1. Kita sama memaklumi bahwa soal peperangan Rasulullah SAW adalah upaya
membela diri dan mempertahankan agama. Akan tetapi menyikapi kemunkaran
dengan menghancurkan Tempat Ma’siat persoalan berbeda. Rasulullah SAW
tidak pernah berbuat seanarkis itu. Jadi, kalau sekarang ada aksi
perusakan dan pembakaran Tempat Ma’siat, ayat Al-Qur’an dan Hadits mana
yang dijadikan hujjah ?
Membela dan mempertahankan agama adalah
melakukan upaya untuk menjaga keberlangsungan pengamalan ajaran agama
secara aman dan tenang dengan menjauhkan segala bentuk kerusakan yang
membahayakan kemurnian agama.
Pengertian tersebut mencakup upaya
melawan penindasan terhadap agama, memerangi kezhaliman dan menentang
kemunkaran. Hal inilah yang menjadi substansi peperangan Rasulullah SAW.
Dan ini pulalah yang menjadi substansi penghancuran sarang kema’siatan.
Jadi keduanya mempunyai persamaan substansial.
Soal hujjah qur’âniyyah, perhatikan kisah Masjid Adh-Dhirâr yang dipaparkan Q.S. 9. At – Taubah : 107 – 108, sebagai berikut :
"
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوْا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيْقًا
بَيْنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
مِنْ قَبْلُ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلاَّ الْحُسْنَى وَاللَّهُ
يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ. لاَ تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا لَمَسْجِدٌ
أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ
فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّوْنَ أَنْ يَتَطَهَّرُوْا وَاللَّهُ يُحِبُّ
الْمُطَّهِّرِيْنَ "
Artinya : ” Dan ( di antara orang-orang munafik
itu ) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan
kemudharatan ( pada orang-orang mu’min ), untuk kekafiran dan untuk
memecah belah antara orang-orang mu’min serta menunggu kedatangan
orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu.
Mereka sesungguhnya bersumpah :” Kami tidak menghendaki selain kebaikan
”. Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta
( dalam sumpahnya ) ”.
Janganlah kamu shalat dalam masjid itu
selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas taqwa ( Masjid
Qubâ ), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya.
Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah
menyukai orang-orang yang bersih ”.
Dalam kitab Asbâbun Nuzûl,
karya Al-Imâm Abul Hasan ‘Ali ibnu Ahmad Al-Wâhidi An-Naisâbûri rhm,
Halaman 149, disebutkan bahwasanya sebab turunnya ayat tersebut bermula
dari seorang tokoh pribumi Madinah, asal suku Khozroj, yang biasa
dipanggil ” Abu ‘Âmir Ar-Râhib ”.
Sejak zaman Jâhiliyyah, Abu
‘Âmir menjadi pengikut taat agama Nashrani, dan ia dicinta kaumnya serta
punya kedudukan terhormat di Madinah. Namun setelah kedatangan
Rasulullah SAW ke Madinah, Abu ‘Âmir merasa kehilangan pamor dan
kedudukan, akhirnya dengan penuh iri dan dengki ia berkata dengan
lantang di hadapan Nabi SAW :
" لاَ أَجِدُ قَوْمًا يُقَاتِلُوْنَكَ إِلاَّ قَاتَلْتُكَ مَعَهُمْ "
Artinya : ” Tidaklah aku dapatkan suatu kaum memerangimu melainkan aku pasti memerangimu bersama mereka ”.
Tercatat
dalam sejarah , mulai dari perang Uhud hingga Hunain, Abu ‘Âmir banyak
mengambil peran di pihak musuh untuk memerangi Nabi SAW. Karenanya tidak
berlebihan saat Rasulullah SAW menjulukinya dengan ” Abu ‘Âmir Al-Fâsîq
” sebagaimana disinggung dalam kitab Tanwîrul Miqbâs min Tafsîr Ibni
‘Abbâs, halaman 166, karya Abu Thâhir ibnu Ya’qûb Al-Fairûzabâdi.
Al-Imâm
Ath-Thabari dalam tafsirnya menyangkut kedua ayat di atas menyebutkan
bahwa Abu ‘Âmir Al-Fâsiq adalah aktor utama di balik Perang Ahzâb. Ia
memprovokasi berbagai puak dan suku Arab untuk secara bersama-sama
memerangi Nabi SAW dan para shahabatnya.
Setelah perang Hunain,
Abu ‘Âmir melarikan diri ke Romawi dan meminta bantuan Kaisar Hiraclius
untuk memerangi Rasulullah SAW. Dari sana mulailah Abu ‘Âmir menyurati
sejumlah pengikut setianya di Madinah yang selama ini pura-pura masuk
Islam ( kaum munafiqîn ). Ia mengatur strategi agar pengikutnya
mendirikan sebuah masjid tidak jauh dari Masjid Qubâ’ ( masjid pertama
yang dibangun Nabi SAW di pinggir kota Madinah ).
Saat membangun
masjid tersebut, kaum munafiqin menyampaikan alasan kepada Rasulullah
SAW sambil bersumpah bahwasanya pembangunan masjid tersebut dimaksudkan
untuk kebajikan, seperti perlindungan kaum lemah serta kemudahan ibadah
di musim dingin.
Seusai pembangunan masjid mereka pun mengundang
Rasulullah SAW untuk shalat bersama mereka di masjid tersebut. Karena
saat itu beliau SAW dan para Shahabat ra dalam puncak persiapan
keberangkatan ke Tabûk, maka Nabi SAW menjawab kepada mereka :
" إنَّا عَلَى سَفَرٍ , وَلكِنْ إِذَا رَجَعْنَا إِنْ شَآءَ الله "
Artinya : ” Kami dalam persiapan berpergian, akan tetapi jika kami kembali, Insya Allah ”.
Saat
Rasulullah SAW kembali dari Tabûk, menjelang kota Madinah, datanglah
Jibrîl as membawa wahyu Allah SWT sebagaimana tertera di atas tadi.
Melalui wahyu inilah akhirnya Rasulullah SAW mengetahui bahwasanya
masjid tersebut dimaksudkan untuk kemudharatan, kekufuran, memecah belah
persaudaraan, dan sebagai tempat memata-matai gerak-gerik umat, serta
sekaligus untuk tempat penantian kembalinya Abu ‘Âmir membawa bala
bantuan musuh Islam.
Oleh karena itulah, Rasulullah SAW mengirim
sejumlah shahabatnya untuk mendatangi masjid tersebut. Beliau pun
berkata kepada rombongan yang akan dikirim :
" انْطَلِقُوْا إِلَى هذَا المَسْجِدِ الظَّالِمِ أهْلُهُ , فَاهْدِمُوْهُ وَاحْرِقُوْهُ "
Artinya : ” Berangkatlah kalian ke masjid itu, yang zholim penghuninya, lalu hancurkan dan bakar masjid tersebut ”.
Para
Shahabat pun berangkat dan mereka melaksanakan apa yang diperintahkan
Rasulullah SAW dengan baik tanpa sedikit pun keraguan.
Al-Imâm
Abul Fidâ’ Ismâ’îl ibnu Katsîr rhm, menceritakan kisah tersebut dengan
panjang lebar dalam tafsirnya yang terkenal, pada Juz II, Halaman 388 –
392. Sementara Asy-Syeikh Muhammad ‘Ali Ash-Shâbûni rhm meringkaskannya
dengan sangat sederhana dalam kitab Shofwatut Tafâsîr, Juz I, Halaman
557.
Menarik untuk dikaji, sebuah tempat yang bernama ” Masjid
”, bahkan Al-Qur’an juga menyebutnya sebagai ” Masjid ”, dihancurkan dan
dibakar atas perintah Rasulullah SAW, karena telah dijadikan sebagai
tempat kemunkaran.
Dari peristiwa tersebut di atas kita bisa
mengambil dua pelajaran penting yang terkait dengan masalah penghancuran
Tempat Ma’siat :
1. Tempat ma’siat sebagai tempat terjadinya
kemunkaran layak untuk dihancurkan dan dibakar, apa pun nama yang
diberikan untuk tempat kemunkaran tersebut, baik nama yang indah
berkonotasi kebajikan, apa lagi nama yang terang-terangan berkonotasi
kema’siatan
2. Bila tempat yang bernama ”Masjid” saja boleh
dihancurkan dan dibakar saat terbukti dijadikan sarang kemunkaran.
Bagaimana dengan ”Markas Pembodohan”, ”Pusat Pemurtadan”, ”Praktek
Perdukunan”, ”Pabrik Miras”, ”Lokasi Pelacuran”, ”Media Porno”, ”Sarang
Judi”, ”Industri Ecstasy”, dan berbagai tempat lainnya yang terbukti
menjadi tempat transaksi kemunkaran ??!!
Sedang hujjah
nabawiyyah, simaklah tentang himmah Rasulullah SAW yang begitu kuat
untuk membakar rumah kaum munafiqin yang tidak mau shalat berjama’ah
bersama beliau dan Shahabat lainnya di Masjid Madinah. Dalam kitab
Al-Lu’lu’ wal Marjân, sebuah kitab himpunan hadits-hadits muttafaqun
‘alaih, pada kitab Al-Masâjid, Bab 47 Hadits ke- 382, Abu Hurairah ra
meriwayatkan bahwasanya Rasulullah SAW bersabda :
" وَالَّذِى
نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبُ , ثُمَّ
آمُرُ بِالصَّلاَةِ فَيُؤَذَّنُ لَهَا , ثُمَّ آمُرُ رَجُلاً فَيَؤُمُّ
النَّاسَ , ثُمَّ أُخَالِفُ إِلىَ رِجَالٍ فَأَحْرِقُ عَلَيْهِمْ
بُيُوْتَهُمْ "
Artinya : ” Demi Yang jiwaku ada di tangan-Nya,
Sungguh aku ingin memerintahkan pengumpulan kayu bakar kemudian
dikumpulkan kayu tersebut. Setelah itu aku perintahkan untuk
dilaksanakan panggilan shalat. Kemudian aku perintahkan seseorang untuk
mengimami orang-orang yang shalat ( berjama’ah di masjid ). Sedangkan
aku akan mendatangi orang-orang ( yang tidak shalat berjama’ah ), maka
aku akan membakar rumah mereka ”.
Sekali pun hujjah ini hanya
merupakan sunnah hammiyyah, yang baru berupa keinginan dan belum
terwujud dalam bentuk tindakan, namun setidaknya menjadi petunjuk akan
ketegasan sikap Nabi SAW.
Dan simak pula apa yang diriwayatkan
Al-Imâm At-Tirmidzi dalam Jâmi’ nya, kitab Al-Buyû’, Hadits ke - 1214,
yang bersumber dari Abu Tholhah ra, saat mana beliau memberitahukan
Rasulullah SAW bahwa dirinya sebelum masuk Islam melakukan jual beli
khomer untuk menghidupi anak-anak yatim di rumahnya, dan saat beliau
masuk Islam masih banyak menyimpan khomer, maka beliau meminta izin Nabi
SAW untuk membuat cuka dari khomer yang masih ada, lalu Rasulullah SAW
menolak permintaannya dan bersabda kepadanya :
" أهْرِقِ الخَمْرَ وَاكْسِرِ الدَّنَانَ "
Artinya : ” Tumpahkan Khomernya dan pecahkan Tongnya ”.
Kisah ini diceritakan pula oleh Al-Imâm Abu Bakar ibnu Muhammad Al-Husaini dalam kitabnya, Kifâyatul Akhyâr, Juz I halaman 73.
Jangan
lupa, simak pula tentang peristiwa penghancuran berhala paska Fathu
Makkah. DR. Muhammad Al-Habsy dalam kitab Sîroh Rosûlillah SAW, halaman
264, menyebutkan bahwa Rasulullah SAW menghancurkan 360 berhala di
sekitar Ka’bah dengan tangannya sendiri, dan beliau hancurkan pula
berhala ” Hubal ” yang ada di dalam Ka’bah.
Kemudian beliau SAW
mengutus Khâlid ibnu Al-Walîd untuk menghancurkan berhala ” Al-‘Uzza ”,
dan mengirim ‘Amru ibnu Al-‘Âsh untuk menghancurkan berhala ” Suwwâ’ ”,
serta menugaskan Sa’ad ibnu Zaid Al-Asyhali untuk menghancurkan berhala ”
Munât ”.
Bahkan penghancuran berhala merupakan perjuangan para
Nabi. Lihatlah, bagaimana Ibrahim as dengan gagah berani menghancurkan
ratusan berhala yang disembah kaumnya.
Sungguh pun demikian rupa
yang dilakukan para Nabi, namun Allah SWT tidak pernah mengecamnya,
apalagi menyebut mereka ”Radikal” atau menyatakan tindakan mereka
”Anarkis”. Bahkan membenarkan dan memujinya.
Semua ini menjadi
hujjah bagi aksi penghancuran sarana ma’siat dan kemunkaran, manakala
aksi tersebut menjadi pilihan akhir yang tak bisa tidak harus
dilaksanakan.
2. Bisa jadi kasus Masjid Adh-Dhirâr, himmah
Rasulullah SAW untuk membakar rumah mereka yang tidak mendirikan shalat,
peristiwa penghancuran berhala, dan berbagai peperangan yang terjadi di
zaman Nabi SAW, sifatnya khusus dan spesial, sehingga tidak bisa
dijadikan hujjah untuk yang lainnya ?
Kaidah menyatakan :
" العِبْرَةُ بِعُمُوْمِ الَّلفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ "
Artinya : ” Pengambilan dalil / hukum dengan keumuman lafazh bukan dengan kekhususan sebab ”.
DR.
Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya, Ushûl Al-Fiqhi Al-Islâmi, Juz I Hal.
273, dengan menukil dari kitab Al-Mustashfa, Irsyâdul Fuhûl dan Hâsyiah
Al-Bannâni, menerangkan tentang maksud kaidah tersebut di atas sebagai
berikut :
" قَالَ أَكْثَرُ الأُصُوْلِيِّيْنَ : “ العَامُّ
الوَارِدُ عَلىَ سَبَبٍ خَاصٍّ فِى سُؤَالِ سَائِلٍ أَوْ وُقُوْعِ
حَادِثَةٍ أَوْ غَيْرِهِمَا يَبْقَى عَلىَ عُمُوْمِهِ , نَظْرًا لِظَاهِرِ
اللَّفْظِ , وَلاَ يَتَخَصَّصُ بِالسَّبَبِ ". وَهَذَا هُوَ المُرَادُ
بِقَوْلِهِمْ : " العِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ
السَّبَبِ" . وَالدَّلِيْلُ عَلىَ بَقَاءِ العُمُوْمِ أَنَّ الحُجَّةَ فىِ
لَفْظِ الشَّارِعِ , لاَ فىِ السُّؤَالِ وَالسَّبَبِ"
Artinya : ”
Mayoritas Ahli Ushul Fiqih mengatakan : ” Dalil umum yang datang dengan
sebab khusus berupa soal penanya atau terjadinya peristiwa atau
selainnya maka tetap berlaku keumumannya, melihat zhâhir lafazh, dan
tidak terpaku dengan sebab ”. Inilah maksud ucapan mereka : ”
Pengambilan dalil / hukum dengan keumuman lafazh bukan dengan kekhususan
sebab ”. Dan dalil pada penetapan umum, bahwasanya hujjah berada dalam
lafazh Pembuat Syari’at bukan dalam soal dan sebab ”.
Kaidah lain menyatakan :
" الرَّاجِحُ التَّعْمِيْمُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلُ التَّخْصِيْصِ "
Artinya : ” Yang kuat adalah hukum umum hingga ada dalil yang mengkhususkannya ”
Nah,
melihat dari substansi semua kejadian tersebut di atas terfokus kepada
sikap tegas terhadap kemunkaran, dan ini bersifat umum, karena tidak ada
keterangan dalil yang menyatakan bahwa itu hanya khusus untuk objek
tersebut dan terbatas pada waktu itu saja. Keumuman dalil mencakup
kejadian apa pun dan di mana pun serta kapan pun, yang memiliki
substansi sama. Sifat umum ini akan tetap berlaku selama tidak ada dalil
lain yang mengkhususkannya.
3. Bagaimana kedudukan hukum amar ma’ruf nahi munkar ? Dan apa pula hukum menghancurkan atau membakar Tempat Ma’siat ?
Amar
ma’ruf nahi munkar hukumnya adalah fardhu kifayah, artinya bila
sebagian umat sudah menegakkannya dengan jumlah dan kekuatan yang cukup
memadai untuk mengatasi kemunkaran yang ada, maka gugurlah kewajiban
dari yang lainnya.
Namun jika jumlah dan kekuatan para penegak
amar ma’ruf nahi munkar tidak memadai, maka kewajiban belum gugur dari
yang lainnya. Bahkan jika itu menyebabkan kemunkaran tak dapat
dilenyapkan, maka berdosalah mereka yang tidak ikut menegakkan amar
ma’ruf nahi munkar.
Bahkan sebagian Ulama menyatakan bahwa amar
ma’ruf nahi munkar adalah fardhu ‘ain, artinya wajib atas tiap-tiap
individu muslim sesuai dengan kemampuannya. Hal ini dibahas dengan
panjang lebar oleh Asy-Syeikh Asy-Syahid ‘Abdul Qâdir ‘Audah rhm dalam
kitabnya At-Tasyri Al-Jinâ-i Al-Islâmi, Juz I Bab 3 Pasal 2, halaman 489
– 513.
Al-Imâm As-Sayyid Abdurrahmân ibnu Muhammad Al-Masyhûr
Ba ‘Alawi Al-Husaini rhm, Mufti Hadhramaut, dalam kitabnya, Bughyatul
Mustarsyidîn, hal. 251, menyebutkan bahwa Ulama berbeda pendapat tentang
hukum meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar : Al-Imâm Ahmad rhm
menghukumkan kufur, sedang para Imam dalam madzhab Asy-Syâfi’i rhm
menghukumkan dosa besar. Selanjutnya beliau rhm menyatakan :
"
الأَمْرُ بِالمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ المُنْكَرِ قُطْبُ الدِّيْنِ ,
فَمَنْ قَامَ بِهِ مِنْ أَيِّ المُسْلِمِيْنَ وَجَبَ عَلَى غَيْرِهِ
إِعَانَتُهُ وَ نُصْرَتُهُ , وَلاَ يَجُوْزُ لأَحَدٍ التَّقَاعُدُ عَنْ
ذَلِكَ وَالتَّغَافَُلُ عَنْهُ وَإِنْ عَلِمَ أَنَّهُ لاَ يُفِيْدُ "
Artinya
: ” Amar ma’ruf nahi munkar itu adalah poros kutub agama, barangsiapa
yang menegakkannya dari muslim mana saja, maka wajib atas yang lainnya
untuk menolong dan membela mereka. Tidak boleh ( haram ) bagi siapa pun
untuk duduk berdiam diri dan pura-pura lupa dari mereka yang menegakkan
amar ma’ruf nahi munkar, sekali pun ia tahu / yakin bahwa gerakan mereka
itu tidak akan berhasil ”.
Ada pun penghancuran atau pembakaran
Tempat Ma’siat menyangkut salah satu tekhnis dalam ber-amar ma’ruf nahi
munkar, yang kedudukan hukumnya kembali kepada hukum fiqih yang lima,
yaitu : wâjib, mandûb, mubâh, makrûh dan harâm.
Al-Imâm Syarfuddîn Yahyâ ibnu Badriddïn Mûsâ Al-‘Imrîthî rhm dalam nazhomnya, Al-Waraqât, menyatakan :
" وَ الحُكْمُ وَاجِبٌ وَ مَنْدُوْبٌ وَمَا أُبِيْحَ وَالمَكْرُوْهُ مَعَ مَا حُرِمَا "
Artinya : ” Dan hukum adalah Wajib dan Mandub, Mubah dan Makruh beserta Haram ”
Penentuan
hukum itu sendiri sangat bergantung kepada tingkat manfaat dan mudharat
yang ditimbulkan, dengan tidak terlepas dari pengaruh situasi dan
kondisi yang ada.
Menyangkut hukum penghancuran / pembakaran tempat ma’siat, maka sebagai gambaran kemungkinan hukum yang muncul, yaitu :
1.
Wajib jika kemunkarannya tidak bisa dihilangkan kecuali dengan
dihancurkan / dibakar, sedang mudharat penghancuran / pembakaran hampir
tidak ada sama sekali.
2. Mandub jika manfaat penghancuran /
pembakaran jauh lebih besar dari pada mudharatnya, dan kemudharatan
tersebut mudah dihindarkan.
3. Mubah jika manfaat penghancuran /
pembakaran jauh lebih besar dari pada mudharatnya, dan kemudharatan
tersebut sulit dihindarkan.
4. Makruh jika manfaat dan mudharatnya seimbang.
5. Haram jika mengantarkan kepada mudharat yang lebih besar.
Jadi
untuk menentukan hukumnya harus dilakukan pengkajian yang mendalam
dengan ijtihâd yang ekstra hati-hati, dan harus dilakukan oleh ahlinya.
4.
Sungguh pun demikian, tetap saja aksi bakar membakar memberi ”kesan”
yang tidak baik terhadap Islam ? Seharusnya dipikirkan cara lain tanpa
harus ada aksi bakar membakar. Lagipula, sehebat apa pun perlawanan kita
kepada kema’siatan, toh kema’siatan itu akan tetap ada hingga Hari
Qiyamat, jadi kenapa harus repot-repot memerangi kema’siatan ?
Ya.
Terlepas dari hukum fiqih yang lima, maka dengan pertimbangan fiqhud
da’wah, aksi penghancuran dan pembakaran Tempat Ma’siat harus
dihindarkan sebisa mungkin. Dan kita harus berusaha mencari alternatif
lain, sekali pun membutuhkan lebih banyak pengorbanan waktu, tenaga dan
fikiran. Karena memang pertimbangan ” kesan ” termasuk dari pertimbangan
yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam perjuangan da’wahnya.
DR.
Muhammad Al-Habsy, dalam kitabnya, Sîroh Rosûlillâh SAW, halaman 180 –
182, menceritakan bahwa di tahun ke – 5 Hijriyyah, seusai Perang Banî
Mushtholaq, rombongan Rasulullah SAW dan para Shahabatnya istirahat di
sumber air Muroysi’. Dedengkot munâfiqîn yang kala itu ikut bersama
rombongan, yaitu ‘Abdullah ibnu Ubay ibnu Salûl, melakukan provokasi
jâhiliyyah untuk mengadu domba antara Muhajirîn dan Anshâr. Kemudian
‘Umar ibnu Al-Khaththâb ra menghadap Rasulullah SAW untuk meminta izin
membunuh sang Munâfiq, beliau SAW pun menjawab :
" فَكَيْفَ يَا عُمَرُ , إذَا تَحَدَّثَ النَّاسُ أَنَّ مُحَمَّدًا يَقْتُلُ أَصْحَابَهُ ؟ لاَ ! "
Artinya : ” Bagaimana hai ‘Umar, jika orang-orang mengatakan bahwa Muhammad membunuh para shahabatnya sendiri ? Tidak ! ”
As-Syeikh
Fuâd ‘Abdul Bâqi menukilkan haditsnya secara lengkap dalam kitab yang
menghimpun hadits-hadits muttafaqun ‘alaih, Al-Lu’lu’ wal Marjân, Juz
III hal.194 hadits ke – 1.669, yang lengkapnya sebagai berikut :
"
عَنْ جَابِرٍ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : " كُنَّا فِى
غَزَاةٍ , فَكَسَعَ رَجُلٌ مِنَ المُهًاجِرِيْنَ رَجُلاً مِنَ الأَنْصَارِ
, فَقَالَ الأَنْصَارِيُّ : " يَا لَلأَنْصَار ! " , وَقَالَ
المُهَاجِرِيُّ : " يَا لَلْمُهَاجِرِيْنَ ! " , فَسَمِعَ ذَاكَ رَسُوْلُ
الله صَلىَّ الله عليهِ وَآلِهِ وَسَـلَّم فَقَالَ : " مَا بَالُ دَعْوَى
جَاهِلِيَّة ؟ " , قَالُوا : " يَا رَسُوْلَ الله ! كَسَعَ رَجُلٌ مِنَ
المُهَاجِرِيْنَ رَجُلاً مِنَ الأَنْصَاِر " , فَقَالَ : " دَعُوْهَا
فَإِنَّهَا مُنْتِنَة ! ". فَسَمِعَ بِذَلِكَ عَبْدُ الله بنُ أُبَيْ
فقَاَلَ : " فَعَلُوْهَا ؟ أَمَّا وَاللهِ , لَئِنْ رَجَعْنَا إِلَى
المَدِيْنَةِ لَيُخْرِجُنَّ الأعزُّ مِنْهَا الأذَلَّ " , فَبلَغَ
النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَآلِهِ ِوَسَلَّمَ , فقَاَمَ عُمَرُ
فَقَالَ : " يَا رَسُولَ الله ! دَعْنِي أَضْرِبُ عُنُقَ هَذَا المُنَافِقِ
" , فَقَالَ الَّنبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَليَْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ : "
دَعْهُ ! لاَ يَتَحَدَّثُ النَّاسُ أَن َّمُحَمَّدًا يَقْتُلُ أَصْحَابَهُ "
Artinya : ”Dari Jâbir ibnu ‘Abdullah ra berkata : ” Saat kami dalam
suatu perjalanan perang, ada terjadi seorang Muhâjir mendorong dengan
keras seorang Anshâr, maka berteriaklah si Anshâr : ” Hai kaum Anshâr (
bangkitlah ) ! Si Muhâjir pun berseru : ” Hai kaum Muhâjirîn
(bangkitlah) ! Rasulullah SAW mendengar semua teriakan itu, beliau pun
bertanya : ” Ada apa dengan seruan jâhilyyah ini ? Para Shahabat
menjawab : ” Wahai Rasulullah, seorang Muhâjir telah mendorong seorang
Anshâr ”. Beliau pun bersabda : ” Tinggalkan semua itu, sesungguhnya itu
perbuatan busuk ”. Kejadian tersebut terdengar oleh ‘Abdullah ibnu
Ubay, ia pun berkata : ” Mereka (Muhâjirin) melakukan itu ? Maka demi
Allah, apabila kita sampai di Madinah, niscaya golongan mulia (Anshâr)
akan mengusir golongan hina (Muhâjirin) dari Madinah ”. ‘Umar ra berdiri
menghadap Rasulullah SAW sambil berkata : ” Wahai Rasulullah, biarkan
aku menebas batang leher orang munâfiq ini ”. Nabi SAW bersabda :
”Biarkan dia ! jangan sampai nanti orang mengatakan bahwa Muhammad
membunuh shahabatnya sendiri ”.
Sekali pun ‘Abdullah ibnu Ubay
seorang munâfiq, bahkan provokator pemecah belah umat yang layak
dibunuh, namun di mata orang-orang kafir kala itu ia bagian dari kaum
muslimin yang menjadi shahabat Nabi SAW, sehingga membunuhnya hanya akan
melahirkan ” kesan ” bahwa Rasulullah SAW membunuh shahabatnya sendiri.
Suatu fiqhud da’wah yang luar biasa dengan tidak mengenyampingkan pertimbangan kesan dalam mengambil sikap dan keputusan.
Ada
pun mengenai keberadaan kema’siatan hingga Hari Akhir tidak menjadi
alasan untuk meninggalkan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar. Justru
seharusnya menjadi motivator yang lebih mendorong peningkatan aksi
melawan kemunkaran, karena mengingat kekuatan Iblis dan keturunannya
yang besar serta keuletan menggoda yang tak mengenal putus asa.
Selama
Iblis dan keturunannya ada maka selama itu pula mereka akan senantiasa
berupaya menyesatkan umat manusia di dunia dengan berbagai kema’siatan.
Dalam Al-Qur’an surat Al-A’râf, Al-Hijr, Al-Isrâ’ dan Shâd diceritakan
bahwasanya Iblis semenjak dila’nat oleh Allah SWT karena kesombongannya
menolak perintah-Nya untuk sujud kepada Adam as, Iblis meminta kepada
Allah SWT agar ia dan keturunannya tidak dimatikan hingga Hari Qiamat
supaya punya kesempatan menggoda Adam dan anak cucunya. Dan Iblis pun
bersumpah sebagaimana Allah SWT ceritakan dalam Q.S.38. Shâd ayat 82 –
83 :
" قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِيْنَ .إِلاَّ عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِيْنَ "
Artinya
: ”( Iblis ) berkata : ” Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan
mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlish di antara mereka
”.
Namun, walau permintaan Iblis untuk hidup hingga Qiamat
diperkenankan, dan ia bersumpah untuk selalu berupaya menyesatkan
manusia, yang oleh karenanya kema’siatan dan kemunkaran akan selalu ada
di atas muka bumi ini. Pada kenyataannya, Allah SWT tetap mengutus para
Nabi dan Rasul untuk berda’wah menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, dan
mewajibkan hamba-hamba-Nya untuk mencegah dan melarang segala bentuk
kema’siatan dan kemunkaran.
Jadi jelas, inti nahi munkar adalah
mencegah dan melarang kemunkaran di atas muka bumi, bukan menafi
keberadaannya. Meniadakan ma’siat di dunia secara keseluruhan adalah
sesuatu yang mustahil bagi manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar