Korban kejahatan kaum separatis Papua sangat nyata. Tak
tanggung-tanggung, tentara. Bukan satu atau dua orang, tapi delapan
orang. Ditambah lagi empat warga sipil. Tidak hanya kali ini saja,
sebelumnya sudah berapa tentara dan polisi tewas di tangan separatis
Papua.
Tapi, tindakan pemerintah terhadap mereka seolah biasa
saja. Bahkan, pemerintah pun tak mau gegabah mengeluarkan pernyataan
tentang motif serangan itu. Kesan hati-hati pemerintah sangat kentara.
Terhadap motif pilkada yang sempat disampaikan oleh
Kapolda Papua sebelumnya pun, pemerintah pusat menahan diri. "Sampai
saat ini belum ada laporan signifikan terutama dari Kapolri, ini kan
tugas kepolisian. Tunggu saja, saya tidak akan terburu-buru mengambil
kesimpulan sebelum tertangkap dan dimintai keterangan," kata Menko
Polhukam Joko Suyanto di Istana Negara, Jakarta, Jumat (1/3/2013).
"Itu harus jelas, kita tidak boleh berdasarkan asumsi, perkiraan. Penindakan harus tepat, proper, tidak boleh melakukan pelanggaran-pelanggaran," tegas mantan Panglima TNI ini.
Ia juga belum mau menyimpulkan peristiwa penembakan tersebut terkait dengan pemilihan kepada daerah di Papua. Selain itu, mengenai kelompok pengacau keamanan, menurut Joko, sejauh ini masih dianalisa.
"Ada kelompok yang memang bersenjata selama ini mengacau, membunuh. Apakah mereka link-up dengan calon-calon kepala daerah yang nggak jadi? Karena kan mereka kekerabatannya sangat kental. Ya bisa saja, tapi itu analisa dan dari situlah nanti berangkat kalau sudah tertangkap. Kita tanya, disidik, baru ketahuan motifnya," jelasnya.
"Itu harus jelas, kita tidak boleh berdasarkan asumsi, perkiraan. Penindakan harus tepat, proper, tidak boleh melakukan pelanggaran-pelanggaran," tegas mantan Panglima TNI ini.
Ia juga belum mau menyimpulkan peristiwa penembakan tersebut terkait dengan pemilihan kepada daerah di Papua. Selain itu, mengenai kelompok pengacau keamanan, menurut Joko, sejauh ini masih dianalisa.
"Ada kelompok yang memang bersenjata selama ini mengacau, membunuh. Apakah mereka link-up dengan calon-calon kepala daerah yang nggak jadi? Karena kan mereka kekerabatannya sangat kental. Ya bisa saja, tapi itu analisa dan dari situlah nanti berangkat kalau sudah tertangkap. Kita tanya, disidik, baru ketahuan motifnya," jelasnya.
Berbeda
Tindakan pemerintah ini sangat bertolak belakang dengan
penanganan terhadap terorisme. Tidak sempat para korban yang ditembak
oleh Densus 88 berbicara—karena sudah keburu tewas--, pemerintah dengan
cepat menyatakan bahwa mereka teroris. Mereka dikatakan melawan
aparat—meski sebagian tak terbukti.
Bahkan orang-orang yang belum jelas kejahatannya itu
langsung dicap sebagai teroris. Padahal pengadilan terhadap mereka belum
dilakukan. Keluarganya pun diseret-seret sebagai bagian dari terorisme.
Orang-orang yang dicap teroris ini dianggap telah melakukan aksi teror
karena meresahkan masyarakat dan menyerang beberapa pos kepolisian.
Perbedaan sikap pemerintah ini pun terlihat dari sikap
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden terkesan takut memberikan
pernyataan. Ini sangat bertolak belakang dengan berbagai kejadian
terorisme. Ia sangat sigap dan terlihat bertindak sangat cepat serta
penuh kepedulian.
Teroris
Koordinator Indonesian Crime Analyst Forum (ICAF)
Mustafa Nahrawardya heran mengapa tindakan OPM tidak dimasukkan dalam
tindak pidana terorisme. “Padahal sama saja, mereka tidak mau
mendirikan negara tapi mau memisahkan diri, ya teroris juga. Mereka
meneror masyarakat, meneror TNI kok, sekarang definisi teroris itu sudah
jelaslah,” katanya.
Ia mengaku tidak tahu kenapa TNI tidak bisa bertindak
tegas. ”Kalau lihat faktanya, kita lihat sendiri teroris Papua itu
korbannya ada, yang diserang jelas, tetapi kalau teroris kita hanya
mendapat sumber dari polisi bahwa kami diserang, dibenci. Jadi ada
kebohongan. Kita lihat apakah Densus yang bohong atau TNI yang bohong
karena tidak mampu,” tutur Mustafa.
Hal yang sama dikemukakan Ketua Lajnah Siyasiyah DPP HTI
Yahya Abdurrahman. Menurutnya, tindakan-tindakan OPM jelas sebuah teror
dan menciptakan suasana teror di tengah masyarakat.
Tetapi, lanjutnya, tetap saja pemerintah tidak mau
menyebut ini sebagai tindakan teror. Tidak ada tindakan tegas, seperti
ketika ada sebagaian kelompok Islam yang diduga sebagai teroris. Bahkan
pemerintah terkesan menghindari pengaitan antara tindakan teroris Papua
itu sebagai sebuah teroris atau ada kaitannya dengan Papua merdeka.
Ketua PP Muhammadiyah pun menegaskan di Mabes Polri
bahwa tindakan OPM sama saja dengan aksi terorisme. "Itu harus dianggap.
Itu yang kami anggap kurang keras (penindakannya). Itu juga teroris
yang terjadi saat ini bahkan kepada aparat negara," ujar Wakil Ketua
Umum MUI Pusat ini mewakili Ormas Islam.
Melebihi Teroris
Hal yang agak berbeda disampaikan oleh Ketua Dewan Pembina Tim Pengacara Muslin (TPM) Mahendradatta. Menurutnya,
tindakan OPM itu jauh lebih berat daripada terorisme karena mereka mau
memisahkan diri. Sehingga, mereka tidak lagi harus diadili dengan UU RI
tapi diadili menurut hukum perang. Karenanya, TNI harus turun tangan
memberantasnya.
Ia menekankan, separatisme ini lebih
berat daripada terorisme. “Maka dari itu mereka itu harus dianggap
sebagai musuh dari luar. Karena mereka ada di dalam negeri maka harus
dihukum pakai hukum militer atau setidaknya Mahkamah Luar Biasa atau
setara dengan Mahkamah Militer Luar Biasa,” kata Mahendra.
Seperti Mustafa, Mahendradatta pun heran mengapa
tindakan pemerintah begitu lemah. Ini, katanya, menunjukkan pemerintah
tidak mempunyai kesiapan penuh untuk menghadapi serangan dari luar.
“Kita ini terlalu banyak menjadi jagoan di negeri sendiri. Kalau
menghadapi terorisme pemerintah itu kan kasar, nyerang
ke mana-mana. Tetapi menghadapi serangan dari luar aja
(separatisme,red) yang ini saja, kakinya masih di dalam, lembek sekali,
apalagi yang benar-benar dari luar?” paparnya.
Ia secara khusus mengusulkan dibentuk Detasemen Khusus
Anti Separatisme—sejenis Densus 88—dan Badan Nasional Penanggulangan
Separatisme—sejenis BNPT. “Kalau tidak, maka benarlah dugaan selama ini
bahwa pemerintah punya agenda khusus dengan menggunakan istilah
“terorisme” itu hanya untuk menghabisi orang-orang Islam. Maaf. Karena
sampai hari ini pun tidak ada tersangka terorisme yang bukan beragama
Islam,” tandas Mahendra.
Nasionalis Tiarap
Sikap pemerintah ini setali tiga uang dengan sikap
orang-orang yang mengaku nasionalis. Mereka diam seribu bahasa terhadap
kejadian di Papua. Tidak ada pernyataan yang menyerang OPM atau
pihak-pihak yang ada di belakangnya.
Jargon mereka yang selama ini disuarakan dengan sangat
keras ‘NKRI Harga Mati’ tak ada wujud nyatanya. Papua yang ada dalam
bahaya karena ada sebagian orang yang berusaha melepaskannya dari NKRI
dibiarkan saja. Mereka tidak protes terhadap tindakan pemerintah yang
lembek. Mereka tak mengecam orang-orang Papua yang ingin merdeka.
Sikap ini sangat bertolak belakang dengan sikap mereka
terhadap umat Islam yang ingin menerapkan syariah Islam di Indonesia
secara kaffah. Mereka mengecam habis-habisan dengan mengatakan ‘orang
Islam tidak nasional’, ‘orang Islam memecah belah persatuan’ dan
sebagainya. Padahal, apa yang disuarakan kaum Muslimin itu baru dalam
tahap pemikiran. Itu pun sudah diserang.
Walhasil, seperti yang dikatakan oleh Mahendradatta,
jangan-jangan orang-orang yang mengaku nasionalis ini berteriak-teriak
lantang hanya untuk menghalangi bangkitnya Islam di negeri ini. Mereka
diam jika orang-orang asing yang memiliki kepentingan mencaplok
Indonesia dan mengeruk kekayaannya. Apakah orang seperti ini dikatakan
nasionalis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar