Pembahasan-pembahasan sebelum ini sebenarnya telah
memberi gambaran yang cukup memadai tentang adanya fitnah-fitnah keji
yang dilontarkan oleh kaum Salafi & Wahabi di dalam fatwa-fatwa
mereka terhadap amalan-amalan kaum muslimin yang sering mereka tuduh
sebagai bid’ah. Namun begitu, perlu kiranya kami menyebutkannya
lebih khusus agar setiap orang bisa mengetahui keburukan ajaran mereka
dengan jelas, lalu terhindar dari dakwah sesat mereka.
Secara umum fitnah-fitnah mereka hanya berkisar antara tuduhan bid’ah, sesat, syirik, atau kufur. Tuduhan “menambah-nambahi
agama”, “membuat-buat syari’at”, “mengkultuskan Rasulullah Saw. atau
para wali”, “amalan sia-sia dan tidak ada pahalanya”, “mengikuti tradisi
dan menolak kebenaran”, adalah contoh fitnah yang sering mereka lontarkan di dalam buku-buku mereka.
Di antara fitnah-fitnah yang mereka lontarkan di dalam buku Ensiklopedia Bid’ah (kumpulan fatwa-fatwa para ulama Salafi & Wahabi), adalah sebagai berikut:
1. Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata: “Lebih dari itu, pada umumnya, di sebagian negara, acara-acara peringatan maulid ini –selain bid’ah- tak lepas dari kemunkaran-kemunkaran. Misalnya, ikhtilath (campur-baur) antara pria dan wanita, pemakaian lagu-lagu dan bunyi-bunyian, minum-minuman yang memabukkan dan membuat tidak sadar, serta kemunkaran lainnya. Kadangkala terjadi juga hal yang lebih besar daripada itu, yaitu perbuatan syirik akbar karena ghuluw (sikap berlebihan) terhadap Rasulullah Saw. atau para wali, berdo’a atau beristighatsah kepada beliau, meminta pertolongannya, mempercayai bahwa beliau mengetahui hal-hal yang ghaib, dan bermacam-macam kekufuran lainnya yang biasa dilakukan orang banyak dalam acara peringatan maulid Nabi Saw. atau selain beliau yang mereka sebut sebagai wali.” (Ensiklopedia Bid’ah, hal. 11).
Di dalam buku kecil yang dibagi-bagikan kepada jamaah haji setiap tahun, Hirasatu at-Tauhid atau terjemahnya Menjaga Tauhid, karya Syaikh Abdul Aziz bin Baz, disebutkan: “…kemunkaran-kemunkaran, seperti bercampurnya lelaki dan perempuan (bukan mahram), pemakaian lagu-lagu dan bunyi-bunyian, minum-minuman yang memabukkan, ganja, dan lain sebagainya …” (Menjaga Tauhid/ Hirasatu at-Tauhid, 2004, hal. 12)
2. Ia juga berkata: “Semua ini tidak lain karena ia merupakan penambahan terhadap ajaran agama dan pensyari’atan sesuatu yang tidak diizinkan Allah, serta merupakan tasyabbuh (penyerupaan-red) dengan musuh-musuh Allah dari golongan Yahudi dan Nasrani yang menambah-nambahi agama mereka dan mengada-ada apa yang tidak diizinkan Allah.” (Ensiklopedia Bid’ah, hal. 8).
3. Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin berkata: “Sesungguhnya seorang mubtadi’ (pelaku amalan yang mereka tuduh sebagai bid’ah-red) meyakini bahwa Islam itu kurang, dan bahwa bid’ahnya itu sebagai penyempurna agama ini.” (Ensiklopedia Bid’ah, hal. 41).
4. Ia juga berkata: “ Sebagian kaum sufi ada yang terjerumus dalam bid’ah yang keji, di antaranya adalah mereka membawa anak-anak lelaki tampan yang masih kecil (belum baligh), dan mereka melakukan sodomi, kemunkaran dan kekejian terhadap mereka, dan setelah itu mereka mengklaim taat beragama, dan istiqamah, padahal perbuatan dan akhlak mereka seperti itu!” (Ensiklopedia Bid’ah, hal. 144).
5. Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata: “Dalam hadis ini (latattabi’unna sunana man kaana qablakum-red) dijelaskan bahwa tasyabbuh dengan orang kafir adalah suatu hal yang mendorong kaum Bani Israil dan sebagian umat Nabi Muhammad Saw. untuk meminta permintaan buruk, yaitu menuntut Nabi Musa untuk membuatkan bagi mereka tuhan-tuhan berhala yang dapat mereka sembah dan mencari berkah darinya. Dan ini pulalah yang terjadi sekarang ini, di mana sebagian kaum muslimin senang meniru-niru kaum kuffar dalam praktek bid’ah dan kesyirikan, seperti perayaan hari kelahiran dan maulid, menjadikan hari-hari atau minggu-minggu tertentu untuk suatu kegiatan ritual khusus, menyelenggarakan pertemuan dan perayaan keagamaan, perayaan hari-hari peringatan, mendirikan patung-patung dan bermacam berhala kenangan, serta menyelenggarakan pesta makan dan berbagai bid’ah jenazah serta membangun kuburan, dan lain-lainnya.” (Ensiklopedia Bid’ah, hal. 85).
6. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata: “…maka ketahuilah bahwa siapa pun yang berbuat suatu bid’ah (perkara baru yang mereka tuduh bid’ah-red) di dalam agama, walaupun dengan tujuan baik, maka bid’ahnya itu, selain merupakan kesesatan juga sebagai suatu tindakan menghujat agama dan mendustakan firman Alah Swt., yang artinya, “Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu …” Karena dengan perbuatannya tersebut, dia seakan-akan mengatakan bahwa Islam belum sempurna, sebab ada amalan yang diperbuatnya dengan anggapan dapat mendekatkan diri kepada Allah, belum terdapat di dalamnya.” (Ensikopedia Bid’ah, hal. 23).
Tuduhan-tuduhan di atas lebih pantas disebut sebagai fitnah,
karena di samping tidak didukung oleh data yang jelas dan akurat, juga
tidak berdasar pada kenyataan yang sebenarnya. Kaum Salafi & Wahabi
seperti mereka ini selalu memandang amalan orang dari sudut pandang
sendiri, sehingga apa yang mereka pahami sungguh jauh berbeda dari
pemahaman pelaku amalan itu sendiri. Pantas saja kalau orang yang
berdo’a menghadap kuburan bisa mereka cap musyrik (melakukan syirik/menyekutukan
Allah), sebab mereka menganggap orang itu meminta kepada kuburan atau
kepada orang yang ada di dalam kubur tersebut, dan penilaian seperti ini
bisa muncul semata-mata karena zhahirnya orang itu berdo’a menghadap
kuburan. Tapi kenapa para malaikat yang jelas-jelas bersujud kepada Nabi Adam As. tidak mereka hukumi musyrik, padahal secara zhahir mereka bisa saja dianggap menyembah Nabi Adam As.?
Sungguh bila kaum Salafi & Wahabi bisa memahami kasus malaikat
& Nabi Adam As itu dengan baik, niscaya mereka akan mampu memandang
secara jernih untuk kasus-kasus yang lain, seperti: Mengusap kuburan,
mengusap Ka’bah, berdo’a menghadap kuburan, memanggil nama orang yang
sudah meninggal, dan lain sebagainya, yang secara zhahir bisa saja
dianggap syirik.
Syirik itu letaknya di dalam hati dan erat kaitannya
dengan keyakinan. Apa yang ada di dalam hati tidak mungkin diketahui
kecuali bila diungkapkan dengan pernyataan-pernyataan lisan. Adapun
perbuatan, meski juga dapat merupakan ungkapan hati, namun tidak selalu
bisa dihukumi dengan hanya melihat zhahirnya perbuatan tersebut, kecuali
bila maksud perbuatan itu dijelaskan dengan lisan. Mencium tangan orang
‘alim, orang shaleh, atau orang yang lebih tua usianya saat
bersalaman dengan mereka, tidak mungkin bisa langsung dianggap syirik
sebelum diketahui bahwa maksudnya adalah menuhankan (mengkultuskan)
orang tersebut.
Ternyata, sikap mencium tangan itu dilakukan bukan
dalam rangka mengkultuskan seseorang, melainkan hanyalah sebuah ungkapan
penghormatan atau pemuliaan yang sudah lazim dilakukan banyak orang
sebagai adat di masyarakat. Sama halnya dengan perbuatan Rasulullah Saw.
mencium hajar aswad yang tidak mungkin dihukumi syirik
semata-mata karena zhahir perbuatannya, sebagaimana juga orang yang
shalat dan bersujud di depan Ka’bah tidak dapat serta-merta dianggap
menyembah Ka’bah hanya karena ia menghadap kepadanya saat bersujud di
dalam shalatnya.
Tentang fitnah-fitnah di atas, kita perlu mengajukan
kepada kaum Salafi & Wahabi beberapa pertanyaan tentangnya, agar
mereka dapat memahami dan memikirkan ulang kenapa mereka tega
mengungkapkan pernyataan-pernyataan berbau fitnah tersebut.
Pertanyaan-pertanyaan itu adalah:
1. Di manakah dan siapakah di antara pelaku peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. yang menghisap ganja atau menghidangkan minuman yang memabukkan pada acara tersebut?
2. Benarkah latar belakang diadakannya peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. adalah untuk meniru Yahudi dan Nasrani, kitab tarikh (sejarah) mana yang menyebutkannya? Pantaskah dianggap sama, umat Islam memperingati kelahiran seorang Nabi dan Rasul, sementara Nasrani merayakan kelahiran “anak tuhan”? Bukankah puasa ‘Asyura (10 Muharram) dilakukan oleh Rasulullah Saw. karena meniru perbuatan orang-orang Yahudi di Madinah?
3. Apakah ikhtilath (berbaur) antara laki-laki dan perempuan di acara Maulid itu sama buruk dengan ikhtilath yang terjadi saat acara konser musik atau dangdutan? Bukankah di Masjidil Haram khususnya di areal thawaf juga terjadi ikhtilath antara laki-laki dan perempuan, dan itu sudah terjadi sejak zaman Rasulullah Saw.? Apakah dengan begitu ibadah thawaf jadi buruk dan terlarang?
4. Manakah dari amalan-amalan berikut ini yang dikategorikan sebagai kemunkaran dan kekufuran di dalam acara Maulid: Membaca dan mendengarkan ayat-ayat al-Qur’an, berzikir, bershalawat, bersilaturrahmi, menuntul ilmu, mendengar nasihat, mendengarkan pembacaan riwayat kelahiran Nabi Muhammad Saw., memuliakan dan menyanjung beliau, berkumpul dengan orang-orang shaleh, berdo’a, dan berbagi rezeki?
5. Siapakah yang menganggap atau meyakini bahwa agama itu masih kurang dan belum sempurna? Dan siapakah yang berniat menyempurnakannya dengan melakukan amalan yang dituduh bid’ah seperti Maulid atau tahlilan?
6. Sufi manakah yang mereka tuduh telah tega melakukan sodomi terhadap anak laki-laki yang tampan, apakah Syaikh Abu Yazid al-Busthomi, Syaikh Jalaluddin Rumi, Syaikh Ahmad at-Tijani, Imam Ghazali, Syaikh Abdul Qadir Jailani, Abul-Hasan asy-Syadzili, ataukah hanya segelintir orang fasik yang berpura-pura menjadi sufi? Pantaskah tindakan bodoh segelintir orang fasik yang menamakan diri mereka sebagai sufi dijadikan dasar untuk menganggap sesat ilmu tasawuf dan seluruh kalangan sufi terutama mereka yang telah disebutkan di atas?7. Siapakah yang berniat menghujat agama dengan melakukan kegiatan Maulid, tahlilan, atau lainnya?
Kiranya pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat
mereka jawab dengan dalil terperinci dan dengan mengajukan data yang
akurat tentang tokoh atau pelaku yang mereka tuduhkan itu. Sebab kalau
tidak, tuduhan-tuduhan mereka bukan cuma fitnah keji, tetapi juga
penipuan besar! Dan anehnya, pernyataan-pernyataan jahat seputar acara
peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. seperti di atas, masih terus
disebarluaskan, dan buku yang memuatnya dicetak berulang-ulang dan
dibagikan secara cuma-cuma, terutama kepada jama’ah haji setiap
tahunnya. Lebih aneh lagi, kok masih ada saja yang percaya, setuju, lalu
mengikuti ajarannya.
Yang mungkin membuat mereka berpendapat sedemikian,
adalah sikap mereka dalam memahami amalan orang lain yang selalu dinilai
dari sudut pandang sendiri, ditambah lagi objek penilaian mereka
seringkali adalah kalangan awam yang tidak mengerti dalil, atau bahkan
“oknum” fasik yang menikmati maksiat kegemarannya di balik topeng
tasawuf atau amalan Maulid. Ketahuilah, kekeliruan amalan orang
awam karena kebodohannya, atau keburukan suatu amalan karena kefasikan
pelakunya, sama sekali tidak dapat dijadikan dasar atau alasan untuk
menggenarilisir (memukul rata) setiap amalan sejenis sebagai amalan yang
buruk dan sesat. Jika kita pernah diberi obat yang keliru oleh
seorang dokter sehingga penyakit kita bertambah parah karenanya,
pantaskah pengalaman itu membuat kita menganggap bahwa seluruh dokter
sama buruknya dengan “oknum” dokter tersebut? Atau jika ada berita
tentang seorang “oknum” tukang bakso yang menggunakan daging tikus dalam
membuat baksonya, pantaskah jika kemudian kita berfatwa bahwa makan
bakso yang mana saja haram hukumnya tanpa terkecuali karena menganggap
semua tukang bakso sama-sama menggunakan daging tikus? Jawabnya, tentu
tidak.
Mungkin, peribahasa yang paling pantas untuk
menggambarkan cara pandang kaum Salafi & Wahabi dalam menilai amalan
orang lain, adalah: “Kambing di seberang laut dikira macan, serigala di pelupuk mata dikira domba”.
Akhirnya, setiap orang (termasuk kaum Salafi
& Wahabi) hendaknya bertanya, kebaikan apakah yang terdapat di dalam
sebuah ajaran agama seperti Salafi & Wahabi yang banyak mendasari
ajarannya dengan tuduhan dan fitnah? Pantaskah ajaran seperti itu
diikuti atau bahkan dianggap sebagai yang terbaik, paling lurus, dan
paling sesuai dengan sunnah Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau?
Hanya orang berakal sehatlah yang dapat menjawabnya dengan benar!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar