data-config="{'skin':'skins/scmGreen/skin.css','volume':100,'autoplay':true,'shuffle':false,'repeat':1,'placement':'top','showplaylist':false,'playlist':[{'title':'Nurul Musthofa-Ya Dzaljalali Wal Ikram ','url':'http://www.youtube.com/watch?v=_eV6T3hpwEA'},{'title':'Nurul Musthofa-Ya Robbi Sholli Ala Muhammad','url':'http://www.youtube.com/watch?v=2vwjFDiMhv0'}]}" >


Rabu, 27 Maret 2013

Antara Rasyid Rajasa Dan Para Terduga Terorisme.

Istimewa. Inilah kata pas untuk menggambarkan tongkat estafet atas drama hukum putra bungsu Menko Perekonomian, Rasyid Rajasa. Meski telah menewaskan dua orang dan divonis hukuman 5 bulan penjara, Rasyid tetap tidak ditahan. Rasyid baru akan ditahan jika mengulangi kesalahan serupa, yakni lalai dalam mengemudikan kendaraan hingga menghilangkan nyawa orang lain.

Sejak awal, kasus yang menimpa pria bernama lengkap Muhammad Rasyid Amrullah ini memang penuh dengan ketidakadilan. Usai kecelakaan, jejak Rasyid pun menghilang. Polisi dan keluarga bungkam saat ditanya di mana Rasyid.

Polisi beralasan bahwa Rasyid masih trauma dan dirawat di sebuah Rumah Sakit. Namun polisi merahasiakan di RS mana Rasyid dirawat.

Tak hanya Rasyid Rajasa yang disembunyikan, mobil BMW SUV X5 juga diistimewakan. Bahkan selama 1 hari mobil tersebut tidak diketahui keberadaannya.

Begitupula saat menjalani tes urine untuk mengecek apakah Rasyid mengkonsumsi narkoba atau tidak. Pihak Polda sempat dikritik Anggota Kompolnas, Bambang Widodo Umar yang meminta tes urine juga dilakukan di rumah sakit swasta untuk menguji keabsahan bahwa Rasyid terbebas dari Narkoba. Namun pihak Polda sudah merasa cukup dengan hasil lab Rumah Sakit Polri.

Perlakuan yang menimpa Rasyid Rajasa tentu berbeda dengan para tertuduh terorisme. Meski belum tentu bersalah, banyak dari mereka yang langsung ditembak mati. Tidak ada pengecekan data, apalagi klarifikasi. Vonis Densus 88 seperti sudah final: Harus Bersalah.

Tidak jarang meski sudah terbukti tak terkait terorisme, delik lain terus dicari demi menjebloskan sang target ke dalam penjara. Seperti menimpa Nashiruddin Ahmad, pimpinan Ponpes Darul Akhfiya, Nganjuk, yang ditangkap dengan tuduhan memiiki KTP ganda setelah tuduhan terorisme sebelumnya mentah.

Jika Rasyid Rajasa, bebas meski telah menghilangkan dua nyawa. Almarhum Bachtiar Abdullah, justru kehilangan nyawa kendati belum pernah menghilangkan nyawa satu orangpun.

Pria asal Bima, Nusa Tenggara Barat ini ditembak mati Densus 88 saat mengendarai sepeda motor atas tuduhan terlibat jaringan Poso. Hingga dua pekan –sejak terbunuh tanggal 5 Januari 2013-, jenazah Bachtiar pun urung dikembalikan Densus 88 ke kampung halaman. Alasanya, retoris. Pihak warga, katanya, menolak Bachtiar dimakamkan di Bima.

Apa daya, meski keluarga sudah mencari keadilan ke Jakarta, jenazah Bachtiar pun akhirnya dikebumikan di Pondok Rangon, Jakarta, pada 26/1/2013. Pihak keluarga menampik tuduhan Densus 88 atas keterlibatan almarhum yang kini meninggalkan seorang istri dan tiga orang anak itu.

“Keluar NTB saja tidak pernah, apalagi ke Poso,” kata adik kandung Bahtiar.

Jika Hatta Rajasa beserta istri bisa dengan mudah meminta penangguhan penahanan dengan alasan memulihkan trauma psikis sang anak ke rumah sakit, maka para terduga teroris tidak akan pernah bisa mencicipi keistimewaan serupa.

Lihatlah nasib ke-14 warga Poso ketika menjadi bulan-bulanan aparat setempat. Mereka ditarik paksa dari rumahnya dan mendapat bogem mentah di sekitar tubuhnya. Salah satunya menimpa Syafruddin, Guru SMPN 1 Kolara. Selama perjalanan matanya ditutup.  Baru setelah tiga hari ia kemudian dapat melihat.

”Saya sudah tidak rasa lagi sudah diapakan semua selama dalam perjalanan. Hanya saja, saat tiba di Polres Poso baru saya rasakan sakit,” ungkap Syafrudin.

Atau kasus sama juga menimpa Wiwin Kalahe, yang baru-baru ini heboh setelah video penyiksaan atas dirinya terungkap. Meski sudah menyerah, Wiwin malah ditembak di punggung hingga tembus ke dada. Darah terlihat mengucur deras dari tubuhnya meski statusnya adalah korban konflik masa lalu. “Ini pelanggaran HAM serius,” kata Siane Indriani, Komisioner Komnas HAM.

Jika Polisi urung mengungkap nama Rasyid Rajasa sebagai anak Menko Perekonomian di awal-awal kejadian, nama para terduga teroris justru sudah disebar ke media dan masyarakat. Tidak segan, polisi membubuhi ciri-ciri pelaku yang bersinggungan dengan simbol-simbol tertentu dalam ajaran Islam.

Sungguh pedih benar nestapa keadilan di Indonesia. Hukum seperti kebal bagi mereka yang memiki status, jabatan, dan uang. Sedangkan bagi Umat Islam, keadilan itu seperti sebuah kata asing yang entah sampai kapan menjadi akrab di telinga kita. Mungkin mereka yang berikrar bahwa parlemen adalah ladang dakwah yang harus direbut, memiliki jawabannya. Atau memang mereka sendiri juga tidak mempunyai jawabannya. Karena keadilan akan sangat terasa bagi seluruh manusia ketika Islam tegak dengan jalan khasnya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar