Tak ada yang diingat oleh
orang Aceh pada sosok Gus Dur, kecuali pernyataannya yang menyakiti
perasaan umat Islam Aceh. Publik Aceh tentu belum lupa dengan pernyataan
Gus Dur yang menyebut dirinya sebagai ‘nabi’ orang Aceh, Sehingga
dirinya sangat memahami tuntutan orang Aceh. Sontak, pernyataan itu
membuatnya dikecam. Dalam suatu pertemuan di tahun 1999 di Kampus
Darussalam, Gus Dur pernah diusir dalam sebuah forum.
Bagi Aceh, Gus Dur di samping dianggap sebagai sosok yang meresahkan juga sebagai peletak dasar fondasi perdamaian. Banyak hal yang patut dicatat dari tokoh yang penuh kontroversi ini, terutama jika dikaitkan dengan Aceh. Meresahkan, karena dalam sejumlah pernyataannya, Gur Dur selalu menyinggung perasaan orang Aceh.
Selain itu, tuntutan referendum
yang disuarakan rakyat Aceh dianggap angin lalu saja. Bahkan, dalam
salah satu pernyataannya, Gus Dur mengklaim yang menuntut referendum
hanya ratusan orang saja, padahal saat Sidang Umum Masyarakat Pejuang
Referendum (SUMPR), jutaan rakyat Aceh tumpah ruah ke Banda Aceh.
Tetapi, terlepas dari itu, Gus
Dur juga peletak dasar perdamaian. Pada pemerintahan Gus Durlah,
pembicaraan damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Indonesia
menjadi terbuka. Padahal, sebelumnya, pembicaraan dengan GAM sesuatu
yang tabu, sehingga peluang perdamaian seperti ditutup rapat, apalagi
jika sampai mengakomodasi tuntutan kemerdekaan.
Saat sejumlah tokoh nasional
mengecam pendekatannya untuk Aceh, Gus Dur tetap memilih menempuh
cara-cara penyelesaian yang lebih simpatik: mengajak tokoh GAM duduk
satu meja untuk membahas penyelesaian Aceh secara damai. Bahkan, secara
rahasia, Gus Dur mengirim Bondan Gunawan, Pjs Menteri Sekretaris Negara,
menemui Panglima GAM Abdullah Syafii di pedalaman Pidie. Di masa Gus
Dur pula, untuk pertama kalinya tercipta Jeda Kemanusiaan.
Siapapun tahu, kalau Gus Dur
sosok humoris. Salah satu humornya yang paling diingat adalah humor
tentang presiden. Coba simak petikan humornya yang konon terjadi kala
bertemu dengan Fidel Castro. Saat itu Castro menyatakan kekagumannya
pada Indonesia dan menyatakannya sebagai bangsa yang besar.
Gus Dur seperti biasanya menanggapi pujian Castro dengan humornya, berikut:
“Ya iyalah. Itu kan karena
presiden Indonesia pada gila semua. Soekarno, presiden gila wanita.
Soeharto, presiden gila harta. Habibie, presiden yang benar-benar gila
ilmu dan teknologi. Nah, saya sendiri presiden yang benar-benar gila
yang dipilih oleh orang-orang gila.”
Begitulah adanya Gus Dur. Selalu
punya cara dan kesempatan untuk membuat orang banyak tertawa untuk
kemudian memetik “pembelajaran” dari humornya.
Jasa Gus Dur bagi Aceh
Jasa
Gus Dur terhadap Aceh juga tak sedikit. Saat pemerintahannya, bahkan
Aceh hampir mendapatkan kemerdekaan. Saat itu, pasca SU MPR Aceh, 8
November 1999, saat seluruh Aceh mabuk dalam euphoria referendum,
Presiden Gus Dur yang sedang melawat ke Pnom Phen, Kamboja, merespon
tuntutan rakyat Aceh dengan mengatakan;
“Kalau boleh ada referendum di Timor-Timur kenapa di Aceh tidak boleh? Itu tidak adil namanya.”
Bentuk keseriusannya untuk
menyelesaikan Aceh, Gus Dur menjanjikan pelaksanaan referendum di Aceh
akan digelar tujuh bulan lagi, pasca protes massal rakyat Aceh yang
menuntut referendum dengan opsi merdeka. Meski, banyak publik di Aceh
menyakini hal itu hanya trik Gus Dur mengulur-ulur waktu untuk meredam
kemarahan orang Aceh.
Sebagai tokoh yang melampaui
zamannya, Gus Dur cukup paham dengan bentuk kemarahan yang ditunjukkan
oleh orang Aceh. Menurutnya, tuntutan rakyat Aceh, meskipun cukup
serius, harus ditanggapi, meski harus berbohong sekalipun.
Saat itu, sikap Gus Dur
terpecah. Di satu sisi, dia sebagai seorang demokrat sejati, yang
percaya bahwa aspirasi rakyat merupakan suatu yang harus didengarkan.
Namun, di pundaknya pula nasib Indonesia yang baru terlepas dari
diktatorian, harus dipertahankan dari perpecahan. Banyak pihak yang
mewanti-wanti agar Gus Dur tidak mengikuti jejak Presiden BJ Habibie
yang memerdekakan Timor-Timur.
Dalam suatu wawancara dengan Radio Netherland, Gus Dur berujar, “Sebagai
seorang Demokrat saya tidak bisa menghalangi keinginan rakyat Aceh
untuk menentukan nasib sendiri. Tetapi sebagai seorang republik, saya
diwajibkan untuk menjaga keutuhan Negara kesatuan Republik Indonesia.”
Dan Gus Dur tak bisa mengelak.
Meski Aceh tak dibiarkan merdeka, tetapi dia sudah memprakarsai
penyelesaian Aceh di meja perundingan, dengan menghentikan pertumpahan
darah dengan lahirnya Jeda Kemanusiaan. Hingga dilengserkan dari kursi
presiden, Gus Dur belum membiarkan rakyat Aceh menentukan nasib sendiri,
seperti janjinya. Kini, Gus Dur telah tiada. Sosoknya yang
kontroversial pergi bersama tugas-tugas yang belum selesai, termasuk
mungkin menulis pengantar untuk buku “Ilusi Negara Islam”. Selamat jalan, Gus!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar