NAMA lengkapnya adalah Ibrahim
bin Adham bin Manshur al ‘Ijli. Ada yang mengatakan at Tamimy. Dia juga
dikenal dengan Abu Ishaq al Balkhi. Dia termasuk ulama generasi salaf
yang zuhud dan wara'.
Mungkin tidak ada yang banyak
mengenal bahwa beliau adalah seorang pangeran dari Balakh. Seorang
pangeran kaya raya dengan istananya yang megah gemilang. Kemegahannya
saat itu belum ada yang menandinginya.
Meskipun hidup bergelimang harta
dan kekuasaan tidak membuat hati beliau lalai. Bahkan beliau terkenal
sebagai orang yang taat beribadah dan sangat penyantun terhadap sesama
terlebih kepada orang-orang miskin di negerinya. Setiap Jum’at
dikumpulkan para fakir miskin di depan istananya dan ditaburkannya uang
dirham ke halaman istana. Ia juga gemar memberi hadiah bagi orang-orang
yang dianggap berjasa serta memberi zakat dan shadaqah jariyah pada
hari-hari tertentu.
Namun gemerlapnya dunia tidak
dapat membuatnya bahagia dan tidak mampu menghadirkan ketenangan jiwa.
Bahkan membuatnya hatinya dirundung gundah gulana. Hingga pada suatu
malam, saat penghuni istana sedang tidur terlelap, dia meninggalkan
istana dengan menyamar sebagai seorang papa. Baginya, kehidupan yang
fana ini semakin diteguk semakin merasa haus. Akhirnya sang pangeran
meninggalkan semuanya.
Pada suatu hari, Ibrahim
bin Adham didatangi seorang lelaki yang gemar melakukan maksiat. Lelaki
tersebut bernama Jahdar bin Rabiah. Ia meminta nasehat kepada dirinya
agar ia dapat menghentikan perbuatan maksiatnya. Ia berkata, “Ya Aba
Ishak, aku ini seorang yang suka melakukan perbuatan maksiat. Tolong
berikan aku cara yang ampuh untuk menghentikannya.”
Setelah merenung sejenak,
Ibrahim berkata, “Jika kamu mampu melaksanakan lima syarat yang
kuajukan, maka aku tidak keberatan kau berbuat dosa.”
Mendengar jawaban laki-laki
tersebut gembira dan dengan penuh rasa ingin tahu yang besar dia
bertanya, “Apa saja syarat-syarat itu, ya Aba Ishak?”
“Syarat pertama, jika kau melaksanakan perbuatan maksiat, janganlah kau memakan rizki Allah”, ujarnya.
Lelaki itu mengernyitkan dahinya
lalu berkata, “lalu aku makan dari mana? Bukankah segala sesuatu yang
berada di bumi ini adalah rizki Allah?”
“Benar”, jawab ibrahim tegas.
“Bila kau telah mengetahuinya, masih pantaskah kau memakan rizki-Nya
sementara kau terus melakukan maksiat dan melanggar
perintah-perintah-Nya?”
“Baiklah…”, jawab lelaki itu tampak menyerah, “Kemudian apa syarat yang kedua?”
“Kalau kau bermaksiat kepada Allah, janganlah kau tinggal di bumi-Nya”, kata Ibrahim lebih tegas lagi.
Syarat kedua ini membuat jahdar
lebih kaget lagi. “Apa? Syarat ini lebih hebat lagi. Lalu aku harus
tinggal di mana? Bukankah bumi dengan segala isinya ini milik Allah?”
“Benar. Karena itu pikirkahlah
baik-baik. Apakah kau masih pantas memakan rizki-Nya dan tinggal di
bumi-Nya sementara kau terus berbuat maksiat?”, tanya Ibrahim.
“Kau benar Aba Ishak”, ucap Jahdar kemudian. “Lalu apa syarat yang ketiga?”, tanyanya dengan penasaran.
“Kalau kau masih juga
bermaksiat kepada Allah, tetapi masih ingin memakan rizki-Nya dan
tinggal di bumi-Nya, maka carilah tempat yang terembunyi agar tidak
terlihat oleh-Nya.”
Syarat ini membuat lelaki itu terkesima. “Ya Aba Ishak, nasehat macam apakah semua ini? Mana mungin Allah tidak melihat kita?”
“Bagus! Kalau kau yakin Allah
melihat kita, tetapi kau masih terus memakan rizkNya, tinggal di
buminya, dan terus melakukan maksiat kepada-Nya. Pantaskah kau melakukan
semua itu?”, tanya Ibrahim kepada lelaki yang masih tampak membisu itu.
Semua ucapan itu membuat Jahdar bin Rabiah tidak berkutik dan
membenarkannya.
“Baiklah, ya Aba Ishak, lalu katakan sekarang apa syarat yang keempat?”
“Jika malaikatul maut hendak
mencabut nyawamu, katakanlah kepadanya bahwa engkau belum mau mati
sebelum bertobat dan melakukan amal shaleh.”
Jahdar termenung. Tampaknya ia
mulai menyadari semua perbuatan yang dilakukan selama ini. Ia kemudian
berkata, “Tidak mungkin…. Tidak mugnkin semua itu kulakukan”.
“Ya Abdallah (hamba Allah), bila
kau tidak sanggup mengundurkan hari kematianmu, lalu dengan cara apa
kau dapat menghindari dari murka Allah?”
“Baiklah, apa syarat yang kelima?”
Ibrahim bin Adham untuk kesekian kalinya memberi nasehat kepada lelaki itu.
“Wahai Abdullah, bila
malaikat Zabaniyah datang hendak menggiringmu ke neraka di hari kiamat
nanti, janganlah kau ikut dengannya dan menjauhlah!”
Perkataan
tersebut membuat lelaki itu insaf. Dia berkata, “Wahai Aba Ishak, sudah
pasti malaikat itu tidak membiarkan aku menolak kehendaknya.”
Lelaki yang ada di hadapan Ibrahim bin Adham itu menangis penuh penyesalan. Dengan wajah penuh sesal, ia berkata.
“Cukup…cukup ya Aba Ishak!
Jangan kau teruskan lagi. Aku tidak sanggup lagi mendengarnya. Aku
berjanji, mulai saat ini aku akan beristighfar dan bertaubat kepada
Allah”, lirihnya sambil terisak-isak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar