15 Tahun sudah reformasi digulirkan sejak Presiden Soeharto digulingkan oleh rangkaian demonstrasi mahasiswa dan rakyat. Krisis ekonomi tahun 1998 salah satu pemicu utama Soeharto lengser selain kemuakan atas rezim represif yang berkuasa selama 32 tahun.
Bagi yang membencinya, Soeharto adalah penjahat kemanusiaan, pelanggar HAM, pelaku korupsi, kolusi dan nepotisme yang menggurita. Di zaman Soeharto , kebebasan berekspresi dan berpendapat dibungkam. Kalangan aktivis pro demokrasi tentu yang paling merasakan.
Budiman Sudjatmiko
misalnya. Anggota DPR dari PDI Perjuangan ini kenyang merasakan tekanan
aparat keamanan semasa dirinya menjadi Ketua Umum Partai Rakyat
Demokratik (PRD). Dicap komunis dan dituduh makar sebagai buntut dari
bentrok penyerangan markas PDI pada 27 Juli 1996, Budiman divonis oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan hukuman penjara 13 tahun tapi
kemudian mendapat grasi dari Presiden BJ Habibie saat reformasi. Grasi
itu ditolak oleh Budiman dkk. Mereka baru mau keluar dari penjara pada
pada 10 Desember 1999 setelah Presiden Gus Dur memberikan amnesti.
Dalam sebuah komentarnya yang pernah dikutip media massa, Budiman Sudjatmiko menegaskan sikapnya soal Soeharto . "Semua yang bicara soal pemaafan terhadap Soeharto tidak memiliki hak moral untuk menyatakan hal tersebut. Yang berhak memberikan maaf kepada Soeharto adalah para korban yang kehilangan harga diri."
Demikian
juga dengan Adian Napitupulu, mantan Ketua Forum Kota atau Forum
Komunitas Mahasiswa Se-Jabotabek yang menjadi pentolan demonstran
mahasiswa tahun 1998 menilai Soeharto tidak layak dimaafkan. Apalagi sampai diberi gelar pahlawan.
Aktivis
yang juga Ketua Umum Partai Buruh Muchtar Pakpahan juga pernah
mengatakan, saat ini rakyat perlu diberikan penjelasan bahwa ekonomi
yang terpuruk selama ini merupakan hasil dari tindakan Soeharto yang diteruskan oleh para kroninya.
Sedangkan Ratna Sarumpaet, seniman dan aktivis yang pernah diburu aparat keamanan di era Soeharto karena membuat karya seni tentang DOM di Aceh, Marsinah dan G 30 S PKI menilai, semasa memimpin, Soeharto telah melakukan kejahatan kemanusiaan, kejahatan ekonomi dan kejahatan politik yang luar biasa.
Usman Hamid, mantan koordinator Kontras pun menilai, banyak kasus yang terjadi di masa pemerintahan Soeharto
yang tidak bisa diselesaikan sampai sekarang. Misalnya kasus
pembantaian selama tahun 1965 sampai 1970, penembakan misterius,
kerusuhan Timor Timur, masalah Daerah Operasi Militer di Aceh,
pelanggaran HAM di Papua, pembunuhan dukun santet, kasus Talangsari,
kasus Marsinah, kasus TSS, sampai penculikan aktivis.
Namun
belakangan, mulai muncul suara-suara yang mengkritisi reformasi.
Perubahan rezim tidak menghasilkan perubahan kehidupan yang lebih baik.
Ekonomi kian sulit, meski pemerintah menggembar-gemborkan pertumbuhan
ekonomi yang katanya mencapai 6 persen dan terbaik di Asia.
Masyarakat
merasakan sebaliknya. Akses terhadap kesehatan, pendidikan, hingga
pekerjaan dengan upah yang layak masih sulit. Muncullah kemudian semacam
frustrasi sosial yang muncul dalam gambar di bak truk bergambar Soeharto sambil tersenyum yang bertuliskan 'Isih penak zamanku tho le?' tulisan itu berarti 'masih enak zamanku kan nak?'
Melihat
kondisi Indonesia saat ini, bekas Perdana Menteri Malaysia Mahathir
Mohammad bahkan mengatakan Indonesia sangat membutuhkan sosok pemimpin
seperti Pak Harto. Menurut dia, di era Soeharto , rakyat Indonesia lebih sejahtera.
Namun pernyataan itu langsung dimentahkan mantan aktivis 98, Ray Rangkuti. Menurutnya, justru saat memimpin, Soeharto
hanya berorientasi pada bagaimana orang bisa kenyang, dengan makan dan
minum alias urusan perut. Hal itulah yang menjadi cikal bakal lahirnya
sikap otoriter.
"Puncak peradaban manusia saat itu yang penting
bisa makan dan minum. Kalau negara menyediakan itu, bagi Pak Harto
itulah masyarakat yang sehat," ujar Ray saat berbincang dengan
merdeka.com, Senin (14/5).
Padahal, lanjut Ray, kesejahteraan
yang demikian justru membuat rakyat tidak berkembang dan membuat sistem
pemerintahan menjadi otoriter. "Karena saat itu tidak ada masyarakat
yang bisa diajak berorganisasi, berekspresi dan juga mengeluarkan
pendapat. Sekali berpendapat tahu-tahu hilang begitu saja tidak
meninggalkan jejak," kata Ray.
"Jadi otak manusia saat itu tidak
terpakai. Padahal sudah seyogyanya manusia diberikan akal untuk berpikir
dan tidak juga selalu memikirkan urusan perut," ucapnya sinis.
Dia tak yakin sepenuhnya dengan ucapan segelintir orang yang menyebut masa Soeharto lebih enak dibandingkan saat ini. Penilaian yang demikian menurutnya hanya bualan belaka.
"Masyarakat
yang seperti itu ialah mereka yang hanya membayangkan urusan perut
bukan otak. Yang penting bisa makan dan minum. Nggak bisa diajak
berdiskusi, mengeluarkan pendapat dan mengkritik. Mereka juga nggak
merasakan dikejar-kejar polisi, rumahnya diintai, diikutin lalu
diculik," tegas pria yang kini juga menjadi pengamat politik.
Ray
juga tidak setuju dengan stigma yang mengatakan saat ini sedang terjadi
krisis demokrasi yang kebablasan. Justru dia menilai itu bagian dari
kebebasan berekspresi yang dulunya sulit untuk dilakukan.
"Kalau tolak ukurnya zaman Soeharto
ya kebablasan. Tapi yang terjadi saat ini ialah kebebasan berekspresi
yang sedang terkonstruksi. Sekarang masyarakat sedang naik kelas.
Bayangkan selama 32 tahun kebebasan berekspresi kita dikekang, dan
sekarang sedang pada tahap euforia mengeluarkan pendapat, mengkritisi
dan berdiskusi," tandasnya.
Sementara pengamat politik dari
Charta Politika Yunarto Wijaya mengakui, saat ini secara politik memang
masyarakat tidak cukup puas dengan masa reformasi, terutama pada periode
2009-2014. "Hal ini terjadi karena kondisi saat ini secara konstelasi
politik sangat ekstrem, sehingga terkesan seperti ada wilayah tak
bertuan. Dan harus kita akui, rezim Soeharto punya kelebihan, ekonomi makro dan stabilitas politik," ujar dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar