merusak hubungan baik Kesultanan Sulu
dengan Malaysia, sekaligus ingin mengadu-domba antar umat Islam di dalam
mau pun di luar Sulu. Dan Sultan sangat berduka dengan korban yang
berjatuhan, baik dari pihak rakyat Sulu mau pun saudara muslim Malaysia.
SI : Habib sendiri selaku Mufti Besar Sulu, bagaimana peran Habib dalam kasus Lahad Datu-Sabah tersebut ?
HABIB : Saya bersama Menteri Luar Negeri Sulu Datu H.Zakariya dan
Menteri Pemuda Sulu Datu Asree Moro sejak awal Maret terus melakukan
pertemuan dan pembicaraan dengan berbagai pihak dari para petinggi
Malaysia, termasuk Menteri Pertahanan Malaysia Datu Sri Zahid Hamidi.
Intinya, kami menjelaskan tentang apa dan bagaimana sikap sebenarnya
Sultan Bantilan Mu'izzuddin II terhadap Sabah dan peristiwa Lahad Datu,
sekaligus kita mencari solusi terbaik agar ke depan tidak terulang lagi
peristiwa serupa.
Bahkan sampai saat ini, upaya diplomatik
Kesultanan Sulu masih terus kami lakukan di Malaysia. Rencana ke depan,
kita akan ajak bicara juga Kesultanan Brunei selaku kerabat Kesultanan
Sulu.
SI : Solusi apa yang Habib dan kawan-kawan tawarkan atas nama Kesultanan Sulu ?
HABIB : Ada banyak solusi kita tawarkan, kesemuanya untuk kebaikan Malaysia dan Sulu serta Mindanau, antara lain :
Pertama, Kesultanan Sulu harus mengakui kedaulatan Malaysia atas Sabah,
sehingga status Sabah sebagai milik Malaysia tidak boleh dipersoalkan
lagi oleh Sulu selamanya.
Kedua, nilai sewa Sabah tetap harus
dibayar oleh Malaysia selamanya, tapi nilainya harus disesuaikan dengan
kurs yang berlaku, karena sewa Sabah dengan 5000 (lima ribu) ringgit
atau pound sterling per tahun di zaman sekarang sudah tidak logis lagi
dengan alasan apa pun.
Ketiga, pembayaran sewa Sabah diberikan
kepada "Kesultanan Sulu" bukan "Sultan Sulu". Artinya, bukan untuk
pribadi Sultan Sulu atau keluarganya, tapi untuk membangun negeri Sulu
dan mensejahterakan rakyat Sulu. Malaysia boleh membayar sewa Sabah
dalam bentuk pembangunan infrastruktur di Sulu, sekaligus berinvestasi
di Sulu yang saling menguntungkan, agar Sulu tidak lagi miskin dan
terbelakang seperti saat ini.
Keempat, Malaysia harus mengakui
dan ikut memperjuangkan di forum internasional kedaulatan Kesultanan
Sulu sebagai negara merdeka, sebagaimana Malaysia selama ini telah
mengakui dan melaksanakan kewajiban pembayaran sewa Sabah kepada
Kesultanan Sulu.
Kelima, Malaysia dan Sulu harus saling bekerja
sama di semua bidang, termasuk saling mempermudah rakyat masing-masing
untuk keluar masuk mau pun berdomisili dan bekerja di kedua negara.
SI : Hikmah apa yang Habib lihat di balik peristiwa Lahad Datu - Sabah ?
HABIB : Sekali pun peristiwa tersebut merupakan tragedi yang membuat
kita semua prihatin, namun tetap kita harus mengambil Hikmahnya, antara
lain :
Pertama, mendorong Malaysia dan Kesultanan Sulu yang sah
untuk duduk kembali bersama bermusyawarah mencari solusi terbaik untuk
Sulu, Mindanau dan Sabah.
Kedua, membuka mata dunia
internasional bahwa nun jauh di Asia Tenggara ada satu negeri merdeka,
yaitu Kesultanan Sulu, yang tertindas dan melarat selama beratus tahun,
akibat kezaliman Spanyol dan Amerika Serikat serta Philipina.
SI : Apa betul Sultan Sulu saat ini adalah Sultan termiskin di dunia ?
HABIB : Sultan Sulu yang dinobatkan Philipina dan beristana di Manila
tentu kaya raya, karena mendapat gaji dari pemerintah Philipina dan
memperoleh uang "Sewa Sabah" serta berbagai fasilitas kemewahan. Ada pun
Sultan Sulu yang sah dinobatkan oleh para Syarif, Datu, Ulama, Tokoh
dan Rakyat Sulu dengan komitmen memerdekan Sulu dan Mindanau, selama ini
hidup sederhana penuh syukur dan sabar. Istana kecil berlantai tanah
dan beratapkan ijuk dengan nafkah halal dari bertani dan berdagang.
Alhamdulillah.
SI : Andaikata upaya politik dan diplomatik
untuk kemerdekaan Sulu dan Mindanau gagal, apa yang akan dilakukan
Sultan Bantilan ?
HABIB : Bagi Sultan Bantilan selama masih ada
Bulan dan Bintang, maka Rakyat Sulu akan terus bertahan dan berjuang.
Artinya, kita tidak akan pernah putus asa. Upaya diplomatik akan terus
dilakukan tanpa henti sampai kapan pun, hingga Sulu dan Mindanau
MERDEKA. Walau pun suatu saat kami diserang sehingga dipaksa perang,
maka kami akan berjihad, sambil tetap melakukan lobby diplomatik tingkat
tinggi dengan berbagai negara Islam khususnya.
SI : Andaikata Jihad dikobarkan Sultan Bantilan di bumi Sulu dan Mindanau, akankah FPI yang Habib pimpin mengambil bagian ?
HABIB : Insya Allah, FPI akan tetap ISTIQOMAH untuk selalu mengambil bagian dalam Jihad di negeri kaum muslimin mana pun.
SI : Apakah Habib sudah mengkomunikasikan persoalan Sulu ke pemerintah Indonesia ?
HABIB : Dari sekian banyak pejabat yang saya hubungi, hanya Menteri
Agama RI Suryadarma Ali yang merespon dan memberi apresiasi serta
motivasi kepada saya selaku anak bangsa Indonesia yang ikut berperan
dalam persoalan internasional tersebut. Lainnya bungkam tuh ?!
Padahal, saya berharap pemerintah Indonesia bisa memainkan peranan lebih
besar. Ingat, bahwa sebab kekalahan Indonesia dari Malaysia dalam kasus
pulau Sipadan dan Ligitan di Mahkamah Internasional, salah satunya
adalah karena Malaysia menggunakan dokumen yang berasal dari Kesultanan
Sulu tentang kedua pulau tersebut. Disana masih ada beberapa pulau lagi
yang berpotensi jadi masalah perbatasan antara Indonesia - Malaysia -
Philipina yang kesemuanya akan melibatkan dokumen Kesultanan Sulu.
Apalagi Kesultanan Sulu dan Mindanau juga punya hubungan kekeluargaan
dengan berbagai kerajaan di Indonesia, seperti Kerajaan Kubu di
Kalimantan Barat, Kerajaan Bulungan di Kalimantan Timur, serta Kerajaan
Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan, hingga Kesultanan Ternate dan
Tidore di Maluku, termasuk para Datu di Buol dan Toli-Toli hingga Menado
di Sulawesi Utara.
SI : Hikmah lain apakah yang bisa diambil ileh pemerintah RI dari peristiwa Lahad Datu ?
HABIB : Pemerintah RI harus pandai menghargai dan menghormati jasa
seluruh Kesultanan di Indonesia yang telah dengan sukarela masuk ke
dalam wilayah RI. Berikan mereka peran yang lebih konkrit dan jadikan
mereka sebagai ujung tombak pemerintah pusat untuk menjaga persatuan dan
kesatuan NKRI di wilayah masing-masing. Dengan demikian, tidak akan
pernah terbersit di benak kesultanan mana pun di Indonesia untuk keluar
dari wilayah RI. Termasuk pemerintah wajib menjunjung tinggi SYARIAT
ISLAM yang sejak awal sudah menjadi KONSTITUSI seluruh Kesultanan di
Indonesia.
sumber : www.suara-islam.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar