Galau ? Gelisah ? Bete ? H2C ? Istilah-istilah gaul nan populer yang
telah disebutkan ini merupakan sedikit dari contoh dinamika kehidupan
manusia. Lamaran kerja ditolak sebuah perusahaan, lamaran nikah ditolak
akhwat atau babenye, ujian masuk PTN belum lolos, matakuliah elu
semester ini ada yang nilainya D atau E atau kagak lulus, dan dinamika
jiwa muda yang lainnya yang mungkin tidak akan habis dibahas.
Jika saja kita bercermin kepada sikap orang shalih dari kalangan
salaf maupun khalaf, kemungkinan besar urat malu kita akan
berkerut-kerut (jika urat malu kita masih segar). Sebab sungguh
kedekatan mereka kepada Allah telah membuat mereka bisa menghilangkan
rasa galau, rasa cemas, dan rasa-rasa gak enak yang lain. Bahkan mereka
begitu pedenya ketika leher mereka diprediksi kuat bakalan copot dari
badannya.
Al-Qadhi Abu Ya’la menceritakan kepada kita betapa menakjubkan sikap Dzun Nurain, Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu anhu, ketika dirinya dikepung oleh kaum pemberontak yang nantinya tercatat memukul beliau dengan pedang hingga mati berdarah-darah.
“Wahai Utsman, mereka mengepungmu? Maka aku menjawab: “Ya” Beliau
berkata :”Mereka membuatmu kehausan? Maka aku menjawab : “Ya” Lalu
beliau mengulurkan ember yang berisi air, kemudian aku minum sampai
hilang dahagaku. Sampai-sampai aku merasakan sejuknya air di sela-sela
dada dan dua pundakku.
Rasulullah berkata padaku : “Apabila engkau memerangi mereka maka
engkau akan menang. Apabila engkau membiarkan mereka maka engkau akan
berbuka di tempat kami”.
Maka Utsman, berserah diri kepada takdir Allah karena mengharapkan
janji Allah dan rindu terhadap Rasulullah. Dia ingin menjadi anak Adam
yang paling baik. Utsman berkata (kepada para shahabat) : “Aku
bersumpah, bagi semua orang yang merasa wajib taat kepadaku tahanlah
diri-diri kalian dan pulanglah ke rumah masing-masing”.
Kemudian tercatat dalam pengepungan tersebut, orang-orang zalim
tersebut mengeroyok Utsman bin Affan, memukul keningnya dengan tombak,
mencekik lehernya kuat-kuat, menusuk Utsman dengan pedang hingga tembus
ke punggung, dan akhirnya datuk para salaf yang berusia lansia ini
menemui ajalnya menuju ke surga yang telah dijaminkan padanya.
Lihatlah kawan, dalam keadaan chaoz, kacau balau, pria tua
yang banyak sujudnya ini malah berkata-kata seperti ini : “Aku
bersumpah, bagi semua orang yang merasa wajib taat kepadaku tahanlah
diri-diri kalian dan pulanglah ke rumah masing-masing”. Atau berkata
pada budak-budaknya yang ingin membela beliau : “Barangsiapa yang
menyarungkan pedangnya, maka dia merdeka”. Utsman meminta mushaf dan
dibentangkan di hadapannya, lalu beliau shalat dua rakaat dan duduk
membaca Al Qur’an.
Sikap-sikap Utsman yang elegan ini masih ditemukan dalam kondisi
kontemporer. Pada zaman perjuangan Ikhwanul Muslimin dahulu, banyak kita
dapatkan kisah-kisah serupa.
Basyir Al-Ibrahim mengatakan : ”Pernah suatu ketika, aku berada di
dekat raja Faruq (raja mesir waktu itu). Aku mendengar mereka tengah
berbisik-bisik tentang rencana pembunuhan Hasan Al-Banna. Maka aku
segera pergi menemui Hasan Al-Banna dan kukatakan kepadanya : ”Dan
datanglah seorang laki-laki dari ujung kota bergegas-gegas seraya
berkata: ”Hai Musa, sesungguhnya pembesar negeri sedang berunding
tentang kamu untuk membunuhmu, sebab itu keluarlah (dari kota ini)
sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasehat kepadamu.”
(QS. Al-Qashash : 20)
Maka dia menjawab : ”Apakah engkau
berfikir begitu (dia ulang tiga kali), ketahuilah :”Sesungguhnya Allah
melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah
mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq : 3)
Sesungguhnya kalau kematian sudah menjadi ketentuan Allah, maka
kewaspadaan itu tidak akan dapat menyelamatkan.”
Atau kisah yang dituturkan oleh Hamidah Quthb ketika Sayyid Quthb rahimahullah hampir menemui kesyahidannya (kamaa nahsabuhuu).
Sayyid Quthb memberikan statemen :” Atas kesalahan apa aku harus minta
maaf wahai Hamidah, apakah karena aku beramal di pihak Rabbul ’Izzati ?
Demi Allah, sekiranya aku bekerja untuk pihak lain selain Allah tentu
aku akan minta maaf. Akan tetapi sekali-kali aku tidak akan minta maaf
karena beramal di pihak Allah. Tenanglah wahai Hamidah, sekiranya umur
belum waktunya habis maka hukuman mati itu tidak akan jadi dilaksanakan.
Tidak berguna sama sekali maaf itu untuk mempercepat ajal atau
mengakhirkannya.”
Juga perkataan Asy-Syahiid (kamaa nahsabuhuu) Amrozi ketika
ditanyai oleh seorang reporter TV di tahun 2008, tentang bagaimana cara
paling baik eksekusi hukuman mati untuk mereka. “Ya terserah dia, atau
barangkali nanti malah saya yang ngeksekusi. Sekarang siapa yang tahu ?
Hayoo ? Sekarang siapa yang bisa menjamin mereka lebih panjang umurnya
?” ujarnya dengan mimik dan nada yang penuh semangat, serta dengan logat
jawa timuran yang kental.
Semoga kisah-kisah diatas dapat membangkitkan kembali urat semangat
elo-elo semua. Jangan pada menyerah, ini bukan saatnya untuk nglentruk,
nyerah, karena galau-galau serta bete-bete. Sebaiknya energi negatif
semacam kegelisahan dan kesedihan disalurkan dalam bentuk yang positif.
(Sebuah tulisan pendorong diri pada khususnya dan pada elo semua pada umumnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar