VOA-ISLAM.COM -
Abdul Aziz atau lebih dikenal dengan nama Imam Samudra, adalah nama
yang begitu dikenal, baik di kalangan para aktivis Islam atau mujahidin
maupun di kalangan musuh dan thawaghit.
Ia
menjadi salah satu konseptor jihad, amaliah istisyhadiyah bom Bali I
pada 12 Oktober 2012. Sebenarnya sepak terjangnya dalam dunia jihad tak
sebatas pada aksi tersebut, ada sejumlah ladang jihad yang pernah ia
tapaki baik di dalam maupun luar negeri.
Ia telah
mengarungi ‘samudra’ perjuangan yang akhirnya menghantarkan dirinya
meraih prestasi tertinggi yakni gugur menjadi syuhada (insya Allah) di
hadapan regu tembak pada 08 November 2008 tengah malam di Nusakambangan.
Sebelum
syahid, ia sempat menulis beberapa buah buku diantaranya berjudul; “Aku
Melawan Teroris” buku fenomenal yang berisi argumen/hujjah berdasarkan
syariah dilaksanakan amaliah bom Bali I. Pada halaman awal dalam buku
tersebut memuat biografi Imam Samudra yang ditulis dengan cukup menarik.
Ia mengisahkan masa kecilnya, pertemuannya dengan sang istri serta
nostalgia di medan jihad. Berikut ini kami kutipan selengkapnya biografi
Imam Samudra.
Biografi Setengah Hati
Menulis
biografi adalah pekerjaan yang sangat aku tidak suka. Ketika SD aku
paling tidak suka mengisi buku diary yang biasanya meminta semacam
biodata, kata mutiara, dan sejenisnya. Apalagi setelah aku dewasa.
Apalagi setelah aku mengerti arti sebuah perjuangan menegakkan kalimah
Allah yang menuntut betapa pentingnya menjaga sebuah rahasia. Maka
bografi adalah salah satu perkara yang sangat aku hindari.
Jika
kini aku menulis biografi, itu karena drakula bin monster Amerika dan
sekutunya terlanjur mengetahui nama kecil dan sebagian masa laluku.
Meski demikian, dalam penulisan biografi setengah hati ini, akan tetap
kuhindari hal-hal yang kukhawatirkan akan membatalkan pahala di sisi
Allah kelak –naudzu billahi mindzalik.
Karena
menyebut-nyebut kebaikan sendiri di hadapan manusia hanya akan
membatalkan pahala. Memang, segala amal itu tergantung pada niat. Tetapi
sungguh, menjaga niat itu bukanlah perkara yang mudah. La hawla wala
quwwata illa billah.
Seandainya
tidak kuingat ayat di atas, dan demi kepentingan pertanggungjawaban
seluruh tulisan dalam buku ini, niscaya tak akan kutuliskan biografi
setengah hati ini. Siapapun yang ditakdirkan Allah membaca biografi ini,
ia tidak akanmendapati apa-apa selain ketidakpuasan atau malah
kebosanan. Wallahu a’lam.
Kepada
mereka yang sempat bertemu denganku dan mengetahui aib dan atau
dosa-dosaku, kukatakan, “Sesungguhnya mereka hanya mengetahui setitik
aib dan secuil lautan dosa-dosa yang telah kuperuat. Dan hanya aku dan
Allah yang tahu. Semoga Allah Yang Maha Mengampuni menghapuskan segala
dosa-dosaku, yang disengaja ataupun tidak, yang nampak dan yang tak
nampak.” Amien.
“Wahai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang lelaki dan
seorang wanita, dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
agar kalian saling mengenal.” (Al Hujurat:13).
Childhood
Dengan
takdir Allah, di sebuah kota kecil ibukota kabupaten Serang, Kecamatan
Serang (sekarang provinsi Banten), desa Lopang Gede, Kampung Lopang RT
O4/ RW 01, jalan Sema’un Bakri 201, pada 14 Januari 1970/1971 aku
dilahirkan. Akhmad Syihabuddin bin Nakha’i itu nama ayahku. Sedangkan
ibuku bernama Embay Badriyah binti Sam’un.
Kedua
orangtuaku –Allahummaghfirlie wa-liwalidayya war-hamhuma kama rabbayanie
shaghira– memberiku nama Abdul Aziz. Alhamdulillah, nama yang bagus.
Artinya, hamba Allah Yang Mulia. Kalau tidak salah, nama itu sama dengan
nama Raja Saudi Arabia waktu itu: Abdul Aziz bin Faishal.
Kedua
orangtuaku asli Banten. Dari garis ayah, kakekku (M. Nakha’i) adalah
seorang juragan besar pada zamannya. Beliau seorang yang ta’at
beribadah. Ia selalu mengenakan topi haji, atau peci hitam. Pertama kali
beliau mengajakku ke masjid ketika umurku empat tahun. Itu kuketahui,
karena ketika dalam perjalanan menuju masjid, kakek yang mengenakan jas
dan sarung berikat pinggang serta terompah kulit dan membawa tongkat
seperti Bung Karno itu, ditanya oleh beberapa orang yang berpapasan,
“Berapa umur cucunya ini?” lalu kudengar beliau menjawab, “Empat tahun.”
Terakhir
kali aku hidup bersama kakek pada sekitar kelas dua SD sepulang
sekolah. Waktu itu aku mengenakan T-Shirt Argentina 78. Ayah, ibuku, dan
sanak keluarga lainnya pergi ke rumah sakit Serang dengan mengendarai
mobil colt bertulis NASIA (Nakha’i dan Asiah), nama perusahaan milik
Kakek. Aku ingat persis nenekku (Asiah) dan seluruh perempuan termasuk
Ibu dan Bibi serta Uwak menangis begitu tahu Kakek meninggal dunia.
Allah Yarham. Inna lillahi wa-inna ilayhi Raji'un.
Alhamdulillah,
dengan segala kekurangannya, beliau ketika itu sebagai sosok tukang
ngaji dan tukang adzan. Masa itu uwak Safiyuddin, Imam masjid Ust.
Suruji, Kyai Mahmud, Ust. Turmudzi, Ust. Asrul, masih terbilang saudara
dari garis nenek dan kakek. Sehingga aku tidak terlalu sungkan untuk
datang sendiri ke masjid setelah kakek meninggal, sekalipun tidak rutin
lima waktu.
Cicit ke-3 dari seorang Ulama’ Mujahid Fi Sabilillah
Dari
garis ibu, Alhamdulillah, aku masih kecipratan turunan darah mujahid,
sekaligus Ulama'. Ulama' sekaligus mujahid. Yang kumaksud adalah Ki
(Kyai) Wasyid, salah seorang tokoh perlawanan masyarakat muslim Banten
melawan penjajah Belanda yang beragama Kristen.
Pada
Senin, 9Juli 1888, terjadi peristiwa bersejarah yang amat terkenal di
Banten. Masyarakat setempat menyebutnya peristiwa “Geger Cilegon”. Jihad
fi sablillah melawan penjajah ini dipimpin langsung oleh Ki Wasyid.
Dalam beberapa masa kemudian, beliau ditangkap Belanda karena adanya
pengkhianatan dari kalangan dalam sendiri. Sejarah lengkapnya aku kurang
begitu menguasai. Tetapi yang jelas, jika dirunut, ternyata aku
termasuk dalam urutan cicit ke-3 dari Ki Wasyid –rahimahullah.
Alonumen
jihad beliau diabadikan berupa patung lelaki berjubah lengkap dengan
senjatanya, di tengah kota Serang, ibukota provinsi Banten sekarang.
Sejarahwan barangkali menyebutnya sebagai "Pahlawan Nasional", tetapi
aku menyebutnya sebagai Ulama Mujahid Fi Sabilillah. Semoga Allah
menerima amal shaleh beliau •
SD vs Ibtida’iyyah
Sebelum
sekolah, aku agak susah membedakan antara amco dan maco. Kebiasaan
nonton tv 14” hitam putih di rumah kakek bersama kakak sepupu,
membantuku dapat membaca sebelum sekolah. Tetapi yang paling kuat
pengaruhnya ialah karena aku sering duduk di sebelah kakek yang acap
kali membawa tumpukan surat bertuliskan “Toko Setudju”, “Bon Kontan”
–yang agak unik bentuknya ialah kertas mirip uang bertuliskan “Saham
Obligasi”. Dan yang sampai kini aku belum mengerti cara menggunakannya
ialah benda terdiri dari ‘roda-roda’ kecil terbuat dari kayu keras yang
disebut ijiran cina. Alat ini biasa dipakai kakek untuk menghitung.
Kadang-kadang beliau gunakan juga untuk menggelitik badanku yang agak
kurus. Dia akan terbahak saat aku kegelian.
1978.
Menjelang Zhuhur, aku sempat bertanya, “Gimana, bah, sekolah saya, jadi
nggak?” Aku benar-benar kecewa saat kudengar, “Pak Matori bilang, kamu
belum cukup umur.” Lalu aku ngotot kalau aku sudah bisa baca. Aku
benar-benar merengek ingin sekolah. Akhirnya, beberapa hari kemudian,
ayah membawaku ke sebuah sekolah yang waktu itu disebut SD IX. Di sana,
aku dipertemukan dengan seorang yang kemudian kukenal sebagai Pak
Matori, Kepala Sekolah SD tersebut.
Setelah
ditanya, aku diminta melingkarkan tangan kananku di atas kepala dan
menyentuh telinga kiri. Kemudian beliau menunjuk kursi kayu coklat
bertuliskan SD IX warna putih. Ketika disuruh membaca, dengan cepat aku
menyebut, Es De -iX (iks)!”. Kontan beliau tergelak begitu juga ayahku.
Dua hari setelah itu, Senin, aku resmi jadi murid kelas I SDN 9 Serang.
Pada
tahun yang sama, aku telah duduk di kelas dua Madrasah Ibtida’iyyah Al
Khairiyyah Serang. Sekolah Agama yang dimulai pukul 14.00 hingga 17.00
WIB itu, memang peraturannya tidak terlalu ketat. Apalagi asatidz (para
pengajar)nya adalah saudara dan tetanggaku sendiri. Suasananya memang
agak membosankan. Mulai dari bangku, kursi, dan meja tua yang telah
dimakan rayap, buku absensi yang lusuh, disiplin yang amburadul sampai
pengajar yang terkesan memanfaatkan ‘sisa umur’ dan ‘tenaga sisa’
setelah bekerja di pagi hari. Yah, daripada tidak.
Pergaulanku
dengan teman-teman SD berpengaruh besar pada pendidikan ibtida’iyyahku.
Dari sekitar 40 murid, tak sampai 10 orang yang belajar di
ibtida’iyyah. Memprihatinkan memang. Sejak saat itu, aku mulai ‘ngadat’
malas ke madrasah. Jika sebelumnya pukul 14.00 WIB aku sudah di
madrasah, maka kebiasaan baik itu kemudian berubah. Aku lebih suka
nonton TV di rumah kawan baru atau jalan-jalan ke alun-alun Serang tanpa
sepengetahuan orang tua. Bad habitual itu terus berjalan selama
setahun, sehingga akhirnya raport ibtida’iyyahku berangka merah, alias
blank. Walhasil tidak naik kelas.
Sepertinya,
orangtuaku memahami keadaanku. Mereka tidak marah. Begitu aku menginjak
kelas dua SD, terutama ibuku memberi warning dan nasihat agar kembali
masuk madrasah. Otomatis sejak pukul 07.00 hingga 17.00 WIB, dipotong
shalat Dzuhur hingga 14.00 WIB, aku full belajar. Secara umum, mereka
yang di madrasah baru kelas satu, maka di sekolah luar telah menginjak
kelas dua ke atas. Bahkan pada saat aku kelas empat ibtida’iyyah, ada di
antara kawanku yang telah duduk di kelas III SMP.
Kelas
I-II SD kujalani. Sekolah enjoy, biasa-biasa saja. Waktu itu aku belum
mengerti apa itu rangking, apa itu angka merah. Hanya yang tidak pernah
kulupakan sampai saat ini, jika tiba giliran pelajaran membaca, aku dan
dua orang teman sekelasku disuruh keluar dan diberi buku bacaan
tersendiri. Kadang-kadang kami disuruh ke perpustakaan. Rupanya Bu Guru
tahu kalau aku ‘bosan’ membaca dan menulis “Ini Budi.., itu bukan..”
Berulang-ulang.
Kejadian
yang terus berulang itu akhirnya kusampaikan pada ibuku. Beliau nampak
tersenyum senang. Waktu itulah pertama kali aku mendengar ibu berkata,
“Kakak-kakakmu bintang pelajar, kamu harus seperti mereka.” Aku begitu
tertarik saat ibu menceritakan bahwa kakakku sering menerima hadiah buku
tulis dan perlengkapan sekolah dari sekolahnya. Saat kutanya bagaimana
caranya jadi bintang pelajar dan mendapatkan hadiah itu, ibuku hanya
bilang, “Rajin-rajin belajar.”
Sebenarnya,
tidak ada bedanya bagiku rajin belajar atau pun tidak. Bahkan saat itu,
aku memahami rajin belajar sebatas rajin sekolah. Rasanya tidak ada
bedanya mengulang kembali pelajaran di rumah ataupun tidak. Toh saat
ulangan harian, atau ujian kenaikan kelas, nilai yang didapat tetap
sama. Dan, Alhamdulillah, selalu dapat juara kelas. Saingannya paling
juga anak pak Penilik Sekolah yang berkantor di Depdikbud. Ia sering
mendapat rangking satu.
Di
antara pelajaran (bidang studi) yang diajarkan, yang paling kugemari
adalah matematika dan IPA. Selebihnya, kuanggap sebagai pelengkap saja.
Kalau boleh kubilang, aku membaca 80% buku-buku perpustakaan sekolah,
surat kabar, dan majalah. Sedangkan buku-buku pelajaran hanya 20%.
***
“Buldozer”
pendidikan sekuler memang terlalu kuat, sehingga sanggup menggusur
pendidikan dien (agama). Sejak kelas IV aktivitas SD-ku makin meningkat.
Aku harus ikut lomba matematika, lomba catur, lomba puisi, lomba
mengarang, dan macam-macam lomba lain yang memerlukan waktu ekstra di
luar jam sekolah SD. Anak kecil seusia itu, siapa sih yang tak senang
diajak jalan-jalan keluar sekolah oleh Pak Guru untuk ikut perlombaan?
Apalagi dikasih makan nasi Padang dan kalau pulang dapat uang saku.
Melihat kenyataan ini, kedua orangtuaku tak berkutik. Aku cuma membatin,
“Apakah ini yang dimaksud ibu sebagai bintang pelajar?”
Seperti
kubilang tadi, akhirnya ibtida’iyyah tergusur. Aku berhenti. Waktu itu
aku belum mengerti bahwa sebenarnya hal itu merupakan musibah. Kelas V
SD lebih seru lagi. Kali ini aku mewakili sekolah untuk mengikuti
pemilihan pelajar teladan mulai tingkat kecamatan, sampai kabupaten. Ada
rasa kebanggaan tersendiri, saat upacara Senin pagi, wali kelasku
mengumumkan di depan murid-murid dan guru bahwa aku berhasil menjadi
pemenang dengan meraih angka 8 (delapan) untuk studi matematika. Nilai
itu merupakan angka tertinggi. Untuk mata pelajaran lainnya tak aneh
mendapat nilai di atas itu. Alhamdulillah.
Sebagai
pelajar SD ‘ultranasionalis’ (Ciyaa..), tak aneh kalau aku dan Tim
Sekolah memenangkan cerdas-cermat P4 tingkat kecamatan (lumayan…). Di
tingkat kabupaten kami tumbang, Alhamdulillah. Bayangkan kalau menang
sampai tingkat kabupaten, terus tingkat provinsi, terus nasional,
mungkin sekarang aku jadi pengacaranya Edi Tansil, atau Sofyan Wanandi.
Bisa juga menjadi Hakim Ketua yang memvonis ‘hukum mati’ untuk Theo
Syafi’i, atau malahan menjadi hakim ketua untuk sidang kasus bom Bali,
dan yang jadi tersangka pasti TPM…
Lagi-lagi,
aku dikirim mewakili sekolah untuk lomba baca puisi. Seperti biasa,
untuk putra, aku ditakdirkan menang tingkat kecamatan sehingga kemudian
maju ke tingkat Kabupaten. Waktu itu seingatku utusan putri dari
sekolahku kalah tipis. Yang terpilih sebagai pemenang putri malah dari
sekolah lain. Siapa dia? (berhubung sudah 23.15 WITA dan aku sudah
mengantuk, jadi mendingan tidur dulu deh... he he he...
***
Rupanya
pemenang putri itu dari sekolah ‘musuh’-ku, musuh dalam segala
perlombaan. Ia dari SD 2 Serang. SD 2 Serang memang musuh bebuyutan
dengan SD kami. Tapi yang jelas predikat SD teladan, sudah disapu oleh
sekolahku. Kelak ‘sang Putri’ ini bertemu di eS-eM-Pe. Tak disangka.
Adalah
karunia Allah yang sangat-sangat-sangat besar jika sejak empat tahun aku
dikenalkan masjid –Alhamdulillah– sehingga dalam kesibukan sekolah
seperti apapun aku tidak bisa meninggalkan shalat. Inilah barangkali
yang akhirnya memanggil nuraniku untuk kembali ke ibtida’iyyah. Aku
harus duduk di kelas IV ibtida’iyyah. Di sini aku mulai menyukai
pelajaran bahasa Arab dan hadits. Aku sangat senang saat ustadz Asma’i
menyuruhku membaca sekaligus menterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Beliau
yang juga tetanggaku dan masih saudara jauh, dalam sebulan mengajar
empat kali; dua kali bahasa Arab dan dua kali hadits.
Minggu
pertama, bahasa Arab teori. Beliau membacakan bahasa Arab kemudian
menerjemahkan. Murid-murid mendengarkan. Baru pada pertemuan berikutnya,
setiap murid disuruh membaca dan menerjemahkan.
Minggu
ketiga, beliau menuliskan hadits sekaligus menerjemahkan. Kemudian
beliau menerangkan kandungannya. Seluruh murid wajib menulis tulisannya.
Minggu berikutnya beliau khususkan untuk hafalan hadits yang minggu ini
beliau tuliskan minggu sebelumnya. Murid yang sudah setor hafalan pada
pertemuan itu, tidak punya kewajiban untuk hafalan pada pertemuan
berikutnya.
Kebiasaan
Pak Ustadz yang kuhafal itu rupanya memancing kebiasaan burukku. Aku
memang memiliki kebiasaan kurang bagus waktu itu. Cepat bosan
mendengarkan keterangan pelajaran secara formal, bahkan tidak tertarik
sama sekali. Sepertinya, aku lebih suka membaca sendiri daripada
mendengar guru menerangkan pelajaran. Toh hasilnya sama. Kalaupun aku
mendengar dan memperhatikan Sang Guru di depan kelas, itu karena aku
manjalankan kewajiban seorang murid untuk menghormati ustadz dan guru.
Dan itu akan mendapat pahala di sisi Allah. Hal itu juga melatih
seseorang untuk tidak sombong alias takabur.
Dari
empat pertemuan dengan ustadz Asma’i, seterusnya aku lebih sering
menghadiri dua kali pertemuan saja; pertemuan kedua dan ketiga.
Pertemuan pertama dan keempat kugunakan untuk ‘minggat’ ke Pelabuhan
Merak. Mengamati kesibukan para kuli panggul, hilir mudik di kapal ferry
sekaligus menikmati birunya selat Sunda. Kalau tidak, sudah pasti aku
nongkrong di taman bacaan terjauh dari rumah dan sekolah. Teman
seangkatan madrasahku, paham benar kebiasaan bolosku. Tetapi anehnya,
aku tidak mendapat teguran sama sekali dari orangtua dan para ustadzku.
Makin aneh lagi setelah aku dipilih mewakili kelas untuk mengikuti
cerdas-cermat tingkat sekolah, kemudian naik ke tingkat kecamatan.
Sekolah kami, waktu itu hanya menduduki juara kedua, dikalahkan oleh
tuan rumah Madrasah Nurul Huda, Kelapa Dua Serang. Hadiahnya songkok
hitam tanpa cap, dan Al Quranul Karim cetakan Al- Ma’arif Bandung.
Harus
aku sesali dan aku akui, belajar di Ibtida’iyyah lebih terkesan
asal-asalan dengan berbagai faktor penyebab. Sehingga sampai lulus
ibtida’iyyah, nilai ijazahku amburadul. Asal lulus. Nilai rata-rata enam
lebih dikit. Sedangkan di SD cukup banyak ‘kompor’ yang membuatku
sangat termotivasi. Mulai dari teman sekelas sampai wali kelas yang
memberikan semacam expectation, agar aku meraih NEM terbesar se
Kabupaten Serang. Alhamdulillah tak terlalu berhasil, tidak juga gagal.
Kabar
angin yang kudengar, angka tertinggi saat itu adalah 49. Sedangkan aku
cuma dapet 47 dari enam mata pelajaran. Di kota lain, kabupaten lain
atau provinsi lain, angka seperti itu mungkin terhitung kecil atau
dianggap kecil. Tadi di Kabupatenku –kata Pak Guruku– angka yang
kuperoleh cukup lumayan. Alhamdulillah.
***
Di luar
pendidikan formal versi sekuler, malam hari setelah maghrib sampai
Isya’, aku tetap mengikuti pengajian Al-Qur’an secara khusus, mulai dari
turutan (Juz ‘Amma) yang menggunakan metode Baghdad (Al-Qa’idah
Al-Baghdadiyyah) sampai khatam Al-Qur’an. Selama enam tahun belajar
Al-Qur’an, aku baru belajar pada enam guru ngaji, terhitung dari mulai
alif bengkok, tajwid, makhraj huruf sampai langgam qira’at.
Para
ustadz –semoga Allah membalas kebaikan mereka semua dengan kebaikan
setimpal– yang sangat berjasa itu antara lain: Kyai Mahmud, Nyai Ncah,
Ustadz Surudji, Ustadz Turmudzi, Ustadz Asrul (Almarhum), Bimur
(Almarhum), Kyai Hasan, serta Mang Min.
Teenager
Disadari
atau tidak, cerita tentang Jannah (surga) dan Nar (neraka) sangat
berpengaruh pada diriku. Apalagi jika membaca komik berjudul Surga dan
Neraka dengan peran utama bernama Sholeh dan Karma. Dalam komik
bergambar itu, tokoh Sholeh dengan amalnya yang sholeh seperti shalat,
ngaji, sedekah, hormat pada orangtua dan kebaikan lainnya akhirnya masuk
surga. Sedangkan si Karma yang tidak shalat, tidak ngaji, tidak sedekah
dan selalu berbuat keburukan akhirnya masuk neraka.
Otomatis
hal ini menimbulkan keinginanku untuk meneruskan pendidikan negeri
(sekuler). Ketika lulus SD aku berniat mendaftar ke SMPN 4 Serang dan
MTS Insaniyah, Serang. Waktu itu aku berfikiran; SMP Negeri untuk urusan
dunia dan Tsanawiyah untuk akhirat. Simple. Kenyataan berbicara lain.
SMP favorit –yang ketika test aku ditakdirkan Allah mendapat ranking
ke-4 dari 240 siswa yang diterima– itu ternyata kekurangan lokal.
Sehingga untuk murid kelas I harus menjalani kegiatan belajar pada sore
harinya. Dengan begitu berarti saat itu aku ‘siap diproses’ menjadi
manusia Sekuler, manusia Pancasilais yang wajib bertoleransi dengan
kebathilan dari penjuru manapun.
***
Ada satu
peristiwa “nggak lucu”, yang akhirnya jadi sejarah hidup dan kenangan
manis. Dalam satu upacara penutupan penataran P4 murid baru, yang jadi
protokol waktu itu adalah..., adalah..., adalah...ya itu, Sang Putri
yang menjadi juara I baca puisi pelajar SD se-Kabupaten Serang. Upacara
bubar. Siswa berebut ke kantin demi membasahi kerongkongan
masing-masing, sekaligus mengganjal perut bagi yang lapar. Kantin penuh.
Aku malas berebut. Alternatifnya, aku cari tukang es yang lagi
‘manyun’. Rasanya memang kurang enak, kalau tidak terpaksa –barangkali–
para siswa tidak membelinya. “Bagi-bagi rejeki,” pikirku. Aku pun
ngloyor ke arahnya. Waktu itu uang Rp 50 masih bisa mendapatkan segelas
es.
Belum
lagi air itu kuminum, tiba-tiba ‘pembaca protokol’ itu berdiri di
depanku, hanya terpisah oleh gerobak kecil tempat menata botol-botol
sirup sekitar satu meter. Rupanya Si Dia juga kehausan dan punya selera
yang sama. Di hari yang terik itu, aku segera mengucapkan, “Selamat
pagi…” Si Dia malah bilang, “Selamat siang dong...!” Lalu kubalas,
“Selamat Pagi Indonesia… karya Supardi Djoko Damono...!” Judul puisi
wajib bagi seluruh peserta lomba baca puisi yang sama-sama kami ikuti
sebelumnya.
Dia
hanya menjawab, “Nggak lucu!” Sambil berlari kecil membawa bungkusan es
sirup warna orange. Aih! Ketika masuk kelas pada Senin harinya, orang
yang bilang “nggak lucu” itu ketemu lagi. Rupanya kita sama-sama duduk
di kelas satu ‘A’. Hari pertama kita masuk, Wali Kelas meminta
masing-masing siswa memperkenalkan diri. Dari perkenalan demi perkenalan
itu, aku jadi tahu kalau ‘satu A’ terdiri dari para ‘Veteran’ berbagai
perlombaan di masing-masing SD dulu.
Saat
tiba giliranku, aku hanya memperkenalkan nama dan asal sekolahku. Begitu
aku akan kembali duduk, ada diantara siswa yang protes, "Hi... curang,
dia pelajar teladan tuh Pak!!!” Hotman Simatupang, guru matematika yang
kebetulan waktu itu memimpin perkenalan kami menahanku agar tidak duduk
dulu. Ia memintaku untuk melengkapi introduction. Yah... terpaksa sambil
nyengir kuda kuceritakan juga sedikit pengalaman eS-De.
Perkenalan
selesai. Acara berikutnya pemilihan Ketua Kelas. Orang yang kemarin
lusa bilang “Ngga’ lucu!” itu terpilih menjadi kandidat. Aku juga. Ha ha
ha. Apa karena gara-gara beli es sirup di tempat yang sama, atau
gara-gara sama-sama baca puisi, aku tak tahu. Di eS-De udah bosan jadi
Ketua Kelas, juga ketua regu “Rajawali”. Aku buru-buru konsentrasi doa
moga-moga bukan aku yang terpilih jadi Ketua Kelas. Anugerah....benar!
Alhamdulillah, aku tak terpilih. Protokol “ngga’ lucu” itu akhirnya
resmi jadi Ketua Kelas satu A. Sedangkan aku lupa, entah jadi apa.
Selain
pelajaran PSPB (Pendidikan Sejarah Pembohongan Bangsa) yang mencetakku
menjadi Pancasilais dan Nasionalis, tidak ada pelajaran lain yang aneh.
Kalaupun saat itu aku cukup menyukai subject Bahasa Inggris, itu karena
Pak Ma’ruf kulihat rajin shalat. Soal vocab, kelas V SD aku sempat
sedikit berguru pada abang kandungku –yang sampai detik buku ini kutulis
tidak pernah bertemu lagi (semoga Allah memberikan hidayah).
Satu dua
pesan guru Ibtida’iyyahku, membantuku tidak terlalu terseret arus
kerusakan remaja awal. Setidaknya dalam nuraniku yang masih sangat
ingusan waktu itu, tertanam perasaan atau semacam ‘intuisi’, bahwa kelas
‘satu A’ sedang berjalan menuju kerusakan. Betapa tidak, sebagian besar
siswa telah merobohkan tiang agama. Mereka meninggalkan shalat. Belajar
mulai jam 13.00 WIB, selesai 17.30 WIB, Maghrib 17.45 WIB. Shalat
Asharnya kapan? Alhamdulillah, aku dan tiga orang teman sekelas
memanfaatkan waktu istirahat yang sangat singkat itu untuk shalat Ashar
di luar sekolah seberang jalan. Disebut masjid Den-Bek. Sarung Cap
Manggis dan peci hitam cap 555-ku kerap kami pakai bergantian.
Alhamdulillah.
***
Heterogenitas
dunia eS-eM-Pe di jantung kota itu memang sangat mengasyikkan. Adalah
hal yang sangat biasa jika siswa dan siswi belajar bersama, kemah
bersama, makan bareng-bareng, naik angkot nengok teman sakit
bareng-bareng. Itu semua –pada saat itu– kuanggap tidak apa-apa. Bahkan
kuanggap sebagai ‘keharusan’ dunia remaja. Dengan modal hanya ‘tidak
meninggalkan sholat’, aku sangat bangga dan bersemangat saat
menceritakan kepada Ayah-Bunda bahwa aku dan teman-teman, siswa dan
siswi, empat atau lima orang, habis nonton film bareng. Tidak ada
teguran sekalipun aku telah bergaul dengan bukan mahram. Kalau di kota
yang terkenal religius saja sudah seperti itu, bagaimana pula pergaulan
di kota lain?
Pergaulan
yang –jika dilihat dari kacamata Islam– termasuk amburadul itu, dengan
takdir Allah tidak menghalangiku untuk meraih juara I pidato se-SMP 4.
Naskah pidato yang kutulis sendiri pada waktu itu tak lain dari memory
recall pelajaran Tarikh Nabi sewaktu di ibtida’iyyah, ditambah dengan
sedikit dari “Sejarah 25 Nabi dan Rasul” Ny. Hadiyah Salim, hadiah dari
Bunda tercinta.
Allah
Maha Penyayang. Maha Pengasih. Maha Tahu. Dialah, hanya Dia; Pemberi
hidayah. Dia tidak membiarkan masa remajaku ‘terbakar’ begitu saja oleh
gelombang sekularisme dan materialisme bin Pancasila. Satu ketika seusai
EBAS (Evaluasi Belajar Akhir Semester) dua, seluruh sekolah libur
selama dua pekan. Saat itu bertepatan dengan bulan Ramadhan. Di antara
beberapa organisasi Islam, Muhammadiyah dan Persis bergabung mengadakan
acara Pesantren Ramadhan. Dengan dorongan kedua orangtuaku, kakak serta
abang, Allah menggerakkan hatiku untuk mengikutinya selama sepekan.
Penjelasan
dan pengajaran yang ilmiah, fair dan bersahaja, ditambah keikhlasan
para asatidz dan panitia, menjadikan aku benar-benar tertarik. Di
situlah aku mengerti apa itu bid’ah, apa itu sunnah, apa itu syirik dan
apa itu Islam. Penjelasan masalah pergaulan, membuatku benar-benar
tertusuk.
Masih
segar dalam ingatanku keterangan guru agama di SMP, bahwa dalam
berjalan, siswi harus di sebelah kiri dan siswa di sebelah kanan. Ini
karena perempuan di Indonesia aturannya memang berjalan di sebelah kiri.
Nah, pada saat ustadzah di Pesantren Ramadhan memancing para peserta
tentang bagaimana cara berjalan lelaki dan perempuan ketika
bersama-sama? Secara spontan dan sangat ‘pe-de’ aku menjawab persis
seperti yang diterangkan guru agamaku di SMP. Ada juga peserta yang
menjawab kebalikannya, tetapi kebanyakan idem dengan jawabanku.
Setelah
suasana reda, ustadzah kemudian menjelaskan bahwa berjalan beriringan
lelaki dan wanita yang bukan mahram adalah haram, dilarang dalam Islam.
Baik si laki-laki di sebelah kanan atau di sebelah kiri, baik sepasang
maupun beberapa pasang. Beliau kemudian memberikan dalil dari Al-Qur’an
dan Hadits yang menjadi dasar hukum keterangannya.
Uraian
beliau membuatku benar-benar kaget, sedih dan sejuta perasaan lain.
Kurasa, itulah konflik batin pertama yang kualami. Bagaimana tidak,
sejak aku mengenal sekolah, aku telah terbiasa bergaul dan bermain
dengan siswi-siswi yang tak menutup aurat. Bebas bersalaman dengan
mereka tanpa merasa berdosa. Bahkan setiap kali aku kebagian giliran
tugas baca do’a dalam upacara bendera, ada beberapa siswi yang dengan
sukarela memakaikan dasi kupu-kupu di leherku, ada yang memakaikan topi,
lalu kemudian kami tertawa riang bersama khas remaja tanpa merasa
berdosa sedikit pun. Jika ada yang tidak suka dengan gaya kami, segera
kami beranggapan bahwa dia cemburu, atau buruk sangka, atau ketinggalan
zaman. Jadi, ya kami jalan terus, toh kami nggak ngapa-ngapain, lagian
di depan banyak orang. Musibah!
Bagiku,
Pekan Ramadhan saat itu benar-benar penuh hidayah dan rahmat. Itulah
starting point yang membuatku mengerti betapa indahnya Islam, betapa
hebatnya Islam, betapa sempurnanya Islam. Di situ aku mengerti bahwa
hanya Islamlah satu-satunya jalan menuju kemuliaan hidup di dunia dan
akhirat. Padahal sebelumnya aku hanya mengerti bahwa Islam itu sekedar
ritual. Sejak saat itu aku mulai mengerti apa arti hidup, apa arti
ibadah. Aku mulai paham dan merasakan sebuah kekhusyu’an. Aku mengerti
bahwa masa-laluku adalah salah. Astaghfirullah!!!
***
Senin,
aku harus kembali ke eS-eM-Pe E. Tidak seorang pun tahu bahwa hampir
sepanjang malam aku menangis, menyesali masa lalu. Kadang-kadang batinku
‘mengutuk’ mengapa para asatidz di Ibtida’iyyah dulu tidak memberikan
pengertian yang benar tentang Islam. Begitu juga guru agamaku di SMP.
Sebenarnya, aku enggan kembali ke sekolah. Saat itu aku benar-benar
membenci teman-teman wanita di sekolahku, kecil-kecil udah pada nyanyi
lagu cinta, giliran disuruh ngaji pada mlongo.
Aku juga
membenci diri sendiri kenapa masuk sekolah ‘Belanda’ itu? Demi
menghormati dan menjaga hati orangtua, meski dengan ogah-ogahan,
akhirnya aku ke sekolah. Biasanya naik angkot, kali itu aku jalan kaki
sambil tak berhenti memikiran dan membandingkan materi-materi di Pekan
Ramadhan dan di SMP. Jauuh...jauuh! Aku benar-benar menyesal, kecewa dan
marah. Tapi pada siapa? Aku juga cukup jengkel begitu ingat bahwa ke
sekolah harus mengenakan celana pendek warna biru di atas lutut.
Sejak di
gerbang sekolah sampai di kelas, tak seorang pun yang kusapa. Teman
putri yang bilang “Selamat pagi” pun tak kujawab. Teman putra yang
bilang “Selamat pagi” kujawab dengan, “Assalamu'alaikum.” Beberapa menit
kemudian, pengajian oleh guru agama di lapangan basket dimulai. Para
siswa dipersilakan bertanya tentang seluruh masalah agama setelah beliau
berceramah sekitar setengah jam. Aneh, penjelasannya sama sekali tidak
menyentuh hati dan cenderung membosankan.
Dalam
secarik kertas, kutuliskan pertanyaan tentang hukum seorang wanita
baligh mengenakan jilbab. Maksud pertanyaanku, agar guru agama itu
menjelaskan kepada seluruh siswi supaya menutup aurat mereka. Kupikir
beliau akan menerangkan kadungan surat An-Nur ayat 30-31 dan Al-Ahzab
ayat 53 tentang kewajiban memakai jilbab. Tercengang aku. Apa jawaban
beliau? “Jilbab adalah budaya Arab, untuk menutupi wajah dari pasir
karena Arab terkenal gurun pasirnya. Sedangkan Islam mencintai
kebersihan. Sedangkan di Indonesia alam dan iklimnya lain. Jadi tidak
wajib memakai jilbab.”
Benar-benar
menjengkelkan. Saat itu aku merasa berada di tengah dunia lain. Dunia
sekuler. Dunia yang jauh dari Al-Qur’an dan Sunnah. Dunia yang jauh dari
Islam. Dunia yang sangat dekat bahkan terkurung oleh Sumber dari segala
sumber hukum yang berlaku di Indonesia: adalah Pancasila. Dunia astung!
Raport
kenaikan kelas dibagi. Seperti biasa, juara kelas I sampai III disuruh
berdiri di depan kelas. Aku hanya tunduk. Bosan. Hati kecilku waktu itu
sudah bergumam gundah, “Aku juara sekuler!” Mulai hari itu, aku
mempunyai kekuatan dalam hati untuk tidak bersalaman dengan perempuan
non-mahram. So, barangkali teman-teman putri yang dulu memakaikan topi
dan dasi kupu-kupu warna biru, ketika upacara, agak terkejut dan
tersinggung ketika uluran tangan mereka tak kusambut. Saat itu aku hanya
merapatkan kedua telapak tanganku di depan dada sambil berkata,
“Alhamdulillah.” Aku sempat mendengar ucapan salah seorang dari mereka,
“Dih... najis, kok berubah?”
Benar!
Ketua regu Garuda, pembaca doa upacara bendera, dan ‘siswa gaul’ itu,
telah berubah. Sejak liburan panjang akhir tahun ajaran 1984/1985
dimulai, aku sudah berniat good bye SMP sekuler. Aku ingin mesantren
atau pindah ke sekolah PERSIS (Persatuan Islam). Niat itu sudah
kusampaikan kepada kedua orangtuaku. Mereka bingung juga.
Sejak SD
dan Ibtida’iyyah, aku punya tempat khusus untuk menyendiri selain taman
bacaan. Tempat itu berada di tegalan yang tak terlalu jauh dari
kuburan, sekitar 100 meter dari rumah. Saat itu, aku memilih ke
‘pertapaan’-ku sambil membawa buku. Barangkali dapat ilham, pikirku.
Sekitar
20 meter dari tempat yang kutuju, terdapat 3-4 anak-anak sebayaku
bermain. Satu di antaranya teman sekelasku waktu SD. Kami ngobrol
sebentar. Baru sekitar lima menitan, tiba-tiba mata kaki kananku seperti
disengat sesuatu. Dua anak yang sejak aku datang asyik menikmati mangga
di atas pohonnya, tiba-tiba langsung melorot turun. Dua-duanya kemudian
lari menjauh sambil teriak “Ular..ular..!” Teman yang tadi mengobrol
pun jadi ikut bingung. Soalnya kami tak melihat ular. Kakiku terasa
berdenyut-denyut. Nyeri.
Kulihat
agak kebiru-biruan. Ada lubang kecil dan sedikit darah tapi tak
mengalir. Segera kumasukkan ibu jariku ke langit-langit mulutku. Kuambil
lendirnya. Bismillah, kusapukan lendir itu ke tempat luka. Setengah
pincang aku berlari kecil ke rumah. Temanku tadi ikut mengantar.
Kejadiannya setelah Ashar. Begitu Maghrib, ukuran kakiku menjadi dua
kali lebih gemuk dari kaki kiri. Kami berdua tak tahu pasti apa penyebab
sebenarnya.
Dalam
keadaan kaki sakit, beberapa hari kemudian aku mendapat undangan
menghadiri semacam Bazar Amal Pesantren Persatuan Islam. Berjalan kaki
tak mungkin, naik becak juga dilarang. Jalan terakhir satu-satunya
adalah naik ‘kendaraan terakhir’ yang ayah miliki. Akhirnya kami
keluarga menghadiri bazar tersebut. Belakangan aku baru sadar, rupanya
itulah ‘kebersamaan terakhir’ yang aku lampaui bersama kedua orangtuaku.
***
Rasa
haru dan kagum timbul saat menyaksikan murid-murid SDI (SD Islam)
mementaskan kemampuan mereka menghafal hadits sekaligus terjemahannya.
Luar biasa. Tiba-tiba ada yang mencabut peci ‘sakti’ cap 555 yang
bertengger di kepalaku. Orang berjilbab yang ternyata ‘kakak pernah
sepupuku’ pelakunya. Dia bilang, “Nanti kalau dipanggil ke depan, kamu
jangan pakai peci ya! Bagusan tanpa peci.” No comment. Akhirnya peci
‘apek’ kesayanganku itu dikembalikan lagi.
Pada
sesi akhir acara Bazar Amal, aku terkejut begitu namaku disebut sebagai
peserta terbaik Pesantren Ramadhan tahun itu. Aku diminta naik panggung.
Sambil setengah pincang dan setengah malas, kukeluarkan peci yang
kukantongi tadi dan kukenakan kembali. Tepat di dekat tangga anak
panggung yang terlindung dari penglihatan hadirin, tiba-tiba sepupuku
mencabut kembali peciku sambil bilang, “Udah gitu aja, cakep tuh!” No
time, naik panggung, terima piagam. Hadirin tepuk tangan. Bosan. Aku
turun lagi.
Sejak
menyaksikan kemahiran murid-murid Pesantren Islam itu, keinginanku untuk
pindah sekolah semakin kuat. Di sekolah itu semua siswi berjilbab,
anggun dan sopan. Ruh ke-Islaman kuat terasa. Sedangkan seluruh siswa
mengenakan celana panjang. Mantap!
Tahun
ajaran baru 1984/1985 tiba. Kaki kananku yang belum membaik lebih
menguatkan alasanku untuk tidak daftar ulang ke sekolah sekuler. Lewat
seminggu, datang utusan dari sekolahku mempertanyakan masalah daftar
ulang dan kelanjutan pendidikan. Tanpa sepengetahuan ayah ibuku,
kukatakan kepada mereka, yang juga teman sekolah dan tetanggaku, bahwa
aku akan pindah sekolah. Mereka kaget dan tidak setuju dengan rencanaku
itu. Rata-rata mereka menyayangkan prestasiku dan kemampuanku jika harus
pindah ke sekolah lain.
Tak
sampai sepekan, teman-teman yang datang menemuiku lebih banyak lagi. Aku
salut dengan solidaritas mereka. Kali ini ibuku turut bicara. Satu di
antara mereka menyampaikan pesan sekolah bahwa aku mendapat juara umum
ke-3 se SMP. Penentuan itu didapatkan dari hasil EBAS plus kegiatan ko
dan ekstra kurikuler. Juara satunya diraih oleh kakak kelas.
Kedatanganku sangat diharapkan dalam upacara Senin sekaligus pengumuman
dan pembagian hadiah. Jadi, kata mereka, kalau mau pindah sekolah ya
nanti saja setelah pengumuman, yang penting datang dulu.
Nampaknya
ibuku tertarik, padahal aku juga tertarik, tapi sedikit. Aku tidak
ingin ibuku kecewa, sekali pun beliau tidak memaksa. Hati manusia begitu
tipis, mudah berubah, apalagi jika berhadapan dengan dunia, barangkali
aku seperti itu. Musibah lagi!
***
Ke
sekolah lagi. Sepatu “Arista” strip kuning, celana biru pendek, dasi
kupu-kupu cap “kancing cepret”, topi pet, tas anti karat anyaman daun
pandan, langsung ke bagian Admin bayar daftar ulang. Di situ aku baru
tahu aku duduk di kelas paling bontot, II-E. Masuk sebentar, sekedar
menyimpan tas di sembarang meja. Bel upacara telah dipencet pertanda
dimulai apel Senin di lapangan basket. Biasanya aku ada di depan atau
baris kedua, karena memang tubuhku kecil. Tapi setelah ‘nyantri’ aku
memaksa berada di barisan belakang. Tidak ada yang menarik dari
penjelasan ‘Pembina Upacara’ sekaligus Kepala Sekolah itu.
Pembina
OSIS membacakan pengumuman yang bagiku tak surprise lagi. Namaku
dipanggil maju lagi. Berdiri dekat tiang bendera menghadap ke arah
sekitar 600 bocah lebih siswa dan dewan guru. Kepala sekolah menyalami
kami setelah memberi hadiah. Tepuk tangan riuh rendah. Hatiku biasa
saja, sebab waktu itu aku sudah mengerti apa itu riya’ dan apa itu
rendah hati.
Kelas
II-E. Alhamdulillah, dengan teman putra dari kelas berapa pun aku
adaptable, begitu juga dengan guru-guru. Ada satu topik yang cukup
melekat di benakku saat itu bahwa wanita adalah tiang negara, jika
wanita baik maka negara akan baik, jika wanita rusak maka negara rusak.
Bekal dari pesantren Ramadhan bagiku menjadi beban moral. Didorong oleh
hadits, “ballighu ‘anni walau ayah” (sampaikanlah dariku walaupun satu
ayat), akhirnya aku ajak teman-teman diskusi di kelasku, baik putra
maupun putri. Saat aku bicara masalah jilbab, 99,999% tidak nyambung.
Dari 24 siswi hanya satu yang nyambung. Barangkali pendidikan agama di
rumahnya cukup bagus. Tapi ya bagaimana? Mau pakai jilbab di zaman
seperti itu sama halnya dengan mengharapkan surat berhenti sekolah.
Ada yang
lucu. Waktu itu istilah ‘dengkulmu’ adalah istilah gaul yang sama
sekali tidak berarti kasar. Ia lebih sebagai istilah keakraban. Saat aku
ajak ngobrol masalah aurat pria tiba-tiba hampir serempak ada beberapa
teman nyeletuk, “Dengkulmu, bagaimana coba?” “Sama-sama bengkok,”
kataku. Kami tertawa bersama.
Saat
itu, semangat membacaku semakin ‘menggila’. Tiada hari tanpa
perpustakaan. Keragaman judul buku dan ruangan yang cukup luas membuatku
sanggup bertahan lama. Alhamdulillah, hampir sebagian besar buku di
tempat itu pernah kubaca. Setelah buku-buku agama, ensiklopedia
bergambar tentang alam semesta benar-benar menarik perhatianku.
Seingatku, satu-satunya novel yang pernah kubaca adalah, Di Bawah
Lindungan Ka’bah karya Buya Hamka.
Sedangkan
Tengelamnya Kapal Van Der Wijck Hamka, Salah Didik, Salah Asuh,
Atheist, atau yang lainnya aku sama sekali tak tertarik. Aku juga tidak
tertarik dengan Siti Nurbaya yang hanya tahu judulnya saja. Satu ketika
aku pernah kecewa terhadap perpustakaan. Ceritanya, aku bermaksud pinjam
buku untuk dibawa pulang. Alhamdulillah, ternyata buku-buku itu sudah
kubaca. Ada yang belum kubaca tapi tak menarik, ada juga yang menarik
tapi sedang dipinjam anggota perpustakaan lain. Jadi tak ada judul baru
yang bisa kubaca. Kalau tak salah, jatah maksimal buku yang boleh
dipinjam dalam satu kali adalah tiga judul. Tetapi aku biasanya nego
dengan penjaga perpustakaan.
Alhamdulillah
bisa membawa pulang sampai empat buku. Meski demikian, kebiasaan
‘mustaka’ itu tidak membuatku menjadi ‘kuper’. Pergaulan dengan
teman-teman tetap terjaga. Meski waktu undangan ulang tahun dari
siapapun tidak pernah kuhadiri. Alhamdulillah, aku berhasil menolak
dengan cara yang baik. Satu dua orang ada yang menganggapku fanatik,
tetapi dia menghormati pendirianku. Jadi kita nggak clash. Kami jalan
masing-masing.
***
Suatu
ketika aku dipanggil oleh guru elektronika yang juga pembina pramuka.
Bukan main senangnya ketika diberitahu bahwa aku mendapat beasiswa
Depdikbud Kabupaten Serang. Jika ketika SD aku dibebaskan uang SPP dan
BP3, maka kali ini aku mendapat tabanas selama setahun. Aktifitas di
OSIS sama sekali tidak mengganggu stabilitas prestasi belajarku, baik
sebagai juara kelas maupun juara umum. Alhamdulillah. Malah pergaulanku
semakin luas.
Entah
siapa yang mulai, teman-temanku tiba-tiba menjodoh-jodohkanku dengan
ketua OSIS yang juga mantan juara baca puisi SD, sekaligus pernah
bilang, “nggak lucu”. Aku cukup terkejut saat memasuki aula, tiba-tiba
adik-adik kelas dan kakak kelas menyanyi, “Zakiyah siapa yang punya...
Zakiyah siapa yang punya..., yang punya ... Abdul Aziz”. Tak bisa
kugambarkan perasaanku. Aku dan istriku (sorry, waktu itu belum jadi
istri) saling pandang secara reflek dan kami sama-sama tersenyum.
Saat Salju Tiba, Rindu pun Menjelma
Tapi itu
hanyalah sebuah lukisan yang sempat terpampang di kamar belajarku,
kamar seorang siswa kelas 3A, No Induk 8485 1027, SMP Negeri 4 Serang,
Jl Juhdi No. 18, Serang, Banten, Jawa Barat, Indonesia. Kodeposnya lupa,
tetapi barangkali istriku ingat, sebab dia teman sekelasku dulu, pernah
di bangku depan, duduk bersebelahan.
Di
sebelah lukisan bagus itu ada rumus. Rumus yang mengesankan. Di bawah
rumus-rumus itu ada tumpukan buku. Di antara buku-buku itu ada sebuah
buku berjudul, Ayatur Rahman fie Jihadi Afghanistan (Tanda-tanda
kekuasaan Allah dalam Jihad di Afghanistan) tulisan Dr. Abdullah Azzam
rahimahullah. Mereka yang sempat membaca buku itu, Insya Allah akan
tergerak hatinya untuk berjihad mengangkat senjata ke Afghanistan. Tapi
waktu itu umurku masih 16 tahun, baru bisa membayangkan, menghayati, dan
kemudian melamun.
Lebih
dari sekali buku itu kubaca, dan selesai membacanya selalu Aku berdoa
semoga Allah menyampaikanku ke bumi Afghanistan, negeri para syuhada,
negeri para penghuni syurga.
Di pintu
dalam kamar belajarku, ada aku gambar peta Afghanistan. Bentuknya mirip
peta Kalimantan. Terakhir kulihat pada tahun 1995. Saat aku menikah,
gambar itu masih tertempel di sana.
Sejak
mengenal ‘buku ajaib’ itu, aku tak pernah berhenti berdoa agar Allah
menggabungkanku dengan para mujahidin dan menjadikanku salah seorang
syuhada. Untuk mempertajam dan memantapkan doaku, sejak saat itu juga
aku berhenti nonton TV dan mendengarkan musik. Saat itu juga, aku
menjadi semacam introvert. Teman setiaku adalah Al-Qur’an dan buku-buku
diniyah (agama). Sesekali, aku ada membaca surat tulisan tangan dari
seorang teman wanita yang kini menjadi ibu bagi anak-anakku juga
anak-anaknya.
***
Intifadhah
Palestina dan jihad Afghanistan membuat diriku benar-benar geram dan
gundah. Aku ingin segera selesai sekolah dan mencari kerja untuk
mendapatkan ongkos ke Afghanistan. Tapi ya bagaimana, untuk beli
perangko kartu lebaran dan buku diary untuk kukirim ke Ketua OSIS-ku
saja, aku harus menjebol tabunganku hasil beasiswa dari Depdikbud waktu
itu. Ketua OSIS-ku waktu itu, kini menjadi Perdana Menteri di kerajaan
tentara dan mata air di surga (nama putraku berarti Tentara Allah, dan
nama putriku berarti mata air di surga). Dan yang menjadi Kaisar atau
Rajanya adalah Imam Samudra.
Alhamdulillah,
Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. Tiga tahun kemudian doaku
terkabul. Tahun 1990, aku lulus MAN (Madrasah Aliyah Negeri) Cikulur,
Serang. Di sebuah masjid Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, tepatnya
masjid Al Furqan, jalan Kramat Raya 45, Jakarta, aku mendengarkan
ceramah dari seorang da’i yang kurang aku kenal namanya. Saat itu juga
aku berjumpa dengan seseorang bernama Jabir (syahid dalam peristiwa bom
Antapani Bandung). Dengan bahasa Indo-Sunda, kami berkenalan. Kemudian
entah bagaimana ceritanya, pembicaraan saat sampai pada topik jihad.
Kuceritakan buku-buku jihad yang pernah kubaca, ia nampak interes dan
antusias.
Setelah
dia (agak) mengorek latar belakangku, seingatku waktu itu, dia berkata,
“Tahun ini ada pemberangkatan, mau ikut nggak?” Untuk memperkuat
dugaanku lalu kutanya, “Maksudnya ke Afghanistan?” Dia hanya menjawab,
“Dik, udah dech, cepetan cari ongkos sekitar Rp 300 ribu. Insya Allah
kalau antum ikhlas, Allah akan memudahkan urusan antum.”
Ciaoooo!!!
Segera aku pamit dan kembali ke rumah. Ada sedikit sisa tabungan hasil
kirim artikel berita ke Panji Masyarakat ditambah pemberian ibunda
tercinta. Aku tak terlalu enak meminta uang dari ibuku, tapi apa boleh
buat, setelah aku nyatakan bahwa aku akan ke luar negeri, beliau
memberikan uang yang aku perlukan. Uang itu hasil usaha menjual jilbab
dan busana muslimah yang kadang-kadang kubantu mencarikan bahan-bahannya
di Tanah Abang, Jakarta.
Jumpa
lagi sekitar tiga hari berikutnya dengan Kang Jabir. Setelah mendapatkan
paspor Jakarta dalam minggu yang sama, kami ke Dumai dan bermalam
sehari. Keesokan harinya, perjalanan dilanjutkan ke Malaka, Malaysia.
Pada waktu itu rute Dumai-Malaka terkenal sebagai jalur TKI. Tidak
sedikit mereka yang ditolak oleh imigrasi Malaysia, sekalipun mereka
melengkapi dengan dokumen resmi dan uang tunjuk (uang jaminan selama
tinggal di Malaysia).
Karena
barangkali aku tidak memiliki tampang TKI, Alhamdulillah, dengan mudah
dapat melewati antrian ratusan ‘turis’ Indonesia yang akan ke Malaysia.
Tinggal sehari lebih sedikit di Malaysia. Keesokan sorenya kami menuju
bandara Subang-Jaya, Selangor Darul-Ehsan. Begitu pesawat MAS (Malaysian
Air System) take off, aku baru merasakan benar-benar berat meninggalkan
tanah air. Ada perasaan ‘lain’ terhadap mantan Ketua OSIS SMPN-4
angkatan 84/85 Serang. Ok! Lupakan itu. Aku segera teringat ayat ini:
Katakanlah,
“Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum
keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu
khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tinggal yang kamu sukai, adalah
lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di
jalan-Nya maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya dan
Allah tidak memberi petunjuk (hidayah) kepada orang-orang fasiq.”
(At-Taubah : 24).
***
Di atas
udara dalam pesawat, para kernet udara (stewardest) menawarkan free post
card, amplop dan sejilid kecil kertas surat berlogo Malaysian Air
System. Sambil mengisi waktu 8 jam flight KL-KHI (Kuala Lumpur-Karachi),
kutulis sekeping post card kepada satu-satunya wanita –selain ibu dan
saudariku– yang pernah singgah dan akhirnya menetap dalam kehidupanku.
Wanita itu adalah mantan Ketua OSIS yang pada saat itu juga baru lulus
SMA. Kalau tak salah post card itu ditulisi dengan terjemahan surat
Al-Baqarah ayat 214:
Apakah
kamu menyangka bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang padamu
(cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka
ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan
bermacam-macam goncangan/cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan
orang-orang yang beriman bersamanya, “Bilakah datangnya pertolongan
Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.
Alhamdulillah,
dengan takdir Allah, paid stamp post card itu akhirnya sampai juga ke
tangan Sang Mantan Ketua OSIS, yang kuketahui beberapa saat menjelang
pernikahan kami, 1995.
Setelah
transit dua jam di Bombay, India, MAS yang kami tumpangi selamat landas
di Karachi. Sehari semalam, kami bermalam di maehmon khana (ruang tamu)
sebuah masjid Karachi. Perjalanan dilanjutkan ke Peshawar pada awal
pagi. Sampai saat ini aku tak tahu apa nama daerah itu, sebuah rumah
gaya Paki-Afghan yang sangat sesuai dengan syariat Islam.
Tinggal
sehari di situ. Ba’da shubuh esok harinya, perjalanan ke negeri impian
para lelaki dilanjutkan. Melewati gunung-gunung yang indah, menumpang
bus dengan penumpang sebagian besarnya berbahasa ‘planet’ yang tidak
pernah kukenal sama sekali. Sepanjang perjalanan aku yang mengenakan
pakaian Afghanis dan menutup seluruh wajahku kecuali mata dengan
menggunakan ridah (selimut tipis), tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Sekali bicara, orang akan tahu siapa aku. Perjalanan sepenuhnya dipimpin
oleh Syahid Jabir dan dua orang Arab yang sampai saat ini tak kukenal
darimana dan siapa namanya.
Menjelang
Ashar, dengan berjalan kaki dari perbatasan Pakistan-Afghanistan selama
hampir 4 jam, sampailah kami di sebuah camp sederhana yang terkenal
dengan sebutan, Muaskar Khilafah. Di situ aku memulai kehidupan yang
sama sekali baru dan sangat baru. Kehidupan yang betul-betul bersih
sekalipun tidak disebut ‘steril’ 100 persen.
***
Sungguh, satu babak kehidupan baru yang amat membahagiakan.
‘Musik’ kami adalah rentetan peluru, ledakan mortar,
dan dentuman zigoyak dan da-scha-ka- (anti air craft gun).
‘Nyanyian’ kami adalah nasyid-nasyid (sejenis achapella)
pembangkit semangat jihad.
‘Senandung’ kami adalah lantunan ayat-ayat Al-Qur’an
yang tak pernah berhenti selama 24 jam saling bergiliran.
Tiada suara wanita, tiada tangis anak kecil,
apalagi musik-musik jahiliyah, panggilan setan.
Flat
ground yang dikelilingi gunung di empat penjuru itu benar-benar
menentramkan hati, benar-benar ‘surga’ bagi para perindu surga kekal di
akhirat. Tidak ada seorang pun yang berani datang ke tempat itu kecuali
ia benar-benar siap menggadaikan nyawanya di jalan Allah. Tidak ada
seorang pun bertahan lama di situ kecuali jika ia telah siap bertarung
melawan kaum kafir, baik komunis asli Uni Soviet ataupun komunis
northern sebangsa Dustum –yang kini berkoalisi dengan Si Karzai di bawah
ketiak Amerika dan para pengecut sekutunya.
Mereka
yang datang ke tempat ‘aneh’ seperti itu hanyalah mereka yang siap
membunuh atau dibunuh kafir, siap berjihad demi menegakkan kalimat
Allah. Dan kesiapan mental seperti itu, hanya akan terwujud dengan
rahmat dan takdir Allah. Alhamdulillah.
Khost,
nama tempat itu. Daun-daun zaitun masih kekal bertahan. Daun-daun
caparkat dan cactus Afghan telah luruh, tinggallah duri-duri dan kayunya
yang kelak dibakar untuk kayu penghangat dan pemasak. Anor (delima) tak
lagi berbuah, runtuh sudah daun-daunnya. Saghol (serigala) melolong di
tengah malam. Selapis jaket mesti dikenakan. Begitulah keadaannya saat
pertama kali aku tiba. Ya, saat itu musim gugur telah tiba.
Purnama
kelima dari saat awal aku tiba telah menjelma. Musim gugur hilang sudah.
Datanglah penggantinya. Afghanistan menggigil. Satu ketika sepulang
belajar, saat aku berbaring di dekat room heater, suara keras
bertubu-tubi menimpa atap tendaku, persis seperti bunyi lemparan benda
keras. Saudara-saudara Afghan berteriak, “Baraan…, baraan…” Segera Aku
longokkan kepalaku keluar tenda. Dan… pletak! Sebongkah benda menjitak
kepalaku. Subhanallah.., bongkahan itu ternyata benda keras yang terbuat
dari air yang membeku sebesar biji nangka. Dingin rasanya. Jernih
warnanya. Es, nama benda itu... Kemudian baru kutahu kalau baraan itu
artinya hujan.
Tiga
hari kemudian sekitar jam enam pagi kudengar lagi teriakan saudara
Afghan, “Baraaf..., baraaf...” Penasaran kujengukkan kepala keluar
tenda. Subhanallah…, Salju..., salju...! Saat itu aku benar-benar
menjadi ‘anak kecil’. Jika dulu aku suka hujan-hujanan di kampung
halaman, maka saat itu aku salju-saljuan. Segera aku melompat keluar
tenda menyambut kapas demi kapas salju yang terjun dari pintu-pintu
langit. Saudara-saudara Afghan dan Arab hanya cengar-cengir dan
cengengesan melihat polahku, tapi aku tak peduli. Ya, di negeriku tidak
ada salju. Yang ada hanyalah hujan air, dan setelah itu lahirlah banjir.
Menjelang
delapan pagi, saat akan memulai rutinitas, gunung-gunung di sekitar
kami telah berselimut salju. Puncaknya begitu indah, hampir sama dengan
gambar iklan Hazeline Snow. Di sekeliling kami tanah yang dulu berwarna
coklat kini memutih, begitu juga pepohonan dan bebatuan. Kata penghuni
lama di camp itu, suhu udara mencapai -7 °C (minus tujuh derajat
celcius), jauh di bawah titik beku. Aku sendiri tak pernah mengukur.
Yang jelas, orang sekurus aku mengenakan sekitar 5 lapis pakaian, dan
kadang-kadang 6 lapis jika ditambah jaket wool ala Eropa.
Khost
bukanlah kampus biasa. Bukan kampus orang-orang Eropa atau Amerika yang
mengisi kehidupan mereka dengan segala kemaksiatan dan kemewahan dunia.
Jika mereka kuliah, hanyalah demi kepentingan dunia semata. Khost adalah
sekeping tanah di bentangan-bentangan bumi. Sewaktu-waktu, kapan saja,
musuh bisa menyerang, menghantar mortar, memuntahkan peluru, lalu
terjadilah pertempuran seru. Ajal memang di tangan Allah. Tapi di Khost
dan front-front jihad lain di Afghanistan kematian terasa begitu dekat.
Musuh ada di segala arah. Maut sewaktu-waktu akan menjemput.
***
Siaga
tetap siaga. Waspada tetap waspada. Tetapi ‘indah’ adalah ‘indah’. Main
salju bagiku terlalu indah, subhanallah. Umurku saat itu baru menjelang
dua puluh. Masih ada tersisa rona-rona jahiliyah. Masih ada
guratan-guratan kenangan lama. Tanggal dan harinya lupa sudah. Tetapi
yang jelas di malam hari, langit begitu cerah, gemintang begitu indah
menantang. Cassiopia, jalinan bintang berbentuk ‘W’ kubidik sebagai
sasaran.
Nah…,
tiba-tiba ingatanku jauh ‘terlempar’ ke alam ‘sana’, ke sebuah benua
bernama Asia, terus terlempar ke Asia Tenggara, dan terus ke sebuah
negara dengan ibukota bernama Jakarta. Di sebelah baratnya ada kota
bernama Kalideres, diteruskan lagi ke arah barat. Satu jam kemudian kan
tiba di terminal yang disebut Ciceri. Berjalan saja ke utara yang
sekitar 1000 meter. Maka tibalah di sebuah tempat bernama Cinanggung.
Ada sebuah rumah, Blok F 140.... Duh, ternyata di situlah rumah seorang
wanita yang tempo hari kukirim postcard.
Astaghfirullah!
Segera kusebut asma-Nya, ada apa ini? Segera kuambil teko kecil berisi
air hangat, lalu aku berwudlu, shalat dua rakaat, berbaring. Malam
begitu panjang, mata sukar terpejam. Seperti telah kubilang, ‘indah’
adalah tetap ‘indah’, ingin aku berbagi cerita, tapi dengan siapa?
Dengan saghol-saghol, dengan atap tenda, atau dengan siapa? Ternyata
tidak ada. Ya sudah ‘telan sendiri’ saja. Refleks goresan jahiliyahku
kembali timbul. Running text, penggalan syair Ebiet G. Ade pun
berkelebat, katanya:
Banyak cerita yang mestinya kau saksikan...
Sayang kau tak duduk di sampingku kawan...
Laa ilaha illallah. Astaghfirullahal ‘Azhiim... kembali kusebut asma-asma-Nya.
***
Casio
F-44-w di tanganku menunjukkan angka 4 lebih sedikit. The seven brother,
rangkaian rasi yang terdiri dari 7 bintang telah mengambil posisinya.
Waktu sahur telah tiba, ikhwan-ikhwan yang lain segera kubangunkan.
Beberapa potong daging, sedulang nasi minyak Afghanis, 4 sobek roti nan
dan sambal kentang yang telah kuhangatkan segera kusajikan. Malam itu
memang giliranku sebagai penyaji sahur. Dalam suasana ukhuwah, dengan
penuh kesyukuran kami santap rezeki Allah itu. Sedangkan udara di luar
sana kian menggigit. Pagi semakin dingin.
Jumat
pagi, sinar akhtab (matahari) cukup hangat. Ada sedikit aktivitas yang
kami jalankan demi menjaga stabilitas iman dan stamina jasad. Demi
maintenance niat-niat suci mencari syahid, menghimpun ridha Allah dan
syurga-Nya. Hari itu, dalam salah satu even, Allah mengujiku dengan
sedikit luka yang menimpa sebagian lengan dan kakiku. Aku diam, diriku
dan Allah yang tahu. Aku berharap semoga hal ini kelak akan menjadi
saksi di hari akhirat.
Tetapi setelah itu, lagi-lagi sisa-sisa jahiliyahku mencuat, lalu mengalirlah di batinku,
Mungkinkah kau masih mengharapkanku...
Kini tubuhku penuh dengan luka...
Potongan
syair dari lagu Tommy J. Pisa yang sempat ngetop di masa aku eS-eM-Pe.
Aku seolah-olah berbicara dengan sang mantan Ketua OSIS-ku itu. Suatu
hal yang semestinya sangat tidak pantas dialami oleh lelaki yang sedang
mengejar bidadari sejati di alam surga nanti. Yang sedang mengejar ridha
Allah dan surga-Nya.
Sungguh
aku tak mengerti mengapa hal seperti itu mesti terjadi dan kualami.
Tidak ada faktor pendukung secara lahir, baik dari personal, aktivitas
lingkungan, yang dapat memancing kenangan itu hadir kembali. Pada
sorenya, segera kuingat pesan Umar bin Khattab, “Hisablah dirimu sendiri
sebelum kamu dihisab di akhirat kelak...”
Ya, kini
aku harus menghitung diri, instrospeksi atas segala apa yang terjadi
dan kualami. Aku sangat mengerti bahwa mengingat wanita yang bukan
mahram adalah termasuk zina hati. Mengenang masa lalu dengan mantan
Ketua OSIS adalah juga termasuk dosa-dosa kecil yang akan mengotori
hati. Tetap dosakah jika semua nostalgia itu datang secara surprise, tak
dipaksa? Adakalanya kenangan itu tiba-tiba hadir saat mataku tertumbuk
huruf Z, atau melihat kacamata. Kenapa? Ebiet G. Ade pasti tahu
jawabannya…
Teori
umum mengatakan bahwa kenangan atau lamunan, biasanya timbul saat kita
tidak memiliki kesibukan atau ketika waktu senggang. Tetapi aku tidak,
justru kenangan itu timbul di saat-saat aku sibuk, di saat tanganku
menyandang kalashinkov, di tengah gelegar mortar, di tengah hujan peluru
dan bau mesiu. Saat menghisab diri yang entah untuk kesekian kali,
hampir selalu tak ketemu jawaban. Mengadu pada teman sebaya, atau
konsultasi pada senior? No! aku bukan tipe seperti itu. “Solve Yourself
Problem !” Itu mottoku. Hanya Allah, hanya Allah, dan hanya Allah yang
Maha Tahu. Dialah tempat mengadu.
Akhirnya... Di musim salju tahun kedua, kujumpa jawabannya. Gerangan apa? “SEBAB AKU ADALAH MANUSIA.”
Rabbi...
Telah aku berdoa pada-Mu
Dalam hampir tiap-tiap waktuku.
Aku berkata pada-Mu
Cabutlah segala rinduku, kecuali kerinduan pada-Mu
Dalam simpuh dan sujudku
Selalu aku mengadu
Jangan gugurkan pahalaku
Hanya karena secuil rindu yang mengganggu
Robbie...
Jika Kau takdirkan peluru menembus ulu hatiku
Dan lalu aku menjumpai-Mu
Terimalah ke-syahidanku
Telah aku bertaubat, atas segala kenangan yang kuingat.
Ini ada peluru, ini ada mesiu
Aku rindu Ayah Bunda, aku rindu Si Dia,
Tetapi aku lebih rindu pada-Mu
Saat musim salju tiba
Maka rindu pun menjelma
La hawla wala quwwata illa billah...
saya PAK SLEMET posisi sekarang di malaysia
BalasHapusbekerja sebagai BURU BANGUNAN gaji tidak seberapa
setiap gajian selalu mengirimkan orang tua
sebenarnya pengen pulang tapi gak punya uang
sempat saya putus asah dan secara kebetulan
saya buka FB ada seseorng berkomentar
tentang AKI NAWE katanya perna di bantu
melalui jalan togel saya coba2 menghubungi
karna di malaysia ada pemasangan
jadi saya memberanikan diri karna sudah bingun
saya minta angka sama AKI NAWE
angka yang di berikan 6D TOTO tembus 100%
terima kasih banyak AKI
kemarin saya bingun syukur sekarang sudah senang
rencana bulan depan mau pulang untuk buka usaha
bagi penggemar togel ingin merasakan kemenangan
terutama yang punya masalah hutang lama belum lunas
jangan putus asah HUBUNGI AKI NAWE 085-218-379-259
tak ada salahnya anda coba
karna prediksi AKI tidak perna meleset
saya jamin AKI NAWE tidak akan mengecewakan
SAYA SEKELUARGA INGIN MENGUCAPKAN BANYAK TERIMAH KASIH KEPADA AKI NAWE BERKAT BANTUANNNYA SEMUA HUTANG HUTANG SAYA SUDAH PADA LUNAS SEMUA BAHKAN SEKARAN SAYA SUDAH BISA BUKA TOKO SENDIRI,ITU SEMUA ATAS BANTUAN AKI YG TELAH MEMBERIKAN ANKA JITUNYA KEPADA SAYA DAN ALHAMDULILLAH ITU BENER2 TERBUKTI TEMBUS..BAGI ANDA YG INGIN SEPERTI SAYA DAN YANG SANGAT MEMERLUKAN ANGKA RITUAL 2D 3D 4D YANG DIJAMIN 100% TEMBUS SILAHKAN HUBUNGI AKI NAWE DI 085-218-379-259
BalasHapus