Maha
suci Allah yang telah menciptakan segala sesuatunya berpasangan, ada
wanita ada pria, ada siang ada malam, ada yang menikah ada yang janda
atau duda………
Lalu
kalau ada Janda…, memang kenapa? Toh tidak seorangpun wanita yang
ingin menjadi Janda. Konsekuensi yang ditimbulkannya sungguh berat,
dalam segala hal, baik secara material atau spiritual.
Janda adalah sebuah predikat bagi seorang wanita yang tak lagi bersuami, baik karena ditinggal mati oleh suami atau akibat dari perceraian. Dalam
kehidupan sosial predikat janda cerai kerap menimbulkan ‘hambatan
psikologis’ dalam kehidupan sehari-hari. Karena cerai umumnya
diasumsikan sebagai langkah akhir dari sebuah peristiwa huru-hara dalam
keluarga. Apapun masalahnya, apapun penyebabnya, siapapun pembuat
ulahnya, masyarakat akan sepakat memberikan kesimpulan, kedua belah
pihak memiliki andil yang sama akan kehancuran bahtera rumah tangga
tersebut, gonjang-ganjing yang merupakan ruang private dalam rumah
tangga ini, pada mereka yang menjadi „selebrita“ tak urung akan menjadi pembicaraan publik, sehingga lebih memberatkan beban psikis sang Janda kelak.
Lain
halnya dengan istri yang ditinggal mati sang suami. Meskipun beban yang
dipikul mungkin sama saja beratnya dengan akibat perceraian, tetapi
masyarakat masih lebih menberikan rasa simpatik.
Fenomena Janda.
Janda
dalam masyarakat, menimbulkan fenomena tersendiri, berapa banyak
tulisan telah dibuat dengan mengangkat tema janda, baik itu cerpen,
cerbung, novel hingga film. Mulai dari jenis „kepahlawanan“ perjuangan
mengalahkan tantangan hidup, sesuatu yang miring, hingga anekdot-anekdot
yang tidak lucu, merendahkan dan pelecehan sarkastis tentang kondisi
janda.
Dalam
konteknya dengan kemajuan arus informasi, posisi janda tetap mengundang
sesuatu yang wah…, liat saja misalnya pada media komunitas Friendster,
twitter, Facebook dll. Cukup marak diwarnai perempuan yang menyandang
status janda. Mereka gencar berburu pendamping hidup melalui dunia maya.
Pada satu sisi langkah ini cukup cerdik, karena dapat meminimalisir
gunjingan dan stigma negative lingkungan ketika Janda mencoba mendekati
pria yang kelak diharapkan menjadi suami, tetapi tidak sedikit, ajang
ini dimanfaatkan sebagai perburuan yang “lain”, baik oleh sang Janda
maupun oleh sang “Calon suami”, indikasinya, sangat jelas terlihat
dengan tampilan yang terlihat kasat mata, maupun dari bahasa yang
dilontarkan. Sekali lagi Janda menjadi korban stigma yang kadung melekat
di masyarakat.
Padahal
tanpa stigma itupun, kehidupan Janda sudah sungguh berat, disamping
harus menghidupi diri sendiri, juga harus menghidupi anak-anak,
bertindak sebagai ibu sekaligus sebagai Ayah, belum lagi bagi yang
berusia belum tua-tua amat, masalah kebutuhan rohani menjadi masalah
sendiri.
Melihat
fenomena Janda ini, sudah saatnya ada gerakan dalam masyarakat untuk,
secara serius memikirkan nasib Janda ini, karena harus diakui mereka
adalah bagian dari kita semua, mungkin saja, mereka adalah bibi kita,
keponakan kita, tetangga kita, atau paling tidak, jenis kelamin mereka
sama dengan ibu kita yang telah melahirkan kita.
Sebuah solusi.
Sebagai sebuah fenomena, maka solusi yang dapat dilakukan diantaranya.
Pertama,
mulai dibentuk kesadaran dimasyarakat untuk tidak menggampangkan
perihal perceraian, akibat yang ditimbulkan dari cerai sungguh
menimbulkan efek negatife yang luar biasa, nasib anak-anak yang orang
tuanya bercerai akan mempengaruhi masa depan mereka, meskipun mungkin
saja secara finansiel kebutuhan akan masa depan mereka dapat terpenuhi,
tetapi luka psikis yang diakibatkan perceraian orang tua, bukan masalah
sederhana yang begitu saja bisa dihapuskan
Kedua,
Hilangkan fenomena nikah siri, semua pernikahan yang dilakukan untuk
yang kedua atau ketiga atau seterusnya, dilakukan seperti nikah yang
pertama, dengan segala konsekuensi hukum yang sama dengan pernikahan
pertama, sehingga dengan demikian, fenomena mudahnya perceraian pada
pernikahan yang kedua, ketiga seterusnya tidak terjadi lagi. Kalaupun
terjadi perceraian, maka nasib wanita yang diceraikan tidak menjadi
pihak yang dirugikan, mereka dapat memperoleh apa yang menjadi haknya,
baik itu perihal gono-gini, ataupun tunjangan pendidikan dan biaya lain
untuk anak-anaknya.
Ketiga,
persulit perkara gugatan cerai. Sudah menjadi hukum alam, bahwa
pernikahan yang dilakukan, tidak ada jaminan akan selamat hingga akhir
hayat, banyak factor yang dapat menghancurkannya, tetapi bukan berarti
setiap masalah dapat dijadikan alasan untuk melakukan percerian, hanya
untuk alasan yang sangat kuat perceraian dapat dilakukan, oleh
karenanya, mesti dipikirkan sebuah system yang dapat mempersulit
terjadinya perceraian.
Keempat,
hilangkan pelarangan polygamy. Sebagai konsekwensi, dari samanya dalam
pandangan hukum kedudukan antara istri pertama dengan istri kedua,
ketida dan selnjutnya, maka pelarangan untuk polygamy bagi PNS hendaknya
segera dicabut, karena hanya orang-orang yang berkebutuhan khusus dan
memiliki kemampuan khusus yang berani melakukan polygamy, tokh
sebenarnya, masyarakat juga mengakui bahwa polygami sebenarnya tidak
dapat dilakukan setiap orang, kecuali mereka yang “khusus” tadi.
Akhirnya,
tak ada gading yang tak retak, masih banyak solusi yang dapat
ditawarkan, sehingga masyarakat dapat berkontribusi bagi kesejahteraan
Janda, terutama bagi
kelangsungan generasi yang menjadi tanggung jawab Janda-Janda itu,
silahkan pembaca tambahkan sendiri point-point berikutnya…………………..
InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar