Kiai Abbas Buntet, selain menjadi salah seorang tokoh sentral NU,
juga pengasuh Pondok Pesantren Buntet, Cirebon. Pesantren tersebut,
hingga saat ini terus tumbuh dan berkembang. Di sana, bukan saja
menggelar kitab kuning, tapi mengobarkan semangat juang.
Kualitas
pengajian dan kharisma seorang kiai merupakan daya tarik utama dalam
sistem pendidikan pesantren Salaf. Dan ini tetap dipertahankan dalam
sistem pendidikan pesantren Buntet sebabagi sosok pesantren salaf yang
tidak pernah kehilangan pesona dan peran dalam dunia modern.
Tersebutlah
saat ini peran sosial politik yang diambil kiai Abdullah Abbas, selalu
menjadi rujukan para pemimpin nasional. Tidak hanya karena pengikutnya
banyak, tetapi memang nasehat dan pandangannya sangat berisi. Semuanya
itu tidak diperoleh begitu saja, melainkan hasil pergumulan panjang,
yang penuh pengalaman dan pelajaran, sehingga membuat para tokoh matang
dalam kanacah perjuangan.
Kiai Abdullah bukan sekedar tokoh yang
berperan karena mengandalkan popularitas keluarga atau keturunannya.
Semuanya itu tidak terlepas dari peran para pendahulu pesantren Buntet,
ayah Kiai Abdullah sendiri yaitu Kiai Abbas, seorang ulama besar yang
mampu memadukan kitab kuning dan ilmu kanuragan sekaligus, sebagai
sarana perjuangan membela umat.
Kiai Abbas adalah putra sulung KH
Abdul Jamil yang dilahirkan pada hari Jumat 24 Zulhijah 1300 H atau 25
Oktober 1800 M di desa Pekalangan, Cirebon. Sedangkan KH Abdul Jamil
adalah putra dari KH. Muta’ad yang tak lain adalah menantu pendiri
Pesantren Buntet, yakni Mbah Muqayyim salah seorang mufti di Kesultanan
Cirebon.
Ia menjadi Mufti pada masa pemerintahan Sultan
Khairuddin I, Sultan Kanoman yang mempunyai anak Sultan Khairuddin II
yang lahir pada tahun 1777. Tetapi Jabatan terhormat itu kemudian
ditinggalkan semata-mata karena dorongan dan rasa tanggungjawab terhadap
agama dan bangsa.
Selain itu juga karena sikap dasar politik
Mbah Muqayyim yang non-cooperative terhadap penjajah belanda – karena
penjajah secara politik saat itu sudah “menguasai” kesultanan Cirebon.
Setelah
meninggalkan Kesultanan Cirebon, maka didirikanlah lembaga pendidikan
pesantren tahun 1750 di Dusun Kedung Malang, desa Buntet, Cirebon yang
petilasannya dapat dilihat sampai sekarang berupa pemakaman para
santrinya. Untuk menmghindari desakan penjajah Belanda, ia selalu
berpindah-pindah. Sebelum berada di Blok Buntet, (desa Martapada Kulon)
seperti sekarang ini, ia berada di sebuah daerah yang disebut Gajah
Ngambung. Disebut begitu, konon, karena Mbah Muqayyim dikhabarkan
mempunyai gajah putih.
Setelah itu juga masih terus berpindah
tempat ke Persawahan Lemah Agung (masih daerah Cirebon), lantas ke
daerah yang diebut Tuk Karangsuwung. Bahkan, lantara begitu gencarnya
desakan penjajah Belanda (karena sikap politik yang non-cooperative),
Mbah Muqayyim sampai “hijrah” ke daerah Beji, Pemalang, Jawa Tengah,
sebelum kembali ke daerah Buntet, Cirebon. Hal itu dilakukan karena
hampir tiap hari tentara penjajah Belanda melakukan patroli ke daerah
pesantren. Sehingga suasana pesantren, mencekam, tapi para santri tetap
giat belajar sambil terus begerilya, bila malam hari tiba.
Semuanya
itu dijalani dengan tabah dan penuh harapan, sebab Mbah Qoyyim selalu
mendampingi mereka. Sementara bimbingan Mhah Qoyyim selalu meraka
harapkan sebab kiai itu dikenal sebagai tokoh yang ahli tirakat
(riyadlah) untuk kewaspadaan dan keselamatan bersama. Ia pernah
berpuasa tanpa putus selama 12 tahun. Mbah Muqayyim niat puasanya yang
dua belas tahun itu dalam empat bagian.
Tiga tahun pertama,
ditunjukkan untuk keselamatan Buntet Pesantren. Tiga tahun kedua untuk
keselamatan anak cucuknya. Tiga tahun yang ketiga untuk para santri dan
pengikutnya yang setia. Sedang tiga tahun yang keempat untuk keselamatan
dirinya. Saat itu Mbah Muqayyimlah peletak awal Pesantren Buntet, sudah
berpikir besar untuk keselamatan umat Islam dan bangsa. Karena itu
pesantren rintisannya hingga saat ini masih mewarisi semangat tersebut.
Sejak zaman pergerakan kemerdekaan, dan ketika para ulama mendirikan
Nahdlatul Ulama, pesantren ini menjadi salah satu basis kekuatan NU di
Jawa Barat.
Dengan demikian, pada dasarnya Kiai Abbas adalah dari
keluarga alim karena itu pertama ia belajar pada ayahnya sendiri, KH
Abdul Jamil. Setelah menguasai dasar-dasar ilmu agama, baru pindah ke
pesantren Sukanasari, Plered, Cirebon di bawah pimpinan Kiai Nasuha.
Setelah itu, masih didaerah Jawa Barat, ia pindah lagi ke sebuah
pesantren salaf bdi daerah Jatisari di bawah pimpinan Kiai Hasan. Baru
setelah itu keluar daerah, yakni ke sebuah pesantren di Jawa Tengah,
tepatnya di kabupaten Tegal yang diasuh oleh Kiai Ubaidah.
Setelah
berbagai ilmu keagamaan dikuasai, selanjutnya ia pindah ke pesantren
yang sangat kondang di Jawa Timur, yakni Pesantren Tebuireng, Jombang di
bawah asuhan Hadratusyekh Hasyim Asy’ari, tokoh kharismatik yang
kemudian menjadi pendiri NU.
Pesantren Tebuireng itu menambah kematangan kepribadian Kiai Abbas,
sebab di pesantren itu ia bertemu dengan para santri lain dan kiai yang
terpandang seperti KH Abdul Wahab Hasbullah (tokoh dan sekaligus arsitek
berdirinya NU) dan KH Abdul Manaf yang turut mendirikan pesantren
Lirboyo, kediri Jawa Timur.
Walaupun keilmuannya sudah cukup
tinggi, namun ia seorang santri yang gigih, karena itu tetap berniat
memperdalam keilmuannya dengan belajar ke Mekkah
Al-Mukarramah. Beruntunglah ia belajar ke sana, sebab saat itu masih ada
ulama Jawa terkenal tempat berguru, yaitu Syekh Machfudz Termas (asal
Pacitan, Jatim) yang karya-karyanya masyhur itu.
Di Mekkah, ia
kembali bersama-sama dengan KH. Bakir Yogyakarta, KH. Abdillah Surabaya
dan KH. Wahab Chasbullah Jombang. Sebagai santri yang sudah matang, maka
di waktu senggang Kiai Abbas ditugasi untuk mengajar pada para
mukminin (orang-orang Indonesia yang tertinggal di Mekkah). Santrinya
antara, KH Cholil Balerante- Palimanan, KH Sulaiman Babakan, Ciwaringin
dan santri-santri lainnya.
Dengan bermodal ilmu pengetahuan yang
diperoleh dari berbagai pesantren di Jawa, kemudian dipermatang lagi
dengan keilmuan yang dipelajari dari Mekah, serta upayanya mengikuti
perkembangan pemikiran Islam yang terjadi di Timur Tengah pada umumnya,
maka mulailah Kiai Abbas memegang tampuk pimpinan Pesantren Buntet,
warisan dari nenek moyangnya itu dengan penuh kesungguhan. Dengan modal
keilmuan yang memadai itu membuat daya tarik pesantren Buntet semakin
tinggi.
Sebagai seorang kiai muda yang energik ia mengajarkan
berbagai khazanah kitab kuning, namun tidak lupa memperkaya dengan ilmu
keislaman modern yang mulai berkembang saat itu. Maka kitab-karya ulama
Mesir seperti tafsir Tontowi Jauhari yang banyak mengupas masalah ilmu
pengetahuan itu mulai diperkenalkan pada para santri. Demikian juga
tafsir Fahrurrozi yang bernuansa filosofis itu juga diajarkan. Dengan
adanya pengetahuan yang luas itu pengajaran ushul fiqih mencapai
kemajuan yang sangat pesat, sehingga pemikiran fiqih para alumni Buntet
sejak dulu sudah sangat maju. Sebagaimana umumnya pesantren fiqih memang
merupakan kajian yang sangat diprioritaskan, sebab ilmu ini menyangkut
kehidupan sehari-hari masyarakat.
Dengan sikapnya itu, nama Kiai
Abbas dikenal keseluruh Jawa, sebagai seurang ulama yang alim dan
berpemikiran progresif. Namun demikian ia tetap rendah hati pada para
santrinya, misalnya ketika ditanya sesuai yang tidak menguasasi, atau
ada santri yang minta diajari kitab yang belum pernah dikajianya ulang,
maka Kiai Abbas terus terang mengatakan pada santrinya bahwa ia belum
menguasasi kitab tersebut, sehingga perlu waktu untuk menelaahnya
kembali.
Walaupun namanya sudah terkenal diseantero Jawa, baik
karena kesaktiannya maupun karena kealimannya, tetapi Kiai Abbas tetap
hidup sederhana. Di langgar yang beratapkan genteng itu, ada dua kamar
dan ruang terbuka cukup lebar dengan hamparan tikar yang terbuat dari
pandan. Di ruang terbuka inilah kiai Abbas menerima tamu tak
henti-hentinya. Setiap usai shalat Duhur atau Ashar, sebuah langgar yang
berada di pesantren Buntet, Cirebon itu selalu didesaki para tamu.
Mereka
berdatangan hampir dari seluruh pelosok daerah. Ada yang datang dari
daerah sekitar Jawa Barat, Jawa Tengah bahkan juga ada yang dari Jawa
Timur. Mereka bukan santri yang hendak menimba ilmu agama, melainkan
inilah masyarakat yang hendak belajar ilmu kesaktian pada sang guru.
Walaupun
saat itu, Kiai Abbas sudah berumur sekitar 60 tahun, tetapi tubuhnya
tetap gagah dan perkasa. Rambutnya yang lurus dan sebagian sudah
memutih, selalu di tutupi peci putih yang dilengkapi serban – seperti
lazimnya para kiai.
Dalam tradisi pesantren, selain dikenal
dengan tradisi ilmu kitab kuning, juga dikenal dengan tradisi ilmu
kanuragan atau ilmu bela diri, yang keduanya wajib dipelajari. Apalagi
dalam menjalankan misi dakwah dan berjuang melawan penjahat dan
penjajah. Kehadiran ilmu kanuragan menjadi sebuah keharusan.
Oleh
karena itu ketika usianya mulai senja, sementara perjuangan kemerdekaan
saat itu sedang menuju puncaknya, maka pengajaran ilmu kanuragan dirasa
lebih mendesak untuk mencapai kemerdekaan. Maka dengan berat hati
terpaksa ia tinggalkan kegiatannya mengajar kitab-kitab kuning pada
ribuan santrinya. Sebab yang menangani soal itu sudah diserahkan
sepenuhnya pada kedua adik kandungnya, KH Anas dan KH Akyas.
Ketika
memasuki masa senjanya, Kiai Abbas lebih banyak memusatkan perhatian
pada kegiatan dakwah di Masyarakat dan mengajar ilmu-ilmu kesaktian atau
ilmu beladiri, sebagai bekal masyarakat untuk melawan penjajah.
Tampaknya ia mewarisi darah perjuangan dari kakeknya yaitu Mbah Qoyyim,
yang rela meninggalkan istana Cirebon karena menolak kehadiran Belanda.
Dan kini darah perjuangan tersebut sudah merasuk ke cucunya. Karena itu,
Kiai Abbas mulai merintas perlawanan, dengan mengajarkan berbagai ilmu
kesaktian padsa masyarakat.
Tentu saja yang berguru pada Kiai
Abbas bukan orang sembarangan, atau pesilat pemula, melainkan para
pendekar yang ingin meningkatkan ilmunya dan memperkaya jiwanya. Maka
begitu kedatangan tamu ia sudah bisa mengukur seberapa tinggi kesaktian
mereka, karena itu Kiai Abbas menerima tamu tertentu langsung dibawa
masuk ke kamar pribadinya.
Dalam kamar mereka langsung dicoba
kemampuannya dengan melakukan duel, sehingga membuat suasana gaduh. Baru
setelah diuji kemampuannya sang kiai mengijazahi berbagai amalan yang
diperlukan, sehingga kesaktian dan kekebalan mereka bertambah.
Dengan gerakan itu maka pesantren Buntet dijadikan sebagai markas
pergerakan kaum Republik untuk melawan penjajahan. Mulai saat itu
Pesantren Buntet menjadi basis perjuanagan umat Islam melawan penjajah
yang tergabung dalam barisan Hizbullah.
Sebagaimana Sabilillah, Hizbullah juga merupakan kekuatan yang
tangguh dan disegani musuh, kekuatan itu diperoleh berkat
latihan-latihan berat yang diperoleh dalam pendidikan PETA (Pembela
Tanah Air) di Cibarusa semasa penjajahan Jepang. Organisasi perjuangan
umat Islam ini didirikan untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah.
Anggotanya terdiri atas kaum tua militan. Organisasi ini di Pesantren
Buntet, diketuai Abbas dan adiknya KH Anas, serta dibantu oleh ulama
lain seperti KH Murtadlo, KH Soleh dan KH Mujahid.
Karena itu
muncul tokoh Hizbullah di zaman pergerakan Nasional yang berasal dari
Cirebon seperti KH Hasyim Anwar dan KH Abdullah Abbas, putera Kiai
Abbas. Ketika melakukan perang gerilya, tentara Hizbullah memusatkan
pertahahannya di daerah Legok, kecamatan Cidahu, kabupaten Kuningan,
dengan front di perbukitan Cimaneungteung yang terletak di dareah Waled
Selatan membentang ke Bukit Cihirup Kecapantan Cipancur, Kuningan.
Daerah tersebut terus dipertahankan sampai terjadinya Perundingan
Renville yang kemudian Pemerintah RI beserta semua tentaranya hizrah ke
Yogyakarta.
Selain mendirikan Hisbullah, pada saat itu di Buntet
Pesantren juga dikenal adanya organisasi yang bernama Asybal. Inilah
organisasi anak-anak yang berusia di bwah 17 tahun. Organisasi ini
sengaja dibentuk oleh para sesepuh Buntet Pesantren sebagai pasukan
pengintai atau mata-mata guna mengetahui gerakan musuh sekaligus juga
sebagai penghubung dari daerah pertahanan sampai ke daerah front
terdepan. Semasa perang kemerdekaan itu, banyak warga Buntet Pesantren
yang gugur dalam pertempuran. Di antaranya adalah KH Mujahid, kiai Akib,
Mawardi, Abdul Jalil, Nawawi dan lain-lain.
Basis
kekuatan laskar yang dibangun oleh Kiai Abbas itu kemudian menjadi pilar
penting bagi tercetusnya revolusi November di surabaya tahun 1946.
Peristiwa itu terbukti setelah Kiai Hasyim Asyari mengeluarkan resolusi
jihad pada 22 Oktober 1946, Bung Tomo segera datang berkonsultasi pada
KH Hasyim Asy’ari guna minta restu dimulainya perlawanan terhadap
tentara Inggris.
Tetapi kiai Hasyim menyarankan agar perlawanan
rakyat itu jangan dimulai terlebih dahulu, sebelum Kiai Abbas, sebagai
Laskar andalannya, datang ke Surabaya. Memang setelah itu laskar dari
pesantren Buntet, di bawah pimpinan KH. Abbas beserta adiknya KH. Anas,
mempunyai peran besar dalam perjuangan menentang tentara Inggris yang
kemudian dikenal dengan peristiwa 10 november 1945 itu.
Atas
restu Hadratus Syaikh, ia terlibat langsung dalam pertempuran Surabaya
tersebut. Selanjutnya kiai Abbas juga mengirimkan para pemuda yang
tergabung dalam tentara Hizbullah ke berbagai daerah pertahanan untuk
melawan penjajah yang hendak menguasai kembali republik ini, seperti ke
Jakarta, Bekasi, Cianjur dan lain-lain.
Dialah santri yang
mempunyai beberapa kelebihan, baik dalam bidang ilmu bela diri maupun
ilmu kedigdayaan. Dan tidak jarang, Kiai Abbas diminta bantuan khusus
yang berkaitan dengan keahliannya itu. Hubungan Kiai Hasyim dengan Kiai
Abbas memang sudah lama terjalin, terlihat ketika pertama kali Kiai
Hasyim Asy’ari mendirikan pesantrean Tebuireng, Kiai sakti dari Cirebon
itu banyak memberikan perlindungan, terutama saat diganggu oleh para
penjahat setempat, yang merasa terusik oleh kehadiran pesantren
Tebuireng.
Sekitar tahun 1900, Kiai Abbas datang dari Buntet
bersama kakak kandungnya, Kiai Soleh Zamzam Benda Kerep, Kiai Abdullah
Pengurangan dan Kiai Syamsuri Wanatar. Berkat kehadiran mereka itu para
penjahat yang dibeking oleh Belanda, penguasa pabrik gula Cukir itu
tidak lagi ang mengganggu pesantren tebuireng kapok tidak berani
mengganggu lagi.
Tradisi pesantren antara kanuragan, moralitas
dan kitab kuning saling menopang, tanpa salah satunya yantg lain tidak
berjalan, karena itu semua merupakan tradisi dalam
totalitasnya. Walaupun revolusi November dimenangkan oleh laskar
pesantren dengan penuh gemilang, tetapi hal itu tidak membuat mereka
terlena, sebab Belanda dengan kelicikannya akan selalu mencari celah
menikam Republik ini. Karena itu Kiai Abbas selalu mengikuti
perkembangan politik, baik di lapanagan maupun di meja perundingan.
Sementara laskar masih terus disiagakan. Berbagai latihan terus digelar,
terutama bagi kalangan muda yang baru masuk kelaskaran. Berbagai daerah
juga dibuka simpul kelaskaran yang siap menghadapi kembalinya
penjajahan.
Di tengah gigihnya perlawanan rakyat terhadap
penjajah, misi diplomasi juga dijalankan, semuanya itu tidak terlepas
dari perhatian para ulama. Karena itu betapa kecewanya para pejuang,
termasuk para ulama yang memimpin perang itu, ketika sikap para diplomat
kita sangat lemah, banyak mengalah pada keinginan Belanda dalam
Perjanjian Linggar Jati tahun 1946 itu.
Mendengar hasil
perjanjian itu Kiai Abbas sangat terpukul, merasa perjuangannya
dikhianati, akhirnya jatuh sakit. Kemudian mengakibatkan Kiai yang
sangat disegani sebagai pemimpin gerilya itu wafat pada hari Jumat pada
waktu subuh, 1 Rabiul Awal 1365 atau 1946 Masehi, kemudian dikuburkan di
pemakaman Buntet Pesantren.
Hingga saat ini karakter
perjuangan masih terus ditradisikan di Pesantren Buntet, pada masa
represi Orde Baru pesantren ini dengan gigihnya mempertahankan
independensinya dari tekanan rezim itu. Tetapi semuanya dijalankan
dengan penuh keluwesan, sehingga orde baru juga tidak menghadapinya
dengan frontal. Dan karena itu pula, ketika masa ramainya gerakan
reformasi, pikiran dan pandangan Kiai Abdullah Abbas sangat diperhatikan
oleh semua para penggerak reformasi, baik dari kalanagan NU maupun
komunitas lainnya.
Itulah Peran sosial keagamaan pesantren
Buntet yang dirintis Mbah Qoyyim dilanjutkan oleh Kiai Abbas, kemudian
diteruskan lagi oleh Kiai Abdullah Abbas menjadikan Buntet sebagai
Pesantren perjuangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar