data-config="{'skin':'skins/scmGreen/skin.css','volume':100,'autoplay':true,'shuffle':false,'repeat':1,'placement':'top','showplaylist':false,'playlist':[{'title':'Nurul Musthofa-Ya Dzaljalali Wal Ikram ','url':'http://www.youtube.com/watch?v=_eV6T3hpwEA'},{'title':'Nurul Musthofa-Ya Robbi Sholli Ala Muhammad','url':'http://www.youtube.com/watch?v=2vwjFDiMhv0'}]}" >


Kamis, 09 Agustus 2012

Mana Mungkin Gubernur California Muslim ?

Atmosfir politik DKI Jakarta kian panas. Pertarungan Foke – Jokowi pada 20 September mendatang ternyata menyita perhatian sejumlah ulama. Umat Islam sedang galau. Setidaknya itu terjadi di dua kota, Solo dan Jakarta. Sebab, jika Jokowi sampai berhasil memenangkan Pilgub DKI, maka pemimpin Solo akan beralih ke wakil walikota, FX Hadi Rudyatmo, yang beragama Kristen. Sementara di DKI, calon wakil Jokowi juga seorang Kristen. Padahal, menurut Islam kaum Muslimin tidak diperbolehkan memiliki pemimpin di luar kalangan mereka. 
Kalau kita berhujjah dari QS. Al ‘Imran ayat 118, maksud firman Allah Ta’ala: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.”
Dalam syariat Islam, tentu saja langkah Jokowi ini sangat bertentangan. Sebab Allah Ta’ala memerintahkan agar umat Islam tidak menjadikan orang-orang kafir sebagai teman kepercayaan atau pemimpin. Atas dasar itulah banyak dikalangan ulama maupun da’i yang tergerak untuk menolak pemimpin dari kalangan non muslim. Namun ketika hal itu disampaikan dalam dakwah mereka justru dianggap sebagai SARA.
Hal tersebut seperti diungkapkan Sekjen Front Pembela Islam (FPI), KH. Ahmad Shabri Lubis, Lc. Beliau menegaskan bahwa apa yang disampaikan para da’i agar menolak pemimpin di luar Islam adalah sikap yang benar. “Masalah kepemimpinan ini kalau dari tinjauan syariat Islam tentu kyai-kyai itu benar. Jangankan tingkat gunernur atau tingkat presiden, tingkat RT saja tidak boleh kok orang Islam mengangkat orang kafir jadi pemimpin,” tuturnya, seperti dirilis voa-islam.com, Selasa (7/8/2012).
“Ini ayat Al Alqur’an yang berbicara, kita sebagai umat yang taat kepada Allah, hal ini harus jauh lebih didahulukan. Cuma ini masalahnya di sistem demokrasi yang dianut di Republik Indonesia memang mengarahkan semua orang punya hak yang sama, ini yang bikin rancu masalahnya,” sambungnya.
Namun demikian ia mengimbau agar para da’i bisa menggunakan strategi dakwah yang baik, hal ini untuk menghindari musuh-musuh Islam yang menyerang dengan tuduhan SARA. “Nah, sekarang tinggal kita menggodoknya dengan lebih baik. Jangan nanti malah dijadikan alat oleh musuh untuk memukul,” imbuhnya.
Kita juga harus melihat dengan cermat bahwa di Jakarta penduduknya mayoritas muslim. Mengapa harus ngotot dipimpin oleh non muslim dengan alasan demokrasi? Di Amerika saja sebagai penggagas dan selalu meneriakkan demokrasi, tidak akan mungkin membiarkan Gubernur California berasal dari kalangan muslim, karena memang tidak pada tempatnya. Kearifan lokal inilah yang harus dipahami, jangan sibuk teriak demokrasi.
Sementara itu, Hari Ahad, 5 Agustus 2012 kemarin, sejumlah ulama pun berkumpul di Cipayung, Bogor. Diantaranya yang hadir dalam pertemuan itu adalah Sekjen Forum Umat Islam (FUI), KH Muhammad Al Khaththath, ia mengingatkan, agar Jakarta tidak mengalami nasib seperti Singapura dan Manila, serta Indonesia tidak menjadi Andalusia kedua. Hendaknya umat Islam segera melakukan gerakan pencegahan. Caranya umat Islam harus melakukan konsolidasi dan silaturahmi antar berbagai komponen umat Islam. “Konsolidasi pemikiran, perasaan, dan gerak untuk memberikan loyalitas hanya kepada Allah dan Rasul-Nya penting dimassifkan,” katanya.
Al Khaththath menceritakan, asal tahu saja, Manila sebelumnya adalah kota Islam, didirikan Sultan Sulaiman. Manilla berasal dari kata fii amaanillah yang artinya doa semoga di dalam jaminan keamanan Allah SWT. Namun setelah kaum Nasrani Spanyol menyerang dan membersihkan kaum muslimin dari Manilla dan kota-kota di Filipina bagian utara, maka kota Manilla menjadi satu-satunya kota Katolik di Asia. Andalusia juga ibu kota Daulah Islam selama hampir 8 abad, tetapi ketika kekuasaannya direbut kaum Nasrani, umat Islam lantas dibantai habis dan diusir dari sana.
Apakah Jakarta akan mengikuti jejak Manilla dan Indonesia mengikuti jejak Andalusia?. Wallahu A’lam. Tentunya tergantung kesadaran umat Islam di Jakarta khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Cegahlah semaksimal mungkin sebelum nasi menjadi bubur.
Nasib Betawi dan Muslim Jakarta
Sosok pemimpin Jakarta haruslah  seseorang yang paham betul tentang situasi penduduk warga Betawi yang mayoritas muslim. Kegiatan agama islam sangat kental dalam kehidupan masyarakat betawi karena sudah menjadi bagian dari tradisi mereka bertahun-tahun lamanya dan itu tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sosial betawi. Sehingga sosok sekuler liberalis–yang belum apa-apa sudah merendahkan agama–sangat tidak pantas dijadikan pemimpin Jakarta, misalnya seperti cawagub Jakarta, Ahok.
Calon pemimpin Jakarta harus bisa merangkul tokoh masyarakat Betawi yang mewakili daerahnya, bisa merangkul tokoh ulama yang bisa mewakili suara masyarakat Jakarta. Karakteristik seperti itu tidak tampak pada sosok seorang Ahok yang belum terpilih saja sudah berkicau tentang kelemahan ayat kitab suci ketimbang ayat konstitusi. Bila calon pemimpin Jakarta tidak punya sensitivitas tentang lingkungan yang akan dipimpinnya, bagaimana ia berharap roda pemerintahannya bisa berjalan baik? oleh karenanya, warga muslim Jakarta tidak boleh terbuai dan menutup mata dengan fakta-fakta ini.
Bukan hanya itu, terkait warga betawi yang notabene adalah mayoritas Muslim, posisinya akan makin tersingkir dari daerah asli mereka. Lama kelamaan nasib warga Betawi bisa menjadi seperti suku Aborigin di Australia dan suku Indian di Amerika, yang menjadi warga kelas dua di wilayah asli mereka sendiri dan kehilangan hak-hak sosial kehidupannya. Suara dari masyarakat Betawi bisa tak terdengar lagi sebagai warga penduduk asli Jakarta. Dalam beberapa tahun terakhir sangat jelas terlihat bahwa Jakarta justru dikuasai oleh warga pendatang. Gejala ini jangan semakin diperparah lagi dengan memilih figur calon pemimpin yang amat jauh karakteristiknya dengan yang dimiliki masyarakat Betawi yang religius dan sangat peduli akan urusan agama. Ciri khas masyarakat Betawi yang agamis jangan sampai terkikis oleh kemoderenan metropolitan.
Masyarakat muslim khususnya di wilayah Jakarta harus lebih bijak dalam menentukan calon pemimpin mereka. Bila salah memilih, pemimpin kita nanti bukan menjadi pendukung malah menjadi batu penggilas bagi seluruh kegiatan umat Islam di Jakarta karena dianggap menghambat proses modernisasi Jakarta. Sudah sewajarnya calon pemimpin Jakarta lebih arif memperhatikan hal-hal yang sensitif dan akan mengundang huru-hara di Jakarta. Jangan sampai ketidak perdulian akan aspirasi masyarakat muslim Jakarta dan warga betawi khususnya, kelak  akan menimbulkan gesekan-gesekan kecil yang membuat masyarakat Betawi harus mengasah golok untuk mempertahankan haknya. [slm/fpi]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar