Istimewa. Inilah kata pas untuk menggambarkan tongkat estafet atas
drama hukum putra bungsu Menko Perekonomian, Rasyid Rajasa. Meski telah
menewaskan dua orang dan divonis hukuman 5 bulan penjara, Rasyid tetap
tidak ditahan. Rasyid baru akan ditahan jika mengulangi kesalahan
serupa, yakni lalai dalam mengemudikan kendaraan hingga menghilangkan
nyawa orang lain.
Sejak awal, kasus yang menimpa pria bernama
lengkap Muhammad Rasyid Amrullah ini memang penuh dengan ketidakadilan.
Usai kecelakaan, jejak Rasyid pun menghilang. Polisi dan keluarga
bungkam saat ditanya di mana Rasyid.
Polisi beralasan bahwa Rasyid
masih trauma dan dirawat di sebuah Rumah Sakit. Namun polisi
merahasiakan di RS mana Rasyid dirawat.
Tak hanya Rasyid Rajasa
yang disembunyikan, mobil BMW SUV X5 juga diistimewakan. Bahkan selama 1
hari mobil tersebut tidak diketahui keberadaannya.
Begitupula
saat menjalani tes urine untuk mengecek apakah Rasyid mengkonsumsi
narkoba atau tidak. Pihak Polda sempat dikritik Anggota Kompolnas,
Bambang Widodo Umar yang meminta tes urine juga dilakukan di rumah sakit
swasta untuk menguji keabsahan bahwa Rasyid terbebas dari Narkoba.
Namun pihak Polda sudah merasa cukup dengan hasil lab Rumah Sakit Polri.
Perlakuan
yang menimpa Rasyid Rajasa tentu berbeda dengan para tertuduh
terorisme. Meski belum tentu bersalah, banyak dari mereka yang langsung
ditembak mati. Tidak ada pengecekan data, apalagi klarifikasi. Vonis
Densus 88 seperti sudah final: Harus Bersalah.
Tidak jarang meski
sudah terbukti tak terkait terorisme, delik lain terus dicari demi
menjebloskan sang target ke dalam penjara. Seperti menimpa Nashiruddin
Ahmad, pimpinan Ponpes Darul Akhfiya, Nganjuk, yang ditangkap dengan
tuduhan memiiki KTP ganda setelah tuduhan terorisme sebelumnya mentah.
Jika
Rasyid Rajasa, bebas meski telah menghilangkan dua nyawa. Almarhum
Bachtiar Abdullah, justru kehilangan nyawa kendati belum pernah
menghilangkan nyawa satu orangpun.
Pria asal Bima, Nusa Tenggara
Barat ini ditembak mati Densus 88 saat mengendarai sepeda motor atas
tuduhan terlibat jaringan Poso. Hingga dua pekan –sejak terbunuh tanggal
5 Januari 2013-, jenazah Bachtiar pun urung dikembalikan Densus 88 ke
kampung halaman. Alasanya, retoris. Pihak warga, katanya, menolak
Bachtiar dimakamkan di Bima.
Apa daya, meski keluarga sudah
mencari keadilan ke Jakarta, jenazah Bachtiar pun akhirnya dikebumikan
di Pondok Rangon, Jakarta, pada 26/1/2013. Pihak keluarga menampik
tuduhan Densus 88 atas keterlibatan almarhum yang kini meninggalkan
seorang istri dan tiga orang anak itu.
“Keluar NTB saja tidak pernah, apalagi ke Poso,” kata adik kandung Bahtiar.
Jika
Hatta Rajasa beserta istri bisa dengan mudah meminta penangguhan
penahanan dengan alasan memulihkan trauma psikis sang anak ke rumah
sakit, maka para terduga teroris tidak akan pernah bisa mencicipi
keistimewaan serupa.
Lihatlah nasib ke-14 warga Poso ketika
menjadi bulan-bulanan aparat setempat. Mereka ditarik paksa dari
rumahnya dan mendapat bogem mentah di sekitar tubuhnya. Salah satunya
menimpa Syafruddin, Guru SMPN 1 Kolara. Selama perjalanan matanya
ditutup. Baru setelah tiga hari ia kemudian dapat melihat.
”Saya
sudah tidak rasa lagi sudah diapakan semua selama dalam perjalanan.
Hanya saja, saat tiba di Polres Poso baru saya rasakan sakit,” ungkap
Syafrudin.
Atau kasus sama juga menimpa Wiwin Kalahe, yang
baru-baru ini heboh setelah video penyiksaan atas dirinya terungkap.
Meski sudah menyerah, Wiwin malah ditembak di punggung hingga tembus ke
dada. Darah terlihat mengucur deras dari tubuhnya meski statusnya adalah
korban konflik masa lalu. “Ini pelanggaran HAM serius,” kata Siane
Indriani, Komisioner Komnas HAM.
Jika Polisi urung mengungkap nama
Rasyid Rajasa sebagai anak Menko Perekonomian di awal-awal kejadian,
nama para terduga teroris justru sudah disebar ke media dan masyarakat.
Tidak segan, polisi membubuhi ciri-ciri pelaku yang bersinggungan dengan
simbol-simbol tertentu dalam ajaran Islam.
Sungguh pedih benar
nestapa keadilan di Indonesia. Hukum seperti kebal bagi mereka yang
memiki status, jabatan, dan uang. Sedangkan bagi Umat Islam, keadilan
itu seperti sebuah kata asing yang entah sampai kapan menjadi akrab di
telinga kita. Mungkin mereka yang berikrar bahwa parlemen adalah ladang
dakwah yang harus direbut, memiliki jawabannya. Atau memang mereka
sendiri juga tidak mempunyai jawabannya. Karena keadilan akan sangat
terasa bagi seluruh manusia ketika Islam tegak dengan jalan khasnya
sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar