data-config="{'skin':'skins/scmGreen/skin.css','volume':100,'autoplay':true,'shuffle':false,'repeat':1,'placement':'top','showplaylist':false,'playlist':[{'title':'Nurul Musthofa-Ya Dzaljalali Wal Ikram ','url':'http://www.youtube.com/watch?v=_eV6T3hpwEA'},{'title':'Nurul Musthofa-Ya Robbi Sholli Ala Muhammad','url':'http://www.youtube.com/watch?v=2vwjFDiMhv0'}]}" >


Selasa, 07 Agustus 2012

Sudah Seharusnya Orang Tahu.


Curhat tentang ‘The hard-line Islam Defender Font’

“Aku mau minta bantuan ke FPI”. Kalimat yang keluar dari mulut suamiku siang itu sungguh membuat hati semakin runyam. Karena memang keluar dari mulut orang yang sedang runyam. Sudah seminggu ini perasaan takut mendera seluruh penghuni rumah kami. Sejak kedatangan enam orang ambon yang datang mengancam kami dengan alasan yang tak mungkin kujelaskan di sini. Yang jelas, Orang tuaku, suamiku, dan aku sendiri yang menjadi penadah tampias sasaran orang ambon itu berani berkata dengan tegas “kami tidak bersalah!”.
Minta tolong pada FPI sebenarnya sudah jalan terakhir menurut kami. Setelah sekian banyak ancaman melalui sms dan kedatangan orang-orang ambon itu yang sampai membuat heboh lingkungan rumah kami. Sempat suamiku meminta bantuan pada kenalannya yang juga bersuku ambon dan berprofesi sama. Tapi ternyata kenalannya itu malah berbalik memburunya, dengan alasan mencari jalan negosiasi. Padahal tak lain maunya. Uang. Suamikupun berkali-kali melapor polisi sampai mendatangi markas polisi militer. Tapi mereka tak bisa berbuat apa-apa selama tak ada kerusakan ataupun kekerasan.
Beban psikis yang kami alamipun tak terhitung. Ayah kami yang tak pernah sama sekali berurusan dengan pengancam model begitu jadi begitu shock. Ia jadi tak nafsu makan dan tak bisa tidur. Sibuk memikirkan cara yang baik untuk menghentikan mereka. Bukan mereka tidak pernah melalui upaya damai. Membicarakan masalahnya baik-baik kepada para pengancam, bahkan langsung ke pesuruh mereka pun sudah dilakukan. Tapi upaya itu di tolak mentah-mentah. Masing-masing pihak merasa benar. Akhirnya suamiku meminta aku dan ibuku untuk mengungsi sementara waktu di rumah saudara. Ayahku sudah lebih dulu mengungsi ke rumah saudara kami yang lain. Kalau bukan karena anak, aku tak akan mau mengungsi demi menghindari orang-orang ambon itu. Wong kita nggak bersalah?!
Sementara kami mengungsi, suamiku nekad mendatangi markas FPI di daerah petamburan. Antara rela – tak rela membiarkannya ke sana. Karena aku sendiri tidak setuju pada sikap FPI yang ku tahu selama ini. Mereka terlalu keras. Main hantam. Senang ribut. Aku tidak ingin keluarga kami terjebak dalam lingkungan seperti itu. Tapi suamiku meyakinkan bahwa ini jalan terbaik. “Kalau tertimpa musibah, seharusnya kita nggak minta tolong sama setan, minta tolong sama ALLAH. Ke sesama muslim, yang udah jelas akan minta pertolongan ke ALLAH juga.” begitu katanya. Akhirnya, dengan hanya bermodal satu kenalan–itupun lupa mencatat nomor teleponnya saat bertemu di suatu demo anti liberal- ia menyampaikan maksudnya pada siapapun yang ia temui di posko yang berada tepat di sebelah rumah pendiri FPI itu. Benar saja, pulang ia tak membawa hasil apa-apa. Hanya nomer telepon kenalan suamiku itu yang ternyata juga tidak aktif. Tapi tak disangka, keesokan harinya orang itu menelepon balik. Dan mengundang suamiku untuk datang ke rumahnya.
Dua hari kemudian ia mengajak suamiku untuk bertemu teman-teman pengacara sesama anggota FPI. Sepulang dari sana suamiku begitu antusias menceritakan betapa besar kepedulian mereka pada masalah kami. Mereka siap membantu dan dengan jelas menyebutkan tak akan meminta biaya apapun untuk itu. Yang mereka niatkan hanya satu, menolong keluarga kami yang sedang terzholimi. Dalam hati miris sendiri, bahkan beberapa polisi yang diminta datang ke rumah saat orang-orang ambon datang pun tak bisa berkata demikian. Malah menerima tips pemberian ayahku, meski mereka tidak meminta.
Keesokan harinya keluarga kami langsung mendapat surat kuasa dengan bertanda tangan lima orang pengacara dari FPI. Setelah itu kami dapat kembali ke rumah dengan lega. Menanti tindakan selanjutnya jika orang-orang ambon tersebut tak mau terima adanya surat kuasa tersebut.
Esoknya lagi, kami diundang untuk datang ke rumah pendiri FPI untuk membahas hal ini. Habib Rizieq sendiri yang meminta kami turut serta dalam rapat anggota FPI yang membahas masalah-masalah intern mereka. Dibiarkannya kami mendengar semua permasalahan yang sedang mereka hadapi, dan rencana kegiatan mereka selanjutnya. Bahkan permasalahan kami yang tak ada apa-apanya dibandingkan beratnya masalah-masalah mereka, dijadikan salah satu poin yang di bahas dalam rapat tersebut.
Rapat tersebut selesai saat adzan maghrib. Di sela-sela zikir seusai sholat, suamiku mendengar Habib muntah-muntah di kamar mandinya. Suamikupun sempat diberitahu beberapa waktu lalu, bahwa beliau sedang sakit karena kelelahan. Seusai shalat maghrib, suamiku yang juga telah mengajak beberapa sahabatnya sesama pekerja seni muslim meneruskan pembahasan bersama para laskar FPI, sebutan untuk para anggota FPI yang siap ‘turun ke jalan’.
Tak berapa lama Habib menimbrung dan meminta ikut berbincang-bincang. Merekapun duduk bersila, melingkar di atas karpet musholla yang lebih terlihat seperti aula atau garasi besar. Aku dan ibuku sebagai perempuan hanya bisa memperhatikan dari barisan belakang. Kuperhatikan sosoknya, tak pernah sedetikpun senyum itu lepas dari mulutnya. Penampilan suamiku dan para sahabatnya yang berambut gondrong, berbaju hitam, bahkan ada pula yang berambut merah, tak pernah mengusik mata Habib Rizieq. Ia mempersilahkan mereka mengutarakan seluruh isi hati. Kebetulan mereka datang membawa misi yang sama dengan Habib. Yakni memerangi Islam Liberal. Habib mendengarkan dengan seksama, sambil memanggut-manggut dan tentu saja tak henti tersenyum.
Baru setelah suamiku bertanya, ia menjawab dengan penuh semangat. Tak ada kesan kasar ataupun keras seperti yang kubayangkan pada dirinya sebelumnya. Tidak pun terlihat seperti orang yang baru saja muntah luar biasa, meski lekukan hitam di bawah matanya tak dapat menipu. Caranya menjelaskan pengalamannya menghadapi fitnah serupa begitu berkarisma. Aku yang termasuk tipe pembosan bisa terbius mendengarkan penjelasannya.
“Fitnah sudah menjadi makanan kita sehari-hari. Kita tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Cukup tanggapi seperlunya, sesuai kebutuhan. Karena jika kita terus-menerus berkutat di situ, terus-menerus mencoba meng-klarifikasi, kita akan ketinggalan. Sementara masih banyak sekali yang lebih penting yang harus diurusi.” Begitu kira-kira sedikit penjelasannya yang paling kuingat.
Ia juga menceritakan kejadian-kejadian baku hantam yang mereka lakukan adalah sebagai upaya terakhir. Karena pihak lawan (seperti bandar judi terbesar, diskotik-diskotik yang mengabaikan peraturan) tak menggubris peringatan mereka. Polisi pun tak ada yang berani turun tangan. Lebih dari itu, ia juga menceritakan mengapa pemerintah sampai tak bisa membubarkan FPI. Adalah karena mereka pun sering meminta pertolongan FPI, jika sudah tak ada lagi yang bisa diandalkan.
Cerita mengenai pengalaman mereka memberikan perlindungan pada warga Mesuji yang mayoritas hindu, menolong pengusaha cina yang diperas hartanya dan di zhalimi, jelas sekali menunjukkan bagaimana seharusnya istilah ‘toleransi beragama’ dijalankan.
“Ana mau bantu mereka, karena apa? karena mereka benar, dan mereka terzholimi. Apa ada media yang memberitakan hal itu?… Tapi kita nggak mau mempermasalahkan. Cuma sekarang kita jadi nggak percaya sama media. Bukan sama jurnalis, mereka udah jalanin tugas, sesuai, bekerja dengan baik. Tapi begitu di setor ke atasan, yang terbit hanya sebagian kecil. Isinya negatif. Makanya kita nggak mau terima jurnalis manapun, kecuali dari Suara Islam.” Senyumnya tersungging lebar.
“Makanya ana sangat bersyukur ada anak-anak muda seperti antum sekalian. Yang berjuang untuk Islam melalui jalannya masing-masing. Yang punya kemampuan bermusik, majulah dengan musik. Yang sutradara lewat film. Itu bagus sekali. Ana dukung Insya ALLAH. Ana nggak anti musik. Milad FPI nanti akan ada pertunjukan teater dan musik. Kita nggak pernah mengharamkan musik. Cuma bagaimana caranya bisa meng-islami musik tersebut. Asal jangan antum sekali gebuk drum seratus orang langsung mabok…” Semua yang hadir tertawa. Terasa sekali keakraban malam itu. Tak ada kepura-puraan. Yang ada hanya ketulusan. Dan kuyakin semua yang hadir setuju denganku.
Sejak Isya hingga hampir jam sepuluh malam mereka berbincang-bincang, Tak satupun makanan dan minuman tersentuh tangannya. Malah ia sempat membukakan kaleng biskuit untuk anakku di sela perbincangan itu, demi melihatnya di hadapan yang sedang kesulitan membuka kaleng. Beberapa kali kulihat seseorang mendatanginya dari belakang untuk mengingatkannya makan. Kutahu hal ini setelah suamiku menceritakan apa yang ia dengar. Tapi Habib Rizieq tak berkutat sedikitpun dari duduknya. Tetap melayani semua pertanyaan-pertanyaan suamiku beserta para sahabatnya hingga tuntas.
Di akhir perbincangan, ia membagikan buku setebal 202 halaman yang merupakan buah pikirannya terhadap kondisi Indonesia saat ini. Saat itu, ibu dan anakku sudah di mobil karena kelelahan. Hanya tinggal aku perempuan sendiri di musholla itu. Tapi justru Habib Rizieq yang mengingatkan anggotanya untuk memberikan satu buku padaku juga. Padahal kupikir selama ini ia tak menghiraukanku. Karena tak pernah sekalipun matanya mengarah padaku meski hanya berupa lirikan. Saat itu aku langsung sadar betapa perhatiannya menyeluruh, tanpa ada yang terabaikan.
Mungkin beberapa dari kalian yang membaca tulisanku ini akan curiga bahwa aku adalah salah satu jongos FPI. Mungkin ada misi terselubung dari tulisanku ini. Maka dengan lantang kukatakan, demi ALLAH apa yang kuceritakan ini tak ada sedikitpun yang merupakan karangan. Semua terjadi begitu adanya. Aku bukanlah anggota dari ORMAS ini. Karena kenyataanya, untuk menjadi anggota FPI tak semudah membuat KTP di kelurahan (kalau menurut kalian itu mudah). Perlu persyaratan tertentu dan membutuhkan waktu cukup lama (tahunan) untuk mendapatkan kartu anggota yang bertuliskan peraturan-peraturan yang membuatku ciut sendiri. Namun jika dibilang simpatisan, aku tak menolak. Aku tak akan malu mendukung sebuah organisasi yang istiqomah memperjuangkan ISLAM dan begitu peduli terhadap saudara-saudaranya, yang baru di kenalnya sekalipun. Sampai tulisan ini kubuat, masalah yang kami alami masih menggantung. Tapi pihak FPI siap melakukan apapun untuk keamanan dan ketenangan kami. Termasuk menyiagakan laskar di rumah kami, bahkan membawa kasus ini ke jalur hukum jika memang perlu.
“Apapun masalahnya, apalagi sesama saudara muslim, Insya Allah kita bantu. Semampu kita. Kecuali kalau udah diluar batas kemampuan kita, ana angkat tangan deh, ana nyerah. Tapi selama masih bisa, Insya ALLAH kita bantu” ucapnya dengan begitu antusias dan bersahabat.
Kami pulang dengan perasaan lega, kagum, sekaligus malu (untuk yang ini khusus perasaanku saja, yang kutahu). Aku malu. Bahwa selama ini, bahkan perintah ALLAH S.W.T untuk bekalku sendiri saja masih minim sekali kulaksanakan. Tapi baru terkena masalah sedikit, mudah sekali hati ini mengeluh. Seberapa kecilnyakah amalku jika dibandingkan perjuangan Habib Rizieq menolong agama ALLAH? seberapa kecilnya peranku untuk menjaga Islam ini tetap bersih hingga ke tangan anak-cucuku sendiri? Padahal Habib Rizieq ini hanya merupakan cerminan kecil dari sempurnanya sosok Muhammad Rasulullah S.A.W.
Maka selemah-lemahnya aku, sekecil-kecilnya amalanku, aku bertekad untuk menyebarkan cerita ini. Dan berharap dalam hati, semoga dapat turut menolong agama ALLAH dengan menjaga nama baik hamba-Nya yang berikhtiar di jalan-Nya. Meski hanya lewat tulisan ini.
“Ketika para penguasa Dunia Islam tidak merasa terancam negerinya dan kekuasaannya dengan perjuangan penegakan Khilafah Islamiyyah, maka mereka akan mau mendengarkan dan mengkaji tentang apa dan bagaimana konsep Khilafah Islamiyyah.”
-kutipan dari halaman terakhir buku ‘Hancurkan Liberalisme Tegakkan Syariat Islam’ karya Al-Habib Muhammad Rizieq bin Husain Syihab-
Allahumma Ya muqollibal quluub. Tsabit qolbi ‘ala dinik.
Tsabit qolbi ‘ala dinik.
Tsabit qolbi ‘ala dinik.
Artikel ini diambil dari halaman Sahid Yahya di:  http://www.facebook.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar