1. Namun perlu dicatat dan diperhatikan bahwa pada periode Makkah, di
sekitar kota Makkah marak berbagai kema’siatan dan kemunkaran. Selama
tidak kurang dari 12 tahun Rasulullah SAW mengedepankan amar ma’ruf dari
nahi munk ar untuk menguatkan aqidah, kalau pun beliau SAW menegakkan
nahi munkar sebatas dengan lisan tanpa aksi fisik. Nah, jika Nabi SAW
memulai gerakan nahi munkarnya dengan melakukan amar ma’ruf yang penuh
dengan kelembutan dan kesantunan selama 12 tahun, maka kalau kini kita
tiba-tiba langsung melakukan gerakan nahi munkar dengan tegas dan keras,
apakah tidak terkesan terlalu terburu-buru ?
Rasulullah SAW
adalah pribadi yang sempurna. Kepiawaian Nabi SAW dalam berda’wah telah
membawa ke puncak keberhasilan secara menakjubkan.
Dalam waktu
yang relatif singkat (23 tahun), dengan izin Allah SWT, beliau berhasil
menyempurnakan kewajiban da’wahnya. Dan tidaklah beliau tinggalkan umat,
kecuali dalam kondisi telah sempurna penyampaian aqidah, syari’at dan
akhlaq Islamnya.
Pada saat Haji Wadá’, yaitu haji yang terakhir
dilakukan oleh Rasulullah SAW, Allah SWT menurunkan wahyu-Nya
sebagaimana tertera dalam Q.S. 5. Al – Mâ-idah ayat 3:
" الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْناً "
Artinya
: ” Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Aku cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Aku ridhoi Islam itu jadi
agama bagimu ”.
Dua belas tahun periode Makkah, merupakan
pelajaran penting tentang tahapan da’wah. Dan menjadi keharusan bagi
kita untuk meneladani da’wah Rasulullah SAW.
Dan Alhamdulillah,
tahapan da’wah dimaksud telah berlangsung di Indonesia sejak masuknya
Islam di negeri ini, bukan lagi belasan atau puluhan tahun, bahkan
ratusan tahun. Namun itulah, karena lemahnya kita, khususnya generasi
yang datang belakangan saat ini, tidak mampu menyempurnakan da’wah yang
sudah dimulai para pendahulu sejak ratusan tahun yang lalu.
Dalam
12 tahun Rasulullah SAW berhasil memupuk benih kekuatan aqidah umat
yang menjadi fondasi pelaksanaan syari’at dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara. Sedang kita sudah 12 abad jatuh bangun menanamkan aqidah
namun belum berhasil menerapkan syari’at dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara.
Perlu kita sadari, bahwa gerakan amar ma’ruf nahi
munkar di Indonesia sudah dimulai bersamaan dengan masuknya Islam ke
Nusantara pada awal abad kedua Hijriyyah / kedelapan Miladiyyah, yang
kemudian melahirkan kerajaan Islam Perlak di Aceh pada tanggal I
Muharram 225 H di bawah pimpinan Sultan Alâiddin Sayyid Maulana ‘Abdul
‘Azîz Syâh bin ‘Ali Al-Hâris Al-Mu’tabar bin Muhammad Ad-Dîbâj bin
Al-Imâm Ja’far Ash-Shâdiq bin Al-Imâm Muhammad Al-Bâqir bin Al-Imâm ‘Ali
Zainal ‘Âbidîn bin Sayyidinâ Husein cucu Rasulullah SAW. Bacalah kitab ”
Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan sekitarnya ” terbitan Lentera,
karya Al-Ustâdz Al-Hâjj Muhammad Syamsu As.
Kemudian dari
Perlak, Islam merambah ke seluruh negeri, termasuk tanah Jawa yang
diislamkan oleh para Walisongo yang mulia. Mereka tidak lain dan tidak
bukan adalah keturunan dari Al-Imâm ‘Abdul Mâlik Âli ‘Azhmatul Khân ibnu
Al-Imâm ‘Alwi ‘Ammil Faqîh, keturunan ke – 17 dari Rasulullah SAW
melalui cucunya Sayyidunâ Al-Husein ra. Lihat kitab dan monogram
Silsilah Leluhur ‘Alawiyyin keturunan Al-Imâm Al-Husein ra, karya
almarhum Sayyid Muhammad Hasan ‘Aidîd, keluaran Penerbit Amal Saleh.
Kitab dan monogram tersebut merupakan rangkuman sistematis dari kitab
Samsyu Azh-Zhahîrah karya Al-Imâm ‘Abdurrahmân bin Muhammad Al-Masyhûr
Ba ‘Alawi Al-Husaini rhm yang telah ditahqiq oleh almarhûm As-Sayyid
Muhammad Dhiyâ’ Syihâb.
Menakjubkannya, saat para da’i pembawa
Islam datang ke Nusantara 12 abad yang lalu, negeri ini 100 % hidup
dalam alam jâhiliyyah. Kemusyrikan dan kebathilan ada di mana-mana.
Tantangan yang mereka hadapi begitu dahsyat, mulai dari rakyat yang
musyrik hingga para raja yang kafir. Namun, Subhánalláh wal Hamdulilláh,
dengan izin Allah SWT, akhirnya mereka dan generasi berikut yang
meneruskan perjuangan mereka, berhasil mengislamkan 90 % penduduk negeri
ini.
Seharusnya tugas generasi yang ada saat ini hanya tinggal
menyempurnakan apa yang telah dilakukan pendahulunya. Namun apa yang
terjadi ? Sedikit demi sedikit, perlahan tapi terasa, umat ini
sepertinya sedang digiring oleh suatu kekuatan syaithániah agar kembali
ke alam jáhiliyyah. Pemurtadan terjadi di mana-mana, upaya deislamisasi
begitu gencar dipropagandakan setiap saat.
Jadi berbagai usaha
da’wah yang arif dan bijak telah dilakukan oleh para da’i pembawa Islam
ke negeri ini sejak ratusan tahun yang lalu. Bahkan tindakan tegas dalam
mencegah kemunkaran sudah sejak lama diambil oleh para pendahulu kita.
Lihatlah bagaimana saat Walisongo mengambil keputusan hukuman mati
kepada Syeikh Siti Jenar, karena ajaran wihdatul wujûd-nya yang dinilai
telah menyimpang dari Islam.
Kisah Syeikh Siti Jenar tersebut
dipaparkan dengan rinci oleh Wiji Saksono, dalam bukunya Mengislamkan
Tanah Jawa, halaman 47 – 66. Dan diulas secara ringkas oleh Ust. Maftuh
Ahnan dalam bukunya Wali Songo, Hidup dan Perjuangannya, halaman 65 –
68. Para Walisongo hidup sekitar akhir abad 14 M hingga awal abad 15 M.
Sedang Achmad Chodjim memaparkan dengan panjang lebar tentang pemikiran
dan paham Syeikh Siti Jenar yang ditentang keras para Walisongo dalam
bukunya yang berjudul Syeikh Siti Jenar.
Pengambilan hukuman mati
terhadap Syeikh Siti Jenar merupakan penegakan Syari’at Islam dalam
bentuk pelaksanaan hukum hudûd dalam masalah Ar-Riddah ( kemurtadan ),
yang artinya pelaksanaan hukum had tersebut merupakan tonggak sejarah
bagi penegakan Hukum Pidana Islam di bumi Indonesia.
Tidak
sampai di situ, bahkan di Indonesia jauh sebelum kedatangan para
penjajah, telah berdiri berbagai Kesultanan Islam yang menjadikan Islam
sebagai agama negara dan syari’atnya sebagai hukum negara. Semangat amar
ma’ruf nahi munkar dalam penegakan Syari’at Islam di Indonesia telah
mampu mendorong kaum muslimin Indonesia untuk mengobarkan perlawanan
habis-habisan terhadap para penjajah yang menzholimi bangsa Indonesia
selama tidak kurang dari tiga setengah abad.
Di hampir semua
peperangan kaum muslimin melawan Belanda, Inggris dan Portugis, nyata
sekali semangat Jihad menegakkan Islam. Hal ini bisa kita ketahui
melalui bukti historis, seperti peninggalan sejarah, pernyataan para
tokohnya, gelar perjuangannya, tata cara pergerakannya, dan lain
sebagainya dari simbol Islam yang digunakannya. Ust. H. Muhammad Syamsu
As dalam kitab Ulama pembawa Islam di Indonesia dan sekitarnya
memaparkan sejumlah bukti historis keterkaitan perjuangan mereka dengan
pergerakan Islam, antara lain :
1. Perang Palembang ( 1658 – 1851 M )
Kesultanan
Palembang Darussalam sejak berdirinya pada sekitar tahun 1650 M sudah
menerapkan Hukum Islam. Gelar Sultannya adalah Khalifatul Mu’minin
Sayyidil Imam.
Sejak tahun 1658 M, Kesultanan melakukan
perlawanan besar-besaran terhadap Belanda dan Inggris hingga tahun 1851
M, sampai akhirnya jatuh setelah banyak keluarga kesultanan dan
rakyatnya yang dibuang dan dibunuh oleh musuh.
Semangat membela
Islam dan umatnya telah mendorong para Sultan Palembang berada di
barisan terdepan memimpin rakyatnya dalam jihad melawan Belanda selama
hampir 200 tahun.
Hukum Islam yang diterapkan, sebutan
Darussalam untuk Palembang dan gelar Khalifah bagi Sultannya, merupakan
bukti autentik keislaman negeri Palembang dan perjuangannya.
2. Perang Bone ( 1814 – 1946 M )
Kerajaan
Bone yang berdiri sejak tahun 1335 M, mulai mengenal Islam pada tahun
1611 M ketika Sultan Adam ( Raja Bone XI ) memeluk Islam.
Di
tahun 1814 M, Kesultanan Bone melakukan perlawanan terhadap Inggris dan
Belanda yang mencoba menjajah Bone. Bahkan hingga Sultan Bone yang
terakhir ( 1931 – 1946 M ), dengan gagahnya sang Sultan memimpin
rakyatnya mengobarkan perlawanan terhadap penjajah. Lebih dari 130
tahun, api Jihad berkobar di tanah Bugis tanpa henti.
Satu ungkapan terkenal dalam bahasa Bugis dari Raja Bone XXXI ketika ditangkap dan dibuang Belanda pada tahun 1905 berbunyi :
”
Mauna sia labelateppa ri saliweng langi rekkua tellesang muni ada
assituru kenna kitta naturungede Nabi Muhammad Nabiku, apa iya ri
watakku nanggalo sia tubuhku temanggolo sia bela atikku ri Kompeni ”.
Artinya
: ” Kendati saya akan terdampar di luar bumi sekali pun, asalkan tidak
goyah imanku kepada kitab yang diturunkan kepada nabi Muhammad Nabiku,
biar tubuhku menghadap atau tertawan tetapi hatiku pantang menyerah
kepada kompeni ”.
Ini salah satu bukti keteguhan Kesultanan Bone dalam membela Islam dan menegakkan ajarannya.
3. Perang Paderi ( 1821 – 1837 M )
Muhammad
Shahab diberi gelar Peto Syarif oleh masyarakatnya. Arti Peto Syarif
adalah Ulama yang mulia. Di awal tahun 1800-an Miladiyyah, ia membangun
sebuah kampung di Bukit Gunung Jati - Padang, yang kemudian dikenal
dengan nama kampung Bonjol. Selanjutnya beliau pun lebih dikenal dengan
sebutan Tuanku Imam Bonjol. Beliau berhasil menjadikan Bonjol sebagai
pusat penyebaran Islam ke seluruh Minangkabau.
Dalam rangka
membela diri dan menjaga keamanan da’wah Islam dari gangguan dan
serangan Kaum Adat yang senang ma’siat. Imam Bonjol membentuk barisan
amar ma’ruf nahi munkar yang berseragam serba putih. Barisan ini dikenal
dengan sebutan Kaum Paderi.
Dalam waktu singkat Kaum Paderi
berhasil mengalahkan Kaum Adat dan menguasai hampir seluruh Minangkabau.
Mereka pun membuat Undang-Undang Paderi yang melarang segala bentuk
ma’siat yang selama ini telah membudaya di Minang seperti menyabung
ayam, minum tuak, berjudi dan menghisap madat.
Di tahun 1821 M,
Belanda membantu Kaum Adat untuk memerangi Kaum Paderi yang dianggap
berbahaya bagi kekuasaan Kompeni. Perang pun pecah, Kaum Paderi banyak
memetik kemenangan di berbagai pertempuran.
Di tahun 1833 M,
Belanda membuat selebaran dengan sebutan Pelakat Panjang yang menyerukan
bahwasanya Belanda dan Islam itu satu tuhan dan tidak ada permusuhan.
Selebaran itu untuk membujuk Kaum Paderi, namun gagal, perang pun tetap
berlanjut.
Di tahun 1837 M, Belanda dengan licik menyerbu tempat
tinggal keluarga Imam Bonjol dan melukai istri serta anak beliau.
Akhirnya, Imam Bonjol terpancing kembali dari medan tempur untuk
menyelamatkan keluarganya, beliau pun terkepung dan tertangkap. Kemudian
beliau dibuang dari satu tempat ke tempat lainnya, terus
berpindah-pindah hingga beliau wafat pada usia 92 tahun di tahun 1864 M.
Mulai dari nama, gelar, pakaian, bentuk perjuangan dan
pemberantasan kema’siatan hingga Jihad melawan Belanda oleh Imam Bonjol
dan pengikutnya, adalah murni merupakan perjuangan Islam sejati. Bahkan
dari hasil perjuangan Kaum Paderi inilah lahir filsafat islami kehidupan
masyarakat Minang yang sangat terkenal, yaitu :
”Adat bersendi Syara’, dan Syara’ bersendi Kitabullah ”.
Artinya : ” Adat harus berdasarkan Syari’at, dan Syari’at harus berdasarkan Kitab Allah ( Al-Qur’an ) ”.
4. Perang Diponegoro ( 1825 – 1830 M )
Pangeran
Diponegoro dengan gagah berani memimpin kaum muslimin Jawa melawan
keangkuhan Belanda di tahun 1825 M. Ikut bergabung bersama beliau
sekitar 23 Pangeran dan 53 Bangsawan Jawa. Para Ulama pun tidak
ketinggalan berjihad bersamanya, seperti Kyai Maja dan Ki Sentot Ali
Basyah Prawiradirdja, keduanya menjadi Panglima Perang Pangeran
Diponegoro.
Diponegoro dinobatkan sebagai Sultan oleh para
pengikutnya dan diberi gelar Sultan Ngabduhamid Herucokro Amirul
Mu’minin Panotogomo Jowo. Artinya Sultan Abdulhamid Pemimpin Kaum
Mu’minin Pengatur Agama Masyarakat Jawa. Gelar ini menjelaskan
bahwasanya Diponegoro adalah pejuang Islam yang menegakkan ajaran Islam
bagi rakyat Jawa.
Sebutan Amirul Mu’minin ditambah dengan corak
pakaian Diponegoro dan para panglima perangnya yang lekat dengan budaya
Islam, semakin memperkuat bukti keislaman perjuangan dan perlawanannya
terhadap Belanda.
Selama 5 tahun, Diponegoro mengobarkan
perlawanan terhadap Belanda. Sekali pun banyak anggota keluarga Keraton
dan pengikut setianya yang mati atau ditangkap oleh Belanda, Diponegopro
tetap meneruskan perjuangannya tanpa mengenal lelah.
Akhirnya di
tahun 1830 M, Belanda menggunakan cara licik untuk menangkap
Diponegoro. Lewat jebakan perundingan, Diponegoro pun ditangkap dan
dibuang ke Menado, kemudian Ujung Pandang. Selama 25 tahun Diponegoro
dikurung, hingga beliau wafat dalam pengasingan di tahun 1855 M.
5. Perang Aceh ( 1873 – 1942 )
Undang-Undang
Dasar Kerajaan Aceh Darussalam yang disebut dalam ”Kanun Maukuta Alam”
adalah berdasarkan Hukum Islam yang bersumber pada Al-Qur’an, Al-Hadits,
Al-Ijma’ dan Al-Qiyas.
Filsafat kehidupan rakyat Aceh yang amat terkenal di antaranya adalah salah satu ungkapan dalam Hadih Maja yang berbunyi :
” Hukoom ngon adat, lague zat ngon sifeut ”
Artinya : ” Hukum agama dengan hukum adat, laksana zat dengan sifat ”.
Ungkapan lainnya :
” Al-Jihadu wajibun ‘alaikum, that muphon wehe syedara : Phon cahdat, ngon seumayang, teulhee tamuprang ngon Holanda ”.
Artinya
: ” Jihad itu wajib atas kamu sekalian, pahamilah baik-baik wahai
sahabat. Yang pertama Syahadat, dan ( yang kedua ) Shalat, yang ketiga
perang dengan (melawan ) Belanda ”.
Semangat Jihad menegakkan
Islam telah membuat kaum muslimin Aceh begitu gigih melakukan perlawanan
terhadap Belanda, sehingga tiada hari tanpa jihad di Aceh sejak upaya
Belanda menguasai Aceh pada tahun 1873 hingga kekalahan Belanda dari
Jepang di tahun 1942. Selama 70 tahun, kaum muslimin Aceh mengobarkan
api Jihad melawan kaum kafirin Belanda.
Islam sebagai dasar
hukum Kerajaan Aceh, sebutan Darussalam baginya, filsafat Islami
kehidupan rakyatnya, semua itu menjadi bukti tak terpungkiri bagi
keislaman Aceh yang begitu mendasar dalam tiap langkah perjuangannya.
6. Perang Riau ( 1782 – 1784 M )
Dalam
buku Salasilah Indra Sakti yang ditulis oleh Luqmanul Hakim Putra, saya
mendapatkan keterangan bahwa Kesultanan Riau berdiri pada tahun 1722 M
di bawah kepemimpinan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, cucu dari Raja
Abdul Jalil Riayatsyah yang menjadi Raja Johor ( 1699 – 1719 M ).
Sebelumnya adalah bagian dari Kerajaan Johor.
Semula pusat
pemerintahan Kesultanan Riau ada di Daik, pulau Lingga, yang dikenal
dengan sebutan Tanah Bunda Melayu. Baru pada tahun 1900 M dipindah ke
pulau Penyengat yang letaknya berhadapan dengan Tanjung Pinang di pulau
Bintan.
Selama puluhan tahun Belanda berusaha menguasai Riau,
namun benteng pertahanan laut di Kepulauan Riau sangat kokoh dan tangguh
hingga sulit ditembus oleh musuh. Akhirnya meletus perang besar selama
dua tahun antara Kesultanan Riau dan Belanda pada tahun 1782 hingga 1784
M. Namun demikian semangat jihad masyarakat Riau bersama para Sultannya
membuat Belanda tetap belum mampu menguasai Riau. Baru pada tahun 1911
M, setelah perang habis-habisan, Belanda menguasai Kesultanan Riau
secara mutlak.
Kesultanan Riau sejak berdiri sudah menjadikan
Islam sebagai identitasnya. Bahkan tercatat dalam sejarah bahwa
Kesultanan Riau pernah memiliki seorang Ulama besar yang menjadi Yang
Dipertuan Muda dari tahun 1844 hingga 1857 M, yaitu Raja Ali Haji.
Raja
Ali adalah seorang Ulama, Pujangga, Budayawan, Ahli Siasat dan
Pemerintahan. Dari tangannya dihasilkan karya-karya besar, antara lain :
1. Ats-Tsamarat Al-Muhimmah, yaitu kitab pegangan para pejabat pemerintahan.
2. Muqaddimah fil Intizham, yaitu kitab undang-undang kesultanan. 3. Bustanul Katibin, yaitu kitab Kamus Bahasa Melayu.
4. Tuhfatun Nafis, yaitu kitab sastra sejarah.
5. Gurindam Dua Belas, yaitu kitab syair melayu tentang nasihat agama.
Semua
ini menjadi bukti tak terpungkiri tentang kelekatan Kesultanan Riau
dengan ajaran dan perjuangan Islam. Bahkan jika kita perhatikan isi
kandungan Gurindam Dua Belas yang kini menjadi filsafat kehidupan bangsa
Melayu, tidak lain dan tidak bukan adalah intisari ajaran Islam. Di
sini kita kutip beberapa diantaranya :
a. Pada pasal pertama bait pertama :
Barang siapa tiada memegang agama
Segala-gala tiada boleh dibilangkan nama
b. Pada pasal keempat bait pertama :
Hati itu kerajaan di dalam tubuh
Jika zalim segala anggota pun rubuh
c. Pada pasal kelima bait pertama :
Jika hendak mengenal orang berbangsa
Lihatlah kepada budi dan bahasa
d. Pasal kedua belas bait ketiga :
Hukum ‘adil atas rakyat
Tanda Raja beroleh ‘inayat
Dengan
demikian, tidak benar kalau dikatakan kita tergesa-gesa dalam
perjuangan, karena gerakan amar ma’ruf nahi munkar yang ada saat ini
hanya merupakan tindak lanjut dari perjuangan sebelumnya yang jauh sejak
lama telah dilakukan oleh para ulama pembawa Islam di Indonesia.
Jadi kita bukan perintis mau pun pelopor, kita hanya penerus perjuangan para pendahulu.
Gerakan
amar ma’ruf nahi munkar yang mulia ini dimaksudkan untuk membendung
sekaligus melawan gelombang arus syetan yang sedang berusaha menggiring
umat menuju jurang kehancuran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar