Paham humanisme adalah doktrin pokok kelompok Freemason. Dalam khoms qanun
(lima kanun) yang dijadikan pegangan Freemason, humanisme adalah asas
terpenting. Doktrin halus humanisme menyatakan, pengabdian terhadap
kemanusiaan harus disertai dengan upaya membuang jauh-jauh sekat-sekat
agama. Humanisme menjadi cita-cita tertinggi kelompok Freemason dalam
memasarkan ide-idenya untuk tujuan merusak semua agama-agama, termasuk
Islam.
Jargon-jargon humanisme seolah bagus dan memikat, seperti persaudaraan
umat manusia, kemanusiaan universal, kecintaan terhadap prikemanusiaan,
persamaan, kasih sayang, toleransi, perdamaian, dan lain sebagainya.Bagi
kelompok Mason, sebuah tatanan dunia yang mengedepankan moralitas bisa
terwujud tanpa peran agama. Mereka menyebutnya sebagai ”moralitas tanpa
agama”. Bagi para pemuja humanisme, agama tak berhak mengatur urusan
moral, dan aturan moralitas bisa terbangun berdasarkan kesepakatan
manusia. Karena itu, tak ada yang bisa mengintervensi kehendak manusia
dalam bersikap dan berperilaku, termasuk negara dan bahkan Tuhan
sekalipun. Humanisme jelas mengabdi pada kemanusiaan.
Paham humanisme mengganggap manusia sebagai makhluk ”superior’ yang
berhak menentukan hak-haknya sendiri, termasuk dalam menentukan hukum
dalam kehidupan. Nilai-nilai kemanusiaan dalam doktrin Freemason menjadi
”superior” dibandingkan dengan ajaran-ajaran agama. Ajaran-ajaran dalam
agama, jika bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, maka harus
ditolak. Mereka yang mengusung paham humanisme menganggap tak ada hukum
Tuhan, yang ada adalah kodrat alam.
Inilah yang menjadi keyakinan pentolan liberal Ulil Abshar Abdalla.
Sosok yang kini menjadi fungsionaris Partai Demokrat dan paling getol
membela Ahmadiyah ini mempunyai pandangan yang sama sejalan dengan
doktrin humanisme yang dijajakan oleh kelompok Freemason. Dalam pidato
kebudayaan menyambut Ulang Tahun JIL di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail
Marzuki (TIM) Jakarta (2/03/2010), Ulil menyampaikan pidato bertajuk,
“Sejumlah Refleksi Tentang Kehidupan Sosial Keagamaan Kita Saat Ini.”
Dalam pidato yang dihadiri oleh kelompok lintas agama, bahkan penganut
Ahmadiyah, Ulil mengatakan,
”Apakah kita bisa menerapkan apa yang selama ini dianggap sebagai hukum
Tuhan seraya mengabaikan konvensi-konvensi internasional yang disepakati
oleh bangsa-bangsa, misalnya konvensi tentang kebebasan sipil? Apakah
kita tetap bertahan dengan diktum dalam Quran bahwa seorang suami boleh
memukul istri (QS.4:34), sementara kita sekarang memiliki hukum yang
melarang kekerasan dalam rumah tangga?....Apakah kita masih harus
mempertahankan diktum lama bahwa seorang laki-laki tidak diperbolehkan
untuk menjabat tangan seorang perempuan non-muhrim hanya karena ada
sebuah hadits yang melarang tindakan semacam itu? Kenapa hukum semacam
itu harus dipertahankan? Apa ”rationale-nya”? Apakah alasan yang
mendasarinya? Apakah alasan itu masih relevan sampai sekarang? Intinya:
Apakah hukum-hukum agama yang memperlakukan perempuan secara
diskriminatif masih tetap harus kita pertahankan semata-mata karena
hukum itu berasal dari Tuhan?”
Kemudian dalam situs www.islamlib.com, 7 Januari 2008, Ulil yang
mempunyai syahwat besar untuk membubarkan Front Pembela Islam (FPI)
menulis artikel berjudul ”Doktrin-doktrin yang Kurang Perlu dalam
Islam.” Ulil menyebut ada 11 doktrin dalam Islam yang kurang perlu dan
bertentangan dengan rasio, nilai-nilai kemanusiaan, dan pluralisme.
Diantara doktrin yang perlu dibuang jauh-jauh itu adalah,”Doktrin bahwa
kesalehan ritual lebih unggul ketimbang kesalehan sosial. Orang yang
beribadah lebih rajin kerap dipandang lebih ”Muslim” ketimbang mereka
yang bekerja untuk kemanusiaan, hanya karena mereka beribadah tidak
secara rutin. Agama bisa ditempuh dengan banyak cara, antara lain
melalui pengabdiaan kepada kemanusiaan.”
Saat Perda Anti-Maksiat muncul di berbagai daerah di Indonesia, Ulil
berkoar-koar di media menyebut munculnya perda-perda itu sebagai sikap
”keberagamaan yang sungsang”. Perilaku ”sungsang” itu menurut Ulil,
karena perda yang dianggap kental dengan syariat Islam tersebut tidak
memartabatkan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan kata lain, Ulil menganggap
perda-perda itu sebagai bencana bagi kemanusiaan dan syariat Islam
adalah belenggu bagi martabat kemanusiaan. Jika ada pelacur, yang
ditangkap karena mengganggu kesusilaan, Ulil dkk mengganggap penangkapan
itu sebagai bagian dari perbuatan jahat melanggar martabat kemanusiaan.
Karena atas nama kemanusiaan, demi menghidupi keluarga, bagi Ulil dkk,
pelacur berhak mencari makan dengan cara apa saja, termasuk dengan cara
menjual tubuhnya. Karena, bagi Ulil dkk, pelacur juga manusia yang butuh
makan.
Jika hari ini kita melihat Ulil sebagai sosok yang gencar menyerang
pemahaman Islam yang mainstream, bahkan bersuara lantang untuk
membubarkan ormas Islam yang berjuang menjaga akidah umat, maka kita tak
perlu heran, karena memang bagi Ulil, nilai-nilai kemanusiaan lebih
”superior”, lebih tinggi, dibanding nilai-nilai agama. Munculnya beragam
ormas Islam yang berupaya menjaga akidahnya, bagi Ulil adalah gejala
kebangkitan fundamentalisme agama yang perlu diwaspadai, persis seperti
ungkapannya saat pidato di TIM pada 2010 lalu yang menyatakan, ”Kita
harus selalu awas akan dampak-dampak negatif dari fenomena kembalinya
agama itu. Sebagaimana kita lihat selama ini, kebangkitan agama bukanlah
peristiwa yang seluruhnya mengandung aspek positif.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar