ARGUMETASI
merupakan khazanah dari siapa saja yang menggunakan akal pikiran untuk
menilai kenyataan. Menyusun argumentasi yang kokoh tentu akan
menghasilkan simpulan bagus, menambah khazanah pemikiran. Berargumentasi
itu tidaklah sulit, hanya membutuhkan ketepatan dalam mencermati
kenyataan, lalu mempraktekkan hukum-hukum berpikir logis. Salah-satu
cara berpikir logis adalah dengan menggunakan hukum analogi,
sederhananya mencari kesamaan-kesamaan dari dua hal berbeda, lalu
disimpulkan.
Jika terjadi kesemrawutan dalam proses
mempersamakan, maka tidak bisa digunakan hukum analogi. Artinya,
kesimpulan dari proses berargumentasi jadi ngawur, tak
beraturan serta salah-kaprah. Hal itu tampak dari siapapun yang berusaha
'menganalogikan' kasus Rohingya dan Ahmadiyah. Meskipun sebenarnya,
dalam kasus Rohingya Myanmar, situasi dan kondisinya jelas berbeda dari
kasus Ahmadiyah Indonesia. Sebagaimana komentar seporang tokoh liberal
belum lama ini. [baca juga: Ulil: Twit Itu Kritik untuk Teman-teman Muslim].
Berikut ini beberapa perbedaan situasional yang bisa dikemukakan dalam tulisan ini.
Pertama,
perkara etnis Rohingya merupakan kasus etnis minoritas melawan
pemerintah Myanmar secara langsung. Ini bukan kasus penistaan agama,
melainkan kasus etnis minoritas yang disingkirkan negara. Cara junta
militer Myanmar menyingkirkan etnis Rohingya sangat sistematis dan
terstruktur. Sebelumnya, telah terjadi manipulasi sejarah etnis Rohingya
selama beberapa dekade silam secara kontinyu oleh para sejarawan Burma
di fora internasional dan di dalam negeri Myanmar. Sebut saja nama Khin
Maung Saw, Maung Maung atau Aye Chan. Ketiganya sejarawan sesat Myanmar
yang menuliskan karya-karyanya lalu dirujuk junta militer Myanmar nan
bengis. Bahwa sejarah Burma (Myanmar) tidak mengenal etnis Rohingya.
Selain itu, sejarah itu juga diajarkan dalam kurikulum pendidikan di
Myanmar, bahwa etnis Rohingya bukanlah bagian dari bangsa Burma. Aung
San Suu Kyi termasuk sosok yang terpengaruh paham sejarah menyesatkan
produk junta militer Burma ini.
Namun demikian, manipulasi
sejarah ini telah dipatahkan dengan baik oleh ahli sejarah sekaligus
periset sosial Habib Siddiqui, Francis Buchanan-Hamilton, Jacques
Leider, dan M Ali Chowdhury.
Menurut mereka, faktanya, etnis Rohingya itu sudah ada di wilayah
Arakan, jauh sebelum terbentuknya pemerintahan junta militer Myanmar.
Bahkan, Ashraf Alam secara tegas menyebutkan dalam sejumlah karyanya,
etnis muslim Rohingya merupakan penopang utama kemaharajaan Mrauk-U di
Arakan sebelum Inggris masuk ke Burma. Harus diakui, junta militer
Myanmar tetap ngotot melakukan proses pengaburan fakta sejarah. Perilaku
junta ini serupa dengan perilaku sejarawan Nugroho Notosusanto dan ahli
hukum Muhammad Yamin di Indonesia, yang sangat mengagungkan zaman
Majapahit dan Sriwijaya.
Kedua, kasus Rohingya di Burma
lebih mirip dengan nasib etnis Bosnia-Herzegovina menghadapi Serbia. Ada
upaya ethnic cleansing dari penguasa dan mayoritas etnis lain.
Oleh karena itu, tidaklah tepat jika digunakan argumen mempertahankan
keyakinan layaknya dalam kasus Ahmadiyah, sebagai dasar untuk
mensejajarkan kasus etnis Rohingya dan perkara Ahmadiyah di Indonesia.
Tidak ada kesejajaran alasan yang bisa mendorong penyamaan kasus
etnis dan perkara keyakinan keagamaan. Apalagi, secara faktual penganut
Ahmadiyah tidak direpresi atau disingkirkan dari bumi Indonesia oleh
pemerintah. Kalaulah terjadi konflik antara penganut Ahmadiyah lawan
pengikut Islam lainnya, maka konflik itu bersifat horizontal, bukan
vertikal antara negara lawan kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Ketiga, kelompok
yang mengklaim diri sebagai 'liberal' di Indonesia telah menyempitkan
makna solidaritas kaum muslim pada Rohingya sekadar perkara membela
keyakinan umat muslim di sana. Akibatnya kemudian, terjadi kesesatan
berpikir yang disebut 'cum hoc ergo propter hoc', artinya
pikiran kacau-balau kaum 'liberal' karena mencampuradukkan dua variabel
berbeda. Variabel etnis tidak bisa dicampur-adukkan pada variabel
keyakinan agama untuk dua kasus yang berbeda pula. Pencampur-adukkan dua
variabel itu jelas tidak menghasilkan hukum berpikir benar, malah
sebaliknya patut diduga adanya sentimen lain. Sedangkan logika tidak
boleh berdasar sentimen karena bisa menghasilkan kesesatan pikir bernama
'argumentum ad ignorantiam', yakni malas mencari kebenaran faktual
lama-lama jadi bebal.
Itulah tiga hal yang bisa diutarakan
dalam tulisan ini guna menanggapi komentar dari siapapun yang
mensejajarkan kasus etnis Rohingya dengan masalah Ahmadiyah di
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar