data-config="{'skin':'skins/scmGreen/skin.css','volume':100,'autoplay':true,'shuffle':false,'repeat':1,'placement':'top','showplaylist':false,'playlist':[{'title':'Nurul Musthofa-Ya Dzaljalali Wal Ikram ','url':'http://www.youtube.com/watch?v=_eV6T3hpwEA'},{'title':'Nurul Musthofa-Ya Robbi Sholli Ala Muhammad','url':'http://www.youtube.com/watch?v=2vwjFDiMhv0'}]}" >


Senin, 11 Maret 2013

Celana Dungu.

SAYA tidak habis pikir, mengapa setiap berada di tempat publik selalu mendapati perempuan bercelana pendek ketat (hot pants). Celana yang dipandang tidak hanya seksi bagi penggunanya, namun juga mencermintkan kemajuan, moderen, dan mengerti perkembangan zaman. Sayang, sebagaimana biasa, warga kita hanya meniru tanpa melihat ekses sampingnya. Tidak mau mati gaya menjadi nomor pertama, urusan dampak belakangan saja.

Kalau menyandarkan pada dalih hak asasi dan kebebasan berekspresi, silakan saja. Ini logika kelas menengah yang mapan. Mereka suka-suka dengan gaya hidupnya. Egoistik pembawaannya. Nah, bagaimana dengan peniru yang masih labil dan hanya menerima sebagian saja dari pesona celana pendek itu? Saya tidak yakin yang hadir di benak pemandangnya adalah estetika dan budaya tinggi. Yang ada justru birahi.

Mari jujur, mengapa seorang ayah sekalipun tega menodai kesucian putrinya sendiri hanya karena tergiur pada kebiasaan si anak bercelana pendek ketika tidur? Si ayah memang salah kurang ajar. Tapi, akankah kita biarkan kebiasaan atas nama menyalahkan naluri syahwat lelaki dan membela buta hasrat konsumsi celana pendek?

Mari bertoleransi, gunakan hot pants pada jalur yang tepat. Di depan pasangan resmi saja, dan itu pun lebih baik ketika tidak di tengah anak-anak tercinta. Saya sering miris melihat seorang ibu yang ‘tega’ bermini ria dengan celana ala kadarnya, sementara sang anak tidak diberi kesempatan mengetahui soal etika. Tidak heran ketika si putri beranjak remaja, ia meniru ibundanya. Konyolnya ada juga sebaliknya, si anak berjilbab lucu, sementara ibunya menjemput di sekolah dengan tanpa ragu bermini ria!

Terminal,bandara sering kali jadi ajang pamer paha yang tidak kenal situasi. Mal juga sudah jamak menjadi wahana penyaluran gaya dungu para perempuan kita. Tidak pandang cuaca, hujan deras sekalipun celana kebanggaannya digunakan. Betul-betul tidak kenal toleransi, termasuk pada imunitas tubuh si pemakai pada suhu udara.

Tetangga saya malah lebih drastis lagi. Dari mereka bisa menjadi penciri, walaupun harus berhati-hati menudingnya. Remaja yang kemaruk berhot pants, menjadi indikasi awal kepedulian mereka pada soal virginitas. Malu, walau ini di tanah Yogyakarta dan di tengah kampung pula, dihempaskan. Pertana celaka. Benar saja, tidak lama tersiar hamil pranikah menjadi warta yang masuk di telinga.

Saya iba pada pemakai celana peniru selebritas, yang juga dungu bukan ajar. Katakanlah dipakai saat ke mal. Sudah di jalan dipamer di rintik hujan, terciprati mobil di sisi saat ia dibonceng kekasihnya, pas di mal tubuh yang harusnya ditutupi itu tergores lagi. Ya, demi mode, sekali lagi, semua dikerjakan meski nalar dan hati awalnya menolak keras.

Saya berpikir,  dalam kacamata agama saya, itu si pelopor dan pembudaya hot pants dosanya bukan kepalang akibat banyaknya salah guna rancangan fashion bikinannya. Sudah adat dilabrak, agama pun dibuang di keranjang baju. Belum lagi dari segi kesehatan, apakah terjami aman dan nyaman. Dari sisi keamanan? Jangan tanya dan jangan salahkan tindak ekses bagi pemakai. Mode, duh mode.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar