Bro en Sis rahimakumullah, sebenarnya kasus tawuran antar pelajar
bukan hal baru. Udah terlalu sering terjadi—bahkan sejak puluhan tahun
lalu. Sangat mungkin di berbagai kota ada pelajar yang mengamalkan
tradisi kekerasan ini. Namun, kenapa sekarang rame dibahas hingga
menjadi perbincangan di media nasional? Hmm.. itu karena terjadi di
ibukota, Bro. Kasus terbaru adalah kejadian pekan kemarin dimana
melibatkan dua sekolah di Jakarta, yakni SMA 6 dan SMA 70 yang memakan
korban tewas 2 orang siswa. Hadeeuuhh.. sia-sia tuh!
Kalo melihat dari sudut pandang pelajar, tawuran bisa jadi adalah
sebagai sarana mengekspresikan diri. Seolah mereka mau bilang: gue
jagoan! *tapi apa iya disebut jagoan kalo bisanya main keroyokan? Lagian
kalo dilihat di tivi pas nayangin aksi tawuran rata-rata mereka
sebenarnya nggak punya ilmu bela diri. Cuma menggertak doang, itu pun
kalo musuhnya takut. Lha kalo musuhnya berani? Bisa-bisa babak belur
dirinya. Hehehe.. contohnya pelajar yang muterin gear yang dipasang ke
ikat pinggang. Kok dari kejauhan udah begitu rupa, urusan bisa selesai
ketika dia dilempar batu ama musuhnya atau dilembar tombak (kalo niat
banget bawa senjata begituan).
Nah, jika pun jarak dekat udah muter-muterin gear tersebut, ternyata
musuhnya juga melakukan hal yang sama. Ini jelas nggak punya strategi
berkelahi. Sama-sama bloon. Padahal salah satuya kan bisa pake tongkat
panjang, begitu pelajar yang muter-muterin gear mendekat tinggal
dihadang tongkat aja entar juga gear-nya kelilit di tongkat. Udah gitu
pentungin dah. *Uppss.. kok gue jadi ngajarin strateginya sih? Hehehe…
sori bukan ngajarin tapi sekadar nyindir aja bahwa mereka yang tawuran
sebenarnya penakut, pengecut dan nggak punya keahlian bertarung. Jleb!
Bro en Sis pembaca setia gaulislam, dalam tulisan di buletin ini saya
ingin mengajak kamu semua berpikir bahwa tawuran tuh nggak ada gunanya
kecuali untuk tujuan-tujuan semu. Kalo sekadar eksistensi diri, ngapain
capek-capek tawuran. Kamu bisa buktiin bahwa kamu pelajar berprestasi di
bidang akademik, atau prestasi yang bermanfaat lainnya bagi kamu dan
orang-orang di sekitarmu. Lha kalo tawuran? Jangankan orang di sekitar
tempat tawuran yang terganggu, kamu dan teman yang kamu ajak tawuran pun
berpotensi terluka dan babak belur. Iya nggak sih? Jadi apa yang kalian
cari? Catet ya, jangan sampe kejadian ini terus berulang dan bikin
repot semua orang.
Lingkaran kekerasan
Kita secara tidak sadar–kadang malah penuh dengan kesadaran, udah
terbiasa menyaksikan kekerasan. Misalnya aja demonstrasi yang nggak
tertib lalu berakhir ricuh. Ketika ditayangkan di televisi ya banyak
orang jadi tahu. Sangat mungkin terbersit keinginan untuk menjajal
kekerasan meski di arena berbeda. Selain itu, seringkali televisi
menayangkan secara bernafsu untuk penindakan terhadap pelaku yang
disebut-sebut sebagai terorisme. Celakanya, ketika ditayangkan secara
live baku tembak antara Densus 88 dengan terduga teroris melahirkan
selain rasa ingin tahu juga menumbuhkan dendam dari mereka yang
tertindas. Kekerasan yang emang sengaja terus dipelihara dan bahkan
diciptakan plus tentunya tanpa disadari malah diajarkan.
Sobat gaulislam, tradisi bullying di acara ospek atau MOS juga
sebenarnya bagian dari level kekerasan. Wajar kalo anak baru itu bakalan
dendam sama kakak kelasnya. Eh, tapi biasanya nggak pada berani kalo di
sekolah, maka mereka melampiaskannya ke adik kelasnya lagi. Idih malu
dong, masa’ yang menindas kakak kelasnya kok kalian malah melampiaskan
ke adik kelas yang nggak tahu apa-apa atas dosa kakak kelas kepada
kalian. Ah, aneh yang punya bapak ajaib alias aneh bin ajaib. Kalo itu
terus dipelihara berarti kamu nggak mau memutus rantai kekerasan yang
terjadi selama ini. Bahaya, Bro en Sis!
BTW, kalo kita lihat saat ini sebenarnya yang tawuran bukan cuma
pelajar SMP dan SMA lho, yang mahasiswa juga sering, bahkan tawuran
antar warga di daerah tertentu juga udah jadi pemandangan biasa–udah
jadi tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasi. Bikin kelompok
atau gang juga sebenarnya bisa berpotensi lahirnya kekerasan. Sebab,
nggak sedikit dari mereka yang fanatik terhadap gang yang mereka ikuti.
Maka, ketika ada gang lain yang bersaing atau menjadi kompetitornya
sudah pasti di antara anggota gang (tentu juga pemimpinnya) bakalan
gerah, gatel, dan panas pengen nimpukin gang lain. Maka, pemicu sekecil
apapun bisa melahirkan kekerasan. Ini juga bahaya dan bagian dari
lingkaran kekerasan yang tak pernah ada ujungnya.
Bukan lagi nakal, tapi kriminal
Bro en Sis rahimakumullah, tawuran hanya satu level dari lingkaran
kekerasan yang selama ini hadir dalam kehidupan kita. Itu artinya, jika
ngikutin fakta, kita harusnya nggak kaget lagi. Sebab, udah ‘diajarin’
dalam sebagian tayangan televisi, video game, film, dan media
sejenisnya. Namun demikian, kita perlu nyadar Bro en Sis. Sayang banget
kalo hidup kita cuma dipake buat nikmatin udara (yang seringnya nggak
bersyukur tuh!), tidur, main, makan, buang air besar, buang air kecil,
berantem. Dominannya itu. Sementara untuk belajar di sekolah dan
mengkaji Islam daftar itu kamu urutkan di nomor enam belas kali ye.
Hadeuuh.. gimana akan lahir generasi pembela dan pejuang Islam kalo gini
caranya? Miris kalo akhirnya yang lahir adalah generasi pecinta
kekerasan dan brutal. Naudzubillah min dzalik!
Hmm… ngomongin soal tawuran saya jadi teringat buku lawas yang pernah saya tulis (tahun 2002), yakni Jangan Jadi Bebek. Bener lho, tawuran pelajar yang terjadi hingga saat ini, ibarat sebuah film action berseri.
Kejadiannya berulang-ulang. Selesai satu episode, berlanjut episode
berikutnya. Kesal dan jengkel memang. Tapi itulah barang kali
‘benih-benih generasi preman’
Melihat korbannya, orang yang masih sehat akalnya pasti setuju kalau tawuran bukanlah deliquency (kenakalan),
tapi tindak kriminal. Bagaimana tidak? Celurit, badik, gear, obeng,
batu bahkan samurai telah jadi senjata pamungkas dalam menyelesaikan
persoalan. Menggantikan kepalan tangan dalam berkelahi atau tendangan
khas berantemnya pelajar jaman baheula. Ah, ganas banget!
Kemudian yang bisa menggiring kita kepada kesimpulan bahwa tawuran
bukan lagi kenakalan, adalah unsur perencanaan dalam setiap kejadian.
Para aktivis tawuran tidak lagi mengadakannya secara spontan, melainkan
melalui perencanaan yang matang. Mencegat bus-bus lalu menganiaya korban
beramai-ramai, atau menyerang sekolah lawan dengan serangan cepat.
Yang lebih memprihatinkan, banyak pelajar yang sengaja ngedrugs
sebelum beraksi, dengan maksud menambah keberanian dan kekuatan saat
tawuran. Akibatnya, arena tawuran menjadi kian ganas tak terkendali.
Karena siapa yang masih punya pikiran sehat kalau akal sudah dicengkeram
pengaruh obat.
Sobat muda muslim, seperti yang sering kamu baca, lihat atau dengar
aksi tawuran tidak pandang bulu. Terlibat atau tidak, asalkan dari
sekolah yang sama maka harus dilibas. Maka acapkali tawuran menelan
korban pelajar-pelajar yang ‘tak berdosa’. Sehingga berlakulah prinsip
jaman wild wild west dulu, kill or be killed, membunuh atau dibunuh. Wasyah!
Solusi komplit
Bro en Sis, mengakhiri tulisan di buletin ini, saya kutipkan bagian akhir dari artikel seputar tawuran di buku saya Jangan Jadi Bebek (2002), semoga ada manfaatnya:
Yup, jelas tawuran itu harus diakhiri, diberi solusi. Jangan
dibiarkan saja. Untuk menghentikan aksi tawuran jelas butuh penanganan
yang lebih komplit. Tidak bisa sekadar menghentikan film-film action di tivi atau bioskop, suer
butuh lebih dari itu. Sebut saja, remaja memerlukan institusi
pendidikan yang memadai. Lengkap fasilitas juga kurikulum yang lebih
‘manusiawi’. Tidak menganggap pelajar sebagai komputer yang tinggal
diisi program lalu bisa beroperasi sendiri. No, pelajar adalah manusia, perlu sentuhan agama dan kasih sayang.
Selain itu Bro en Sis, sekadar menindak pelaku tawuran juga tidak
akan berhenti tanpa adanya tindakan tegas dari negara. Sudah terlihat
jelas bahwa tawuran itu adalah tindak kejahatan, bukan lagi kenakalan.
Apakah merusak sarana umum, melukai orang apalagi membunuhnya adalah
suatu kenakalan? Rasa-rasanya semua orang sepakat kalau itu adalah suatu
kejahatan. Lagipula secara fisik remaja sudah termasuk ke dalam
kategori akil baligh, yang dalam pengertian syari’at sudah terkena
ganjaran pahala dan dosa. Jadi, perlakukan saja para pelaku tawuran itu
seperti para penjahat kambuhan lainnya.
Nah, kalau ada pelajar yang tega membacok kepala atau menggorok leher
pelajar lain hingga tewas dalam tawuran, maka dalam pandangan Islam
pelajar tersebut layak dikenakan qishas (hukuman setimpal, kalo membunuh ya dibunuh lagi).
Kejamkah ini? Sepintas iya, tapi dengan memberikan sanksi semisal qishas
maka akan segera memadamkan api kemarahan dan dendam. Keluarga korban
dan teman-temannya merasa lega, sementara orang lain tidak akan berani
mengulangi perbuatan serupa. Sebab, hukum Islam itu bersifat jawazir dan jawabir.
Jawazir artinya hukum Islam bersifat preventif, mencegah terjadinya
peluang-peluang kemaksiatan dan kejahatan. Kemudian hukum Islam juga
bersifat jawabir. Artinya, hukum Islam—kalau diterapkan di dunia—bakal
menghapus azab Allah di akhirat kelak.
Jadi meski berat vonis hukuman yang dijatuh kan, Insya Allah pelaku
tindak kejahatan akan terlepas dari azab Allah di akhirat kelak, yang
jauh lebih dahsyat. Adil kan?
Tapi seperti kata pepatah bahwa mencegah lebih baik daripada
mengobati. Daripada menangkapi para pelajar dan mengganjar mereka dengan
vonis yang berat, seperti qishas, tentunya akan jauh lebih baik bila
segera dilakukan perbaikan terhadap dunia pendidikan dan lingkungan
sosial. Dengan apa? Apalagi kalau bukan dengan syariat Islam. Jadi, ayo
pada ngaji! Jangan berpaling dari aktivitas rohis (kerohanian Islam) di
sekolah ya!
Itu sebabnya, baik pihak sekolah, pemerintah dan masyarakat sekitar,
juga tentunya keluarga harus mendukung remaja untuk belajar Islam.
Jangan dihalangi untuk aktif di rohis. Ok?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar