ADA BANYAK hal yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya dalam
pikiran saya ketika Allah memberi kesempatan mengeja hari-hari kami di
belahan bumi yang minoritas muslim. Seperti yang terjadi pada saat kami
takziyah ke suatu tempat di mana akan diselenggarakan shalat jenazah
berikut pemakaman seorang muslim asal Indonesia yang telah lama menetap
di Berlin. Ini adalah pertama kalinya saya mengikuti prosesi pemakaman
seorang muslim di negeri orang dan untuk pertama kali pula mengunjungi
tempat tersebut.
“Subhanallah!” hanya kata itu yang sanggup
terucap ketika memasuki pintu gerbang yang kami tuju. Rasanya tak
percaya memandang apa yang ada di hadapan saya. Penuh rasa takjub saya
tatap lama bangunan berwarna putih berkubah abu-abu yang diapit dua
menara menjulang sekitar 30 meter itu. Rasa haru terasa menyelimuti hati
karena semenjak kami tinggal di Berlin, baru saat itu menyaksikan
sebuah masjid benar-benar dalam bentuk sebagaimana lazimnya. Selama ini
masjid-masjid yang pernah kami datangi di sana, bentuknya tak berbeda
dengan tempat tinggal karena umumnya merupakan bagian dari sebuah
apartemen. Sungguh tak dinyana saya dapat menjumpai “masjid yang
sesungguhnya” di jantung eropa ini.
Masjid yang memukau perhatian saya itu bernama Sehitlik Moschee (masjid Sehitlik) atau
lebih lengkapnya bernama Berlin Turk Sehitlik Camii. Nama tersebut
terpampang di atas pintu gerbang masjid yang dibangun pada tahun 1983
oleh seorang arsitek Turki bernama Hilmi Senalp di kawasan Neukolln
tepatnya di Columbiadamm tak jauh dari bandara udara Tempelhof. Ornamen
bergaya arsitektur Osmani menghiasi setiap sudut masjid tersebut,
benar-benar indah! tak henti hati dan lisan saya memuji kebesaranNya
ketika mengitari setiap ruang dalam masjid tersebut. Allahu Akbar! Apa
yang dirasakan saat itu membuat saya bersujud di hadapan Sang Pemilik
Keindahan.
Seraya menanti jenazah yang sedang dalam proses
dimandikan, saya dan suami beranjak ke luar menyusuri pekarangan masjid.
Ada yang belum sempat kami jelajajah di sana. Di sela-sela taman yang
asri di halaman masjid tersebut, tersembul banyak batu nisan. Ya, banyak
sekali batu nisan! Baru kami sadari masjid tersebut ternyata didirikan
di tengah areal pemakaman. Menurut sejarahnya, areal pemakaman tersebut
telah ada sejak tahun 1863, merupakan sebuah tempat di mana para
diplomat Turki dikebumikan. Kata Sehitlik sendiri berasal dari kata
syahid yang dijadikan nama areal pemakaman tersebut. Mungkin para
diplomat Turki yang telah berjuang untuk meretas hubungan baik dengan
Jerman saat itu dianggap syahid ketika mereka wafat.
Langkah kami
terhenti ketika serangkaian tulisan yang terpahat pada sebuah pusara
menarik perhatian kami. Nama yang tertera di pusara tersebut berbeda
dari yang lainnya. Di situ, tertulis sebuah nama milik seorang Indonesia
bernama Suharto yang wafat berpuluh-puluh tahun silam. Subhanallah!
Maha Kuasa Allah, ajal mendatangi siapa saja kapan pun dan dimana pun
berada. Saya terhenyak beberapa saat dan bersimpuh merasakan
kebesaranNya saat dzikrulmaut di hadapan pusara tersebut.
Sebuah
lantunan suara tiba-tiba sangat jelas terdengar membahana sampai ke
halaman masjid, menandakan waktu zhuhur tiba. Nyaris tak percaya dengan
pendengaran sendiri ketika dapat mendengar adzan berkumandang di udara
bebas Columbiadamm sebagaimana halnya di Indonesia. Padahal selama ini,
kumandang adzan hanya sekedar terdengar oleh orang-orang yang berada
dalam masjid saja. Saya pun bertanya-tanya dalam hati, mungkinkah
dikarenakan masjid tersebut letaknya jauh dari pemukiman warga, sehingga
kumandang adzan seperti di tanah air dapat pula dirasakan di tempat
ini? Allahu Akbar! Untuk kesekian kalinya saya merasakan betapa Maha
Besarnya Allah.
Tentunya semua itu dapat terjadi hanya karena
kuasa Allah semata. Bukan suatu hal yang mustahil bagi Allah pemilik
semesta alam ini untuk menjadikan adzan bergema di manapun termasuk di
wilayah yang muslimnya minoritas. Sungguh! terasa sekali kebesaran Allah
kala meresapi setiap untaian kalimat yang dikumandangkan muadzin
bersuara emas itu, benar-benar menggigilkan hati! dan mengalirkan
ketenangan ke setiap relungnya. Inilah lantunan terindah sepanjang hidup
saya di sana. Saya pun bergegas memenuhi panggilan tersebut, ingin
segera bersujud ke hadapan Allah Azza wa Jalla.
Sehitlik, senang
sekali dapat mengunjungimu, mentafakuri ayat-ayat kauniyahNya yang
berada di sekelilingmu termasuk pusara-pusara yang mengitarimu,
mengingatkan diri akan kefanaan hidup dan untuk selalu dzikrulmaut. Rasa
cemburu tak dapat kubendung pada mereka yang senantiasa memakmurkanmu
juga pada para syahid di balik batu nisan itu karena lima kali dalam
sehari mereka dapat mendengarkan kumandang adzan mengalun bebas darimu,
wahai rumah Allah!
(Sebuah catatan hati ketika pertamakali melihat “masjid”, sebelum menyaksikan keindahan rumah Allah lainnya di Jerman)
Catatan:Ineu Ratna Utami, (Muslimah kini tinggal di Bogor).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar