Berikut ini adalah argumentasi al-Imam
al-Hafidz al-Muhaddits Syaikh Abdullah al-Harari al-Habasyi untuk
mematahkan kebathilan aqidah kaum Salafi-Wahabi, yang beliau tulis dalam
kitab “Sharih al-Bayan fi ar-Radd ‘ala Man Khalaf al-Quran”.
*************************************
Anda katakan kepada orang-orang Wahabi: “Ajaran agama kalian itu baru,
dirintis oleh Muhammad bin Abdul Wahhab. Buktinya, tidak ada seorang
muslim pun sebelum Muhammad bin Abdul
Wahhab yang mengharamkan perkataan “Yaa Muhammad (Wahai Muhammad)”.
Bahkan orang yang oleh Muhammad bin Abdul Wahhab disebutnya sebagai
“Syaikhul Islam”, yaitu Ahmad ibnu Taimiyah telah membolehkan
mengucapkan “Ya Muhammad” bagi orang yang sedang kesusahan karena
tertimpa semacam lumpuh pada kakinya (al-Khadar). Ibn Taimiyah
mengatakan bahwa dianjurkan bagi orang yang tertimpa semacam kelumpuhan
pada kaki yang tidak dapat digerakkan untuk mengucapkan “Yaa Muhammad”.
Yang dimaksud al-Khadar pada kaki di sini bukan artinya “kesemutan”,
juga bukan lumpuh yang permanen, tapi yang dimaksud adalah lumpuh
sementara karena terlalu lama duduk atau semacamnya. Rekomendasi Ibnu
Taimiyah ini ia dasarkan kepada apa yang telah dilakukan oleh sahabat
Abdullah bin Umar Ra., bahwa suatu ketika sahabat yang mulia ini
tertimpa al-Khadar pada kakinya, lalu ada orang yang berkata kepadanya:
“Sebutkan orang yang paling engkau cintai!”, kemudian Abdullah bin Umar
Ra. berkata: “Yaa Muhammad”.
Anda katakan kepada kaum Wahhabi:
“Ibn Taimiyah yang kalian sebut sebagai “Syaikhul Islam” membolehkan
perkara di atas, sementara kalian menamakan itu sebagai kekufuran. Dalam
hal ini, bahkan Ibn Taimiyah sendiri terbebas dan tidak sejalan dengan
apa yang kalian yakini. Dengan dasar apa kalian mengaku sebagai bagian
dari orang-orang Islam? Kalian bukan orang-orang Islam, karena kalian
mengkafirkan seluruh umat Islam yang mengucapkan “Yaa Muhammad”, padahal
tidak ada seorangpun yang mengharamkan perkataan “Yaa Muhammad” kecuali
kalian sendiri yang pertama kali mengharamkannya. Dan sesungguhnya
barangsiapa mengkafirkan umat Islam maka dia sendiri yang kafir, karena
umat ini akan senantiasa akan berada dalam agama Islam hingga hari
kiamat.
Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. Telah bersabda:
لَنْ يَزَال أمْرُ هذِه الأمّةِ مُسْتَقِيْمًا حَتّى تَقُوْمَ السّاعَةُ أوْ حَتّى يَأتِيَ أمْرُ اللهِ (روَاه البُخَاري)
“Senantiasa urusan umat ini akan selalu dalam kebenaran hingga datang kiamat, atau hingga datang urusan Allah.” (HR. Bukhari)
Jika mereka berkata: “Ibn Taimiyah tidak berkata demikian!”, maka Anda
katakan kepada mereka: “Ada buktinya, itu ditulis oleh Ibn Taimiyah
dalam kitabnya yang berjudul “al-Kalim ath-Thayyib”. Para ulama yang
menuliskan biografi Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa “al-Kalim
ath-Thayyib” benar-benar sebagai salah satu dari karya-karyanya,
diantaranya disebutkan oleh Shalahuddin ash-Shafadi yakni salah seorang
ulama yang hidup semasa dengan Ibnu Taimiyah sendiri dan banyak
mengambil darinya.
Kemudian salah seorang pemuka kaum Wahhabi;
al-Albani, juga mengakui bahwa “al-Kalim ath-Thayyib” adalah salah satu
karya Ibnu Taimiyah, dan bahkan ia membuat catatan tambahan (ta’liq)
terhadap kitab tersebut, walaupun ia berkata bahwa sanad tentang
perkataan sahabat Abdullah ibn Umar tersebut adalah dha’if. Namun
begitu, walaupun al-Albani menilai sanad tentang perkataan Ibnu Umar
tersebut dha’if tetapi penilaiannya itu sama sekali tidak memberikan
pengaruh apapun, oleh karena Ibnu Taimiyah telah mengutip riwayat itu
dalam kitabnya tersebut dengan menamakannya “Pasal: Tentang kaki apabila
terkena al-Khadar”, lalu ia menamakan kitabnya tersebut dengan
“al-Kalim ath-Thayyib”, artinya “Perkataan yang baik”. (Lihat dalam
kitab al-Kalim ath-Thayyib halaman 73).
Bahkan, seandainya
benar sanad riwayat tersebut berkualitas dha’if (seperti sangkaan
al-Albani); tetapi Ibnu Taimiyah telah jelas-jelas membolehkan hal itu
yang karenanya ia mengutip dalam kitabnya tersebut, dan ia namakan
dengan “al-Kalim ath-Thayyib”.
Dari sini Anda katakan kepada
mereka: ”Dengan demikian siapa sebenarnya yang telah kafir, apakah Ibnu
Taimiyah yang kalian sebut sebagai “Syaikhul Islam” atau kalian sendiri?
Secara tersirat sebenarnya orang-orang Wahhabi tersebut telah
mengkafirkan Ibnu Taimiyah; baik mereka sadar atau tidak. Sampai di sini
tentu mereka tidak berani untuk mengatakan Ibnu Taimiyah kafir, juga
mereka tidak akan mengatakan bahwa mereka sendiri sebagai orang-orang
kafir. Mereka tidak akan memiliki jawaban untuk ini.
Dari sini
kita katakan kepada mereka: “Jika demikian, maka benar bahwa ajaran
agama kalian itu adalah ajaran yang baru. Karena dengan pendapat kalian
yang mengharamkan perkataan “Yaa Muhammad” berarti kalian telah
mengkafirkan seluruh umat Islam dari semenjak masa Rasulullah Saw.
hingga masa kita sekarang ini. Dan bahkan baik disadari oleh kalian atau
tidak; kalian telah mengkafirkan “Imam utama” kalian, yaitu Ibnu
Taimiyah yang jelas-jelas telah membolehkan perkataan “Yaa Muhammad”
saat kaki terkena al-Khadar. Mereka akan terdiam seribu bahasa tidak
memiliki argumen.
Terlebih dari itu semua, tentang penilaian
al-Albani yang mengklaim sanad riwayat perkataan Ibnu Umar tersebut
sebagai sanad yang dha’if, penilaiannya ini sedikitpun tidak dapat
dijadikan landasan, karena dia seorang yang tidak memiliki otoritas
untuk melakukan penilaian hadits dha’if atau shahih. Dia bukan seorang
hafidz al-hadits, bahkan ia sendiri mengaku bahwa ia tidak hafal
walaupun hanya sepuluh buah hadits saja dengan sanad-sanadnya hingga
Rasulullah. Ia hanya mengaku-aku bagi dirinya sendiri bahwa dia adalah
“muhaddits kitab” bukan “muhaddits hifdz”. Suatu gelar “aneh” yang ia
buat sendiri.
Kemudian jika orang-orang Wahhabi berkata: “Ibn
Taimiyah meriwayatkan perkataan Ibnu Umar tersebut dari seorang perawi
yang masih diperselisihkan (mukhtalaf fih)”, maka Anda katakan kepada
mereka: “Ibnu Taimiyah jelas-jelas meriwayatkannya dalam kitabnya
tersebut, itu artinya sebagai bukti bahwa ia menganggap baik perkataan
“Ya Muhammad”, baik riwayat tersebut shahih atau tidak shahih. Karena
seorang yang meriwayatkan sesuatu yang batil sementara ia tidak
mengingkarinya itu artinya ia menganggap baik sesuatu tersebut dan
menyeru kepadanya.
Kisah tentang perkataan sahabat Abdullah ibn
Umar di atas diriwayatkan oleh al-Hafidz Ibn as-Sunny (Lihat ‘Amal
al-Yaum wa al-Laylah halaman 72-73, juga oleh Imam Bukhari dalam kitab
al-Adab al-Mufrad halaman 324 dengan jalur sanad selain sanad Ibn
as-Sunny).
Demikian pula telah diriwayatkan oleh al-Hafidz
al-Kabir al-Imam Ibrahim al-Harbi; seorang yang dalam ilmu dan sikap
wara’nya serupa dengan Imam Ahmad ibn Hanbal, dalam kitab Gharib
al-Hadits juz 2 halaman 673-674, yang juga dengan jalur sanad selain
sanad Ibn as-Sunny.
Diriwayatkan pula oleh al-Hafidz an-Nawawi
dalam kitab al-Adzkar halaman 321, oleh al-Hafidz Ibn al-Jazari dalam
kitab al-Hishn al-Hashin dan dalam kitab ‘Iddah al-Hishn al-Hashin
halaman 105, dan oleh asy-Syaukani; seorang yang dalam beberapa masalah
sejalan dengan pemahaman Wahabi.
Lihat wahai orang-orang
Wahhabi, asy-Syaukani meriwayatkannya dalam Tuhfah adz-Dzakirin halaman
267, sementara kalian menganggap perkataan “Yaa Muhammad” sebagai
kekufuran?
Wahai kaum Wahhabi hendak lari ke mana kalian? Jelas
tersingkap “kedok sesat” ajaran kalian. Lihat pula, Ibn Taimiyah
sebagai imam kalian, dan sebagai imam utama dari Muhammad ibn Abd
al-Wahhab yang banyak mengambil faham sesatnya telah meriwayatkannya
dalam karyanya sendiri yang ia namakan dengan “al-Kalim ath-Thayyib”.
Jika orang-orang Wahhabi berkata: “Kita yang benar, sementara Ibn
Taimiyah tidak benar, ia telah menghalalkan perbuatan syirik dan kufur.”
Maka kita katakan kepada mereka: “Itu berarti kalian telah
mengkafirkan imam terkemuka kalian sendiri yang merupakan referensi
utama bagi kalian dalam akidah tasybih (penyerupaan Allah dengan
makhlukNya) dan dalam banyak kesesatannya. Dan itu berarti merupakan
pengakuan dari diri kalian sendiri bahwa kalian mengikuti seorang yang
kalian anggap sebagai orang kafir, padahal dia adalah rujukan utama
kalian dalam berbagai permasalahan akidah yang kalian yakini.
Lihat, kalian telah mengikuti Ibn Taimiyah dalam penyataan kufurnya
bahwa Kalam Allah dan KehendakNya adalah baru dari segi materi
(al-Afrad) dan qadim dari segi jenis (al-Jins/an-Nau’). Kalian juga
mengikutinya dalam keyakinannya bahwa jenis alam ini azaly (tidak
bermula) ada bersama Allah bukan sebagai makhluk.
Lihat,
dengan kekufurnya ini kalian telah menjadikan dia sebagai ikutan dan
sandaran dalam segala keyakinan kalian yang nyata-nyata hal itu
menyalahai kebenaran, sementara kalian menyalahi dia pada perkara dimana
ia telah sesuai dengan kebenaran di dalamnya; yaitu dalam kebolehan
mengucapkan kata “Yaa Muhammad” ketika dalam keadaan sulit atau saat
tertimpa musibah.
Kemudian kita katakan pula kepada mereka:
“Pengakuan bahwa kalian sebagai kelompok Salafi adalah bohong besar.
Siapakah di antara ulama Salaf yang melarang mengatakan kata “Yaa
Muhammad” saat dalam kesulitan?
Karena itu, haram bagi kalian
mengaku sebagai kaum Salafi, karena penamaan ini menipu banyak orang
awam. Padahal kalian sedikirpun tidak berada di atas keyakinan ulama
Salaf, juga tidak di atas keyakinan ulama Khalaf, tetapi kalian datang
dengan membawa agama dan ajaran yang baru.
Sesungguhnya
mengucapkan kata “Yaa Muhammad” untuk tujuan meminta tolong
(istighatsah) adalah perkara yang telah disepakati kebolehannya oleh
para ulama Salaf dan ulama Khalaf; baik di masa Rasulullah masih hidup
atau setelah beliau wafat.
Adapun yang dilarang dalam syari’at
adalah mengucapkan kata “Yaa Muhammad” di hadapan wajah Rasulullah di
masa hidupnya untuk tujuan memanggilnya, yaitu setelah turun firman
Allah:
لاَتَجْعَلُوا دُعَآءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَآءِ بَعْضَكُم بَعْضًا (النور: 63)
”Janganlah kalian menjadikan panggilan terhadap Rasulullah di antara
kalian seperti sebagian kalian memanggil sebagian yang lainnya.” (QS.
an-Nur ayat 63).
Sebab diharamkan perkara tersebut adalah
karena ada suatu kaum yang bersifat kasar memanggil Rasulullah dari laur
rumahnya dengan mengatakan “Wahai Muhammad (Yaa Muhammad) keluarlah
engkau kepada kami!”. Dari sebab ini kemudian Allah mengharamkan perkara
ini karena untuk memuliakan Rasulullah.
Adapun tentang seorang
sahabat yang buta yang bertawassul dengan Rasulullah supaya ia
mendapatkan kesembuhan dari butanya; yang kemudian Rasulullah mengajari
sahabat buta tersebut beberapa kalimat doa untuk ia bacakan, maka
bacaannya tersebut tidak dibacakan di hadapan Rasulullah. Doa tersebut
yaitu:
اللّهُمّ إنّي أسْألُكَ وَأتَوَجَّهُ إلَيكَ بِنَبِيّنَا
مُحَمّدٍ نَبيّ الرّحْمَة يَا مُحَمّدُ إنّي أتَوَجّهُ بِكَ إلَى رَبّي
عَزّ وَجَلّ فِي حَاجَتِيْ
“Ya Allah sesungguhnya aku meminta
kepadaMu dan aku menghadap kepadaMu dengan NabiMu; Muhammad, Nabi
pembawa rahmat. Wahai Muhammad sesungguhnya saya denganmu menghadap
kepada Tuhan saya dalam kebutuhanku ini”.
Dalam riwayat hadits
ini Rasulullah berkata kepada sahabat buta tersebut: “Pergilah ke tempat
wudhu. Berwudhulah lalu kerjakan shalat dua rakaat, kemudian berdoalah
dengan membaca doa-doa itu.” (HR. ath-Thabarani, lihat al-Mu’jam
al-Kabir juz 9 halaman 17-18 dan al-Mu’jam ash-Shagir halaman 201-202).
Sahabat buta tersebut kemudian keluar dari majelis Rasulullah, beliau
berwudhu, lalu shalat dua rakaat dan membacakan doa yang berisi tawassul
dengan Rasulullah tersebut. Setelah beliau menyelesaikan itu semua maka
beliau datang kembali menghadap Rasulullah dalam keadaan sudah dapat
melihat. Dengan demikian doa yang dibacakan oleh sahabat buta tersebut
tidak di hadapan Rasulullah pada masa hidup beliau saat itu.
Dari sini kita katakan kepada kaum Wahabi: “Kalian telah mengambil
pendapat Ibn Taimiyah dalam karyanya berjudul at-Tawassul wa al-Wasilah
bahwa tawassul hanya boleh dilakukan dengan orang yang hadir di hadapan
dan dalam keadaan masih hidup, namun terhadap tawassul atau istighatsah
dengan yang sudah meninggal; yang padahal itu oleh Ibn Taimiyah sendiri
juga dikatakan sebagai perkara baik, seperti bertawassul dengan
Rasulullah setelah wafatnya; kalian menyalahinya, bahkan kalian
mengklaim bahwa perkara tersebut adalah syirik dan kufur. Alangkah
naifnya kalian, betul-betul jauh dari kebenaran.”
Kemudian kita
katakan pula kepada mereka untuk membantah pendapat mereka yang telah
mengatakan bahwa Allah berada di arah atas; atau berada di Arsy:
“Seseorang yang dalam posisi berdiri, apakah dari segi jarak posisi
kepalanya lebih dekat kepada Arsy dibanding seorang yang sedang dalam
posisi sujud?”
Mereka pasti menjawab bahwa yang dalam posisi
berdiri lebih dekat kepada Arsy. Lalu kita katakan kepada mereka:
“Kalian telah menjadikan Arsy sebagai tempat bagi Allah, padahal ada
hadits Rasulullah yang menolak pemahaman sesat kalian ini, yakni riwayat
Imam Muslim bahwa Rasulullah bersabda:
أقْرَبُ مَا يَكُوْنُ العَبْدُ مِنْ رَبّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فأكْثِرُوا الدّعَاء (رَوَاه مُسْلِمٌ)
“Seorang hamba yang paling dekat kepada Allah adalah saat dia dalam
posisi sujud, maka hendaklah kalian memperbanyak doa (pada posisi
tersebut).” (HR. Muslim).
Kalian mengatakan bahwa metode takwil
sama dengan ta’thil; artinya menurut kalian memberlakukan takwil sama
saja dengan mengingkari wujud Allah dan mengingkari sifat-sifatNya; atau
dalam istilah kalian “at-ta’wil ta’thil”. Ini artinya ketika kalian
menolak takwil maka berarti sama saja kalian mengakui bahwa keyakinan
kalian adalah keyakinan batil, karena keyakinan kalian berseberangan
dengan pemahaman dzahir (literal) hadits tersebut”.
Adapun kami kaum Ahlussunnah memahami firman Allah:
الرّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى (طه: 5)
Dan seluruh ayat-ayat atau hadits-hadits Nabi yang secara dzahir
(literal) seakan bahwa Allah memiliki tempat dan arah, atau seakan bahwa
Allah memiliki anggota badan, atau seakan bahwa Allah memiliki bentuk
(batasan), atau bergerak dan pindah, atau sifat-sifat apapun yang seakan
bahwa Allah serupa dengan makhukNya. Ini semua kita pahami dengan
metode takwil, baik dengan metode takwil ijmali atau takwil tafshili,
sebagaimana hal itu telah dicontohkan oleh beberapa orang dari ulama
Salaf, yang kemudian diikuti oleh para ulama Khalaf.
Kita
katakana: “Makna teks-teks semacam itu semua bukan dalam makna
dzahirnya, tetapi itu semua memiliki makna-makna yang sesuai bagi
keagungan Allah yang sama sekali tidak menyerupai makhlukNya. Inilah
yang dimaksud dari perkataan sebagian ulama Salaf “Bila kaif wa la
tasybih”.
Ulama Ahlussunnah mengatakan bahwa makna “Bila Kaif”
yang dimasud adalah bahwa ayat-ayat dan hadits-hadits mutasyabihat
semacam yang telah disebutkan di atas tidak dipahami dalam pengertian
benda atau sifat-sifat benda. Inilah pemahaman yang benar dari maksud
perkataan ulama Salaf dan ulama Khalaf “Bila Kayif”, tidak seperti yang
dipahami oleh orang-orang Wahabi; dalam mulutnya mereka mengatakan “Bila
Kayf”, tapi dalam hati mereka meyakini adanya kaif (sifat benda).
Sesungguhnya metode takwil tafshili telah diberlakukan oleh para ulama
Salaf sekalipun tidak semua. Imam Ahmad ibn Hanbal misalkan, telah
mentakwil firman Allah: “Wa ja-a Rabbuka” (QS. al-Fajr ayat 22) dengan
mengatakan bahwa yang dimaksud “ja-a” dalam ayat tersebut adalah
“datangnya” pahala dari Allah. Dalam riwayat lainnya beliau mengatakan
bahwa yang dimaksud adalah “datangnya perintah Allah”. (Lihat al-Bidayah
wa an-Nihayah juz 10 halaman 327). Imam al-Baihaqi mengatakan sanad
riwayat ini tidak memiliki cacat sedikitpun.
Sementara kalian
wahai kaum Wahhabi mengatakan dalam mamahami ayat tersebut bahwa Allah
turun secara indrawi. Dalam keyakinan kalian bahwa Allah pindah dari
Arsy ke bumi sebagaimana para Malaikat turun secara indrawi; yaitu turun
dengan pindah dari arah atas ke arah bumi pada hari kiamat kelak.
Seandainya Imam Ahmad berkeyakinan seperti keyakinan kalian maka tentu
beliau tidak akan mentakwil ayat di atas; tentu beliau akan memahami
ayat tersebut sesuai dzahirnya seperti yang kalian pahami, tapi terbukti
beliau telah melakukan takwil. Perkataan Imam Ahmad ini telah
diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dan dishahihkannya dalam kitab Manaqib
al-Imam Ahmad.
Demikian pula firman Allah: “Yauma yuksyafu ’an
saq” (QS. al-Qalam ayat 42) oleh sebagian ulama Salaf telah ditakwil
secara tafshili; mereka mengatakan yang dimaksud kata “as-Saq” dalam
ayat ini adalah “huru-hara (kesulitan) yang teramat dahsyat”, (artinya
bahwa Allah akan mengangkat huru-hara tersebut di hari kiamat kelak dari
orang-orang mukmin). (Lihat dalam kitab Fath al-Bari juz 13 halaman 428
dan kitab al-Asma wa ash-Shifat halaman 345).
Sementara
kalian wahai orang-orang Wahabi memaknai makna “saq” pada ayat ini
dengan mengatakan bahwa Allah memiliki betis sebagaimana manusia
memiliki betis yang merupakan salah satu anggota badannya. Bagaimana
kalian mensucikan Allah dari menyerupai makhlukNya dengan keyakinan
kalian yang rusak ini?
Dengan demikian menjadi jelas bahwa pengakuan kalian sebagai para pengikut Imam Ahmad ibn Hanbal adalah bohong besar.
Sementara itu Imam Bukhari telah menyebutkan takwil bagi dua ayat dari al-Qur’an. Pertama; beliau mentakwil firman Allah:
كُلُّ شَىءٍ هَالِكٌ إلاّ وَجْهَه (القصص: 88)
Imam Bukhari mengatakan bahwa makna “al-Wajh” dalam ayat tersebut
adalah “al-Mulk”; artinya kerajaan atau kekuasaan. (Lihat dalam Shahih
al-Bukhari, tafsir Surat al-Qashash).
Takwil ayat ini demikian
juga telah disebutkan oleh Imam Sufyan ats-Tsauri dalam kitab
Tafsirnya. (Lihat Tafsir al-Quran al-Karim halaman 194).
Kedua; Imam Bukhari mentakwil firman Allah:
هُوَ ءَاخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا (هود: 56)
Ayat ini ditakwil oleh beliau dalam makna “al-Mulk wa as-Sulthan”
artinya “kerajaan dan kekuasaan”. (Lihat Shahih al-Bukhari, Tafsir Surat
Hud).
Imam Bukhari tidak pernah mentakwil ayat ini seperti
yang kalian yakini dalam pengertian bahwa Allah bersentuhan. Benar,
makna literal dari ayat tersebut seakan Allah menyentuh setiap ubun-ubun
dari segala binatang, tapi memaknainya seperti demikian ini jelas
merupakan tasybih (penyerupaan Allah dengan makhlukNya), karena Allah
tidak disifati dengan menyentuh dan atau disentuh; sebab menyentuh
maupun disentuh adalah dari tanda-tanda makhluk.
Adapun takwil
hadits riwayat Imam Muslim yang telah kita sebutkan di atas adalah bahwa
makna “al-Qurb” di sini bukan dalam pengertian dekat dari segi jarak.
Demikian pula dengan redaksi-redaksi hadits yang seakan Allah berada
atau bertempat di arah atas; itu semua tidak boleh dipahami secara
literal (harfiah), tetapi harus dipahami dengan metode takwil.
Dengan demikian bagaimana kalian mengatakan bahwa metode takwil sama
saja dengan ta’thil (menafikan atau mengingkari sifat-sifat Allah)? Juga
dengan dasar apa kalian mengatakan bahwa metode takwil adalah kufur?
Anda katakan kepada mereka: “Jika kalian tidak memahami hadits riwayat
Imam Muslim ini dengan makna dzahirnya (harfiah) maka berarti kalian
telah melakukan takwil. Dan bila demikian maka berarti kalian telah
menyalahi diri kalian sendiri yang anti terhadap takwil. Kalian
mengatakan: “Takwil adalah ta’thil”, sementara kalian sendiri
memberlakukan takwil.
*************************************
Wallahu al-Musta’an
Tidak ada komentar:
Posting Komentar