Tidak ada seorang pun yang memungkiri bahwa sikap lembut dan bijak adalah sikap yang terpuji, bahkan harus dikedepankan di berbagai situasi dan kondisi, apalagi dalam beramar ma’ruf nahi munkar.
Allah SWT berfirman dalam Q.S.16. An-Nahl ayat 125 :
"
اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ
بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ "
Artinya : ” Serulah ( manusia ) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang terbaik. Sesungguhnya Tuhanmu Dia lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dia lah yang lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapat petunjuk ”.
Artinya : ” Serulah ( manusia ) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang terbaik. Sesungguhnya Tuhanmu Dia lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dia lah yang lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapat petunjuk ”.
Dan dalam Q.S.3. Âli-‘Imrân : 159, Allah SWT berfirman :
"
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا
غَلِيْظَ الْقَلْبِ لاَنْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ
وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ
فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ "
Artinya : ” Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekeliling mu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya ”.
Artinya : ” Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekeliling mu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya ”.
Dalam
Shahîh Al-Imâm Al-Bukhâri ra, Kitâb Al-Adab, Bab 35 tentang kelembutan
dalam segala urusan Hadits ke – 6.024, Kitâb Al-Istitâbah Bab 4 tentang
menyikapi hinaan Dzimmi Hadits ke – 6.927, Kitâb Al-Isti’dzân Bab 22
tentang tata cara menjawab salam Ahludz Dzimmah Hadits ke – 6.256, Kitâb
Ad-Da’awât Bab 58 tentang menyumpahi orang kafir Hadits ke – 6.395,
yang semuanya bersumber dari ‘Âisyah ra, bahwasanya Rasulullah SAW
bersabda :
" إنَّ اللهَ رَفِيْقٌ وَيُحِبُّ الرِّفْقَ فىِ الأَمْرِ كُلِّهِ "
Artinya : ” Sesungguhnya Allah itu Maha Lembut, dan Ia menyukai kelembutan dalam segala urusan ”.
Artinya : ” Sesungguhnya Allah itu Maha Lembut, dan Ia menyukai kelembutan dalam segala urusan ”.
Hadits serupa atau yang semakna diriwayatkan pula oleh para Ahli Hadits lainnya seperti Al-Imâm At-Tirmidzi rhm dalam Jâmi’-nya, Kitâb Al-Isti’dzân, Bab 12 tentang salam terhadap Ahludz Dzimmah.
Bahkan Al-Imâm Muslim rhm dalam Shahîh-nya pada Kitâb Al-Birr membuat Bab Khusus tentang keutamaan kelembutan. Begitu pula Al-Imâm Ibnu Mâjah rhm dalam Sunan-nya pada Kitâb Al-Adab menjadikan Bab 9 sebagai Bab Khusus tentang kelembutan.
Termasuk Al-Imâm Abu Daud rhm dalam Sunan-nya meriwayatkan sejumlah hadits tentang kelembutan sikap dalam satu bab khusus pada Kitâb Al-Adab, antara lain :
1. Hadits ke - 4.786
Dari ‘Abdullah ibnu Mughoffal ra, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda :
Dari ‘Abdullah ibnu Mughoffal ra, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda :
" إنَّ اللهَ رَفِيْقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ وَ يُعْطِى عَلَيْهِ مَا لاَ يُعْطِى عَلىَ العُنْفِ "
Artinya : ” Sesungguhnya Allah Maha Lembut menyukai kelemahlembutan, dan Ia memberi karunia bagi kelembutan apa yang tidak diberikannya bagi kekerasan / kebengisan ”.
Artinya : ” Sesungguhnya Allah Maha Lembut menyukai kelemahlembutan, dan Ia memberi karunia bagi kelembutan apa yang tidak diberikannya bagi kekerasan / kebengisan ”.
2. Hadits ke - 4.787
Dari ‘Âisyah ra, bahwasanya Rasulullah SAW berkata kepada beliau ra :
"
يَا عَائِشَةُ , اُرْفُقِي ! فَإِنَّ الرِّفْقَ لَمْ يَكُنْ فِي شَيْءٍ
قَطٌّ إِلاَّ زَانَهُ , وَلاَ نُزِعَ مِنْ شَيْءٍ قَطٌّ إِلاَّ شَانَهُ “
Artinya : ” Wahai ‘Aisyah, Bersikaplah lemah lembut ! Sesungguhnya kelembutan tidak terjadi pada sesuatu kecuali dia menjadikannya indah, dan kelembutan itu tidak tercabut dari sesuatu kecuali menjadikannya jelek ”.
Artinya : ” Wahai ‘Aisyah, Bersikaplah lemah lembut ! Sesungguhnya kelembutan tidak terjadi pada sesuatu kecuali dia menjadikannya indah, dan kelembutan itu tidak tercabut dari sesuatu kecuali menjadikannya jelek ”.
3. Hadits ke - 4.788
Dari Jâbir ibnu ‘Abdillah ra, telah bersabda Rasulullah SAW :
" مَنْ يَحْرُمُ الرِّفْقَ يَحْرُمُ الخَيْرَ كُلَّهُ "
Artinya : ” Barangsiapa yang menjauhi kelembutan, maka berarti menjauhi semua kebajikan ”.
Artinya : ” Barangsiapa yang menjauhi kelembutan, maka berarti menjauhi semua kebajikan ”.
Kekerasan adalah cerminan dari dua sikap ; Pertama, cerminan dari kekasaran sikap dan kebengisan hati. Kedua, cerminan dari ketegasan sikap dan ketegaran prinsip.
Untuk yang pertama, jelas dilarang karena bertolak belakang dengan prinsip kelembutan yang diajarkan Islam. Sedang untuk yang kedua, sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip kelembutan, karena ia hanya merupakan tindak lanjut dari suatu proses amar ma’ruf nahi munkar dengan kelembutan yang tak terselesaikan.
Saat mana tercipta suatu kondisi bahwa amar ma’ruf nahi munkar tidak bisa berjalan kecuali dengan sikap tegas dan keras, maka berlakulah kaidah fiqih :
" مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ "
Artinya : ” Apa-apa yang tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengannya, maka ia ikut menjadi wajib ”.
Artinya : ” Apa-apa yang tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengannya, maka ia ikut menjadi wajib ”.
Amar ma’ruf nahi munkar adalah kewajiban, dan jika ia tidak bisa ditegakkan dengan sempurna kecuali dengan sikap tegas dan keras, maka sikap tersebut menjadi wajib demi tegak dan sempurnanya kewajiban amar ma’ruf nahi munkar.
Lihat kaidah tersebut dalam kitab Mabâdi’ Awwaliyyah, karya Al-Ustâdz ‘Abdul Halîm Hakîm, Kaidah ke – 28.
Al-Imâm Muhammad Abu Zahroh dalam kitabnya, Ushûlul Fiqh, halaman 167, menyatakan bahwasanya kaidah tersebut sejalan dengan kaidah lain yang berbunyi :
" الأَمْرُ بِالشَّيْءِ أَمْرٌ بِوَسَائِلِهِ "
Artinya : ” Perintah terhadap sesuatu berarti perintah terhadap semua wasilah / sarananya ”.
Artinya : ” Perintah terhadap sesuatu berarti perintah terhadap semua wasilah / sarananya ”.
Sikap tegas dan keras pada kondisi seperti ini bukan kekerasan yang tercela, bahkan terpuji karena menjadi wasilah perjuangan yang lazim demi sempurnanya amar ma’ruf nahi munkar yang sedang diperjuangkan. Karenanya, kekerasan terpuji semacam ini dibenarkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjuangan Islam semenjak zaman permulaan hingga saat ini.
Nash Al-Qur’an dan As-Sunnah yang membenarkan sikap keras dengan pengertian ” tegas sikap dan tegar prinsip ” tidak kalah banyaknya dengan nash tentang kelembutan sebagaimana telah kita bahas dan uraikan, antara lain :
I. Nash Qur’ani
1. Q.S.48. Al-Fath : 29
" مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللَّهِ وَالَّذِيْنَ مَعَهُ أَشِدّآءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ "
Artinya : ” Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka ”.
Artinya : ” Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka ”.
2. Q.S.9. At-Taubah : 73 dan Q.S.66. At-Tahrîm : 9
"
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِيْنَ وَاغْلُظْ
عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيْرُ "
Artinya : ” Hai Nabi, Berjihadlah ( perangilah ) orang-orang kafir dan orang-orang munafiq itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahannam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-seburuknya ”.
Artinya : ” Hai Nabi, Berjihadlah ( perangilah ) orang-orang kafir dan orang-orang munafiq itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahannam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-seburuknya ”.
3. Q.S.9. At-Taubah : 123
"
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا قَاتِلُوْا الَّذِيْنَ يَلُوْنَكُمْ
مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوْا فِيْكُمْ غِلْظَةً وَاعْلَمُوْا أَنَّ
اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ "
Artinya : ” Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan dari padamu, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa ”.
Artinya : ” Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan dari padamu, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa ”.
Ketiga ayat di atas secara tegas dan gamblang membimbing umat Islam agar bersikap keras terhadap orang-orang kafir yang memusuhi dan memerangi mereka, begitu pula orang-orang munafiqin yang berusaha mencelakakan mereka.
II. Nash Nabawi
Ada pun Nushûsh Nabawiyyah tentang sikap tegas dan keras dalam berda’wah banyak tak terhingga. Hampir semua kitab hadits merekam fakta sejarah tentang bagaimana tegas dan kerasnya perjuangan Rasulullah SAW dan para Shahabatnya yang mulia dalam memerangi kemusyrikan, kemunkaran dan berbagai jenis kebathilan.
Sebagai bukti nyata tak terpungkiri, lihatlah bagaimana Allah SWT merestui Nabi SAW untuk mengangkat pedang memerangi orang-orang kafir, dan tercatat dalam sejarah Islam tidak kurang dari 29 peperangan yang terjadi di zaman Nabi SAW antara kaum muslimin melawan kaum kafirin, mulai dari Perang Abwa’ pada tahun ke - 2 Hijriyyah jauh sebelum Perang Badar hingga Perang Tabuk pada tahun ke - 9 Hijriyyah.
Bahkan sejumlah peperangan terjadi pada bulan-bulan haram / suci ( Rajab, Dzul Qi’dah, Dzul Hijjah dan Muharram ) yang seharusnya tidak boleh ada peperangan.
NO NAMA PERANG TEMPAT WAKTU
1 Abwâ’ Waddân Shafar th.2 H
2 Buwâth Buwâth Di sisi Gunung Radhawi Rabî’ul Awwal th.2 H
3 Al-‘Usyairah Al-‘Usyairah Di sebelah Utara Bahrân Jumâdil Ûla th.2 H.
4 Badr Al-Ûla Wadi Safwân Dekat badr Jumâdil Âkhirah th.2 H
5 Badr Al-Kubra Badr Ramadhân th.2 H
6 Bani Qoinuqô’ Madinah Syawwâl th.2 H
7 Bani Sulaim Qorqorotul Kadr Antara Madinah – Makkah Syawwâl th.2 H
8 As-Suwaiq Qorqorotul Kadr Dzul Hijjah th.2 H
9 Dzî Amar Dzû Amar di Najd Muharram th.3 H
10 Bahrân Bahrân antara Madinah - Makkah Rabî’ul Awwal th.3 H
11 Uhud Gunung Uhud di pinggir kota Madinah Syawwâl th.3 H
12 Hamrô-ul Asad 8 mil dari Madinah (lanjutan Uhud) Syawwâl th.3 H
13 Bani An-Nudhair Pinggir kota Madinah Rabî’ul Awwal th.4 H
14 Dzâtir Riqô’ Di Najd Sya’bân th.4 H
15 Badr Al-Âkhirah Badr Sya’bân th.4 H
16 Daumatul Jandal Daumatul Jandal Rabî’ul Awwal th.5 H
17 Bani Al-Mushtholaq Al-Muroisi’ Sya’bân th.5 H
18 Al-Khandaq Madinah Syawwâl th.5 H
19 Bani Quraizhoh Pinggir kota Madinah Dzul Qa’dah th.5 H
20 Bani Lahyân Gharrân Jumâdil Ûla th.6 H
21 Dzî Qird Dzû Qird Jumâdil Ûla th.6 H
22 Al-Hudaibiyah Al-Hudaibiyah Dzul Qa’dah th.6 H
23 Khaibar Khaibar Muharram th.7 H
24 ‘Umratul Qadhâ Makkah Dzul Hijjah th.7 H
25 Mu’tah Mu’tah Jumâdil Ûla th.8 H
26 Fathu Makkah Makkah Ramadhân th.8 H
27 Hunain Wâdi Authâs dekat Thâif Syawwâl th.8 H
28 Thâif Thâif Syawwâl th.8 H
29 Tabûk Tabûk Rajab th.9 H
Dan tentu saja, kita tidak bisa memungkiri bahwa perang adalah tindak kekerasanyang mengakibatkan pertumpahan darah, kemusnahan harta benda, bahkan mengorbankan nyawa. Namun ternyata dilakukan oleh Rasulullah SAW, bahkan di bulan haram pula.
Sekali pun harus kita akui dari 29 peperangan tersebut hanya 5 peristiwa yang betul-betul terjadi perang sesungguhnya, yaitu perang : Badar, Uhud, Khaibar, Mu’tah dan Hunain. Sedangkan 24 perang lainnya, hampir tidak ada pertumpahan darah besar selain Perang Quraizhoh yang diakhiri dengan pelaksanaan hukuman mati atas sejumlah pengkhianat Yahudi.
Perang lain terhindar dari pertumpahan darah besar tidak terlepas dari kepiawaian Rasulullah SAW mengatur strategi, sekaligus sebagai bukti hikmah dan rahmah yang diberikan Allah SWT kepadanya. Perang-perang ini ada yang diakhiri dengan perjanjian , ada pula dengan larinya musuh, dan ada lagi dengan pertahanan kaum muslimin yang tak bisa ditembus musuh.
Perbandingan ( 5 : 24 ) antara perang yang sesungguhnya dengan perang yang hampir tanpa pertumpahan darah, telah menjadi bukti bahwasanya Rasulullah SAW selalu mengedepankan kedamaian. Beliau selalu berusaha menghindarkan segala bentuk kekerasan selama memungkinkan, sehingga pertumpahan darah hanya terjadi bila terpaksa.
Hal ini dikupas dengan sangat baik oleh DR. Muhammad Al-Habsy dalam kitab Sîroh Rosûlillah SAW, hal. 332. Kitab ini merupakan kumpulan ceramah Asy-Syeikh Ahmad Kaftâru, Mufti Syria, yang dihimpun dan disusun dengan apik oleh sang penulis kitab.
Dan sikap inilah yang telah diteladani oleh para Al-Khulafâ’ Ar-Râsyidîn ra. Lihatlah bagaimana Sayyidunâ Abu Bakar Ash-Shiddîq ra tanpa ragu-ragu memerangi kaum murtadîn dan mereka yang tidak mau membayar zakat, setelah terlebih dahulu diajak untuk bertaubat dengan penuh kelembutan.
Dan lihat pula bagaimana Sayyidunâ ‘Ali Al-Murtadhâ krw dengan tegas menindak kaum bughât yang durhaka terhadap Imam yang haq, setelah terlebih dahulu diajak untuk kembali kepada persatuan umat dan mentaati pimpinan.
Itu semua merupakan sikap tegas dan keras yang terpuji. Dan semua itu tidak dilakukan kecuali setelah sikap lembut dan ramah dikedepankan dan didahulukan.
Sungguh tidak masuk akal, bila kekerasan secara mutlak divonis sebagai sesuatu yang tercela dan terlarang. Bukankah sudah menjadi kesepakatan masyarakat internasional, bahwa tentara suatu negara dibenarkan untuk menyerang dan menembak, bahkan membunuh musuh dalam membela kedaulatan bangsa dan negara. Dan polisi suatu negara juga dibenarkan menembak mati para penjahat tatkala tak ada pilihan lain untuk mengatasinya. Semua itu merupakan kekerasan yang terpuji, bahkan kekerasan yang menjadi keharusan demi melindungi kedamaian dan kelembutan.
Disini kita tertantang untuk mengkaji ulang definisi tindak kekerasan, agar tidak terjadi pembusukan makna dengan menggeneralisir bahwa semua kekerasan itu tercela dan patut dikecam serta dilaknat. Dengan pendefinisian yang benar nantinya kita mudah memilah mana kekerasan yang terpuji dan mana yang tercela, sehingga kita tidak lagi memposisikan dalil-dalil kelembutan sebagai lawan dari dalil-dalil kekerasan yang menjadi cerminan ketegasan sikap dan ketegaran prinsip.
Jadi, kita tidak boleh hanya mengambil dalil-dalil kelembutan dengan mengabaikan dalil-dalil kekerasan, atau sebaliknya, karena keduanya sama-sama datang dari sumber hukum yang sah, bahkan sumber dari segala sumber hukum Islam, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Seharusnya kedua macam dalil yang zhâhirnya terjadi kontradiksi tersebut, kita padukan agar saling mengisi dan melengkapi serta saling menyempurnakan satu sama lainnya, bukan saling dibenturkan dan dipertentangkan. Karena pada prinsipnya tidak ada kontradiksi dalil dalam syari’at, kalau pun kita jumpai dalil-dalil syar’i yang zhâhirnya bertentangan, pasti ada jawaban untuk itu.
Asy-Syeikh ‘Abdul Wahhâb Khollâf dalam kitabnya, Ushûlul Fiqh, halaman 230, menyatakan :
"
وَمِمَّا يَنْبَغِيْ التَّنْبِيْهُ لَهُ أَنَّهُ لاَ يُوْجَدُ تَعَارُضٌ
حَقِيْقِيٌّ بَيْنَ آيَتَيْنِ , أَوْ بَيْنَ حَدِيْثَيْنِ صَحِيْحَيْنِ ,
أَوْ بَيْنَ آيَةٍ وَحَدِيْثٍ صَحِيْحٍ . وَإِذَا بَدَا تَعَارُضٌ بَيْنَ
نَصَّيْنِ مِنْ هذِهِ النُّصُوْصِ فَإِنَّمَا هُوَ تَعَارُضٌ ظَاهِرِيٌّ
فَقَطْ بِحَسَبِ مَا يَبْدُوْا لِعُقُوْلِنَا , وَلَيْسَ بِتَعاَرُضٍ
حَقِيْقِيٍّ , لأَنَّ الشَّارِعَ الوَاحِدَ الحَكِيْمَ لاَ يُمْكِنُ أَنْ
يَصْدُرَ عَنْهُ دَلِيْلٌ يَقْتَضِي حُكْمًا فِى وَاقِعَةٍ , وَيَصْدُرَ
عَنْهُ نَفْسَهُ دَلِيْلٌ آخَرٌ يَقْتَضِي فِى الوَاقِعَةِ نَفْسَهَا
حُكْمًا خِلاَفَهُ فِى الوَقْتِ الوَاحِدِ "
Artinya : ” Dari pada bagian yang harus diperhatikan, bahwasanya tidak ada Kontradiksi Haqîqi antara dua ayat, atau antara dua hadits shahih, atau antara suatu ayat dan suatu hadits shahih. Apabila tampak kontradiksi antara dua nash dari nushush tersebut, maka sesungguhnya itu hanya Kontradiksi Zhâhiri sesuai dengan apa yang tampak bagi akal kita, jadi bukan Kontradiksi Haqîqi. Karena Pembuat Syariat Yang Maha Esa lagi Bijaksana, tidak mungkin keluar dari-Nya dalil yang menunjukkan suatu hukum dalam suatu kondisi, kemudian keluar dari pada-Nya pula dalil lain dalam kondisi yang sama yang menunjukkan hukum yang berbeda dalam waktu bersamaan ”.
Artinya : ” Dari pada bagian yang harus diperhatikan, bahwasanya tidak ada Kontradiksi Haqîqi antara dua ayat, atau antara dua hadits shahih, atau antara suatu ayat dan suatu hadits shahih. Apabila tampak kontradiksi antara dua nash dari nushush tersebut, maka sesungguhnya itu hanya Kontradiksi Zhâhiri sesuai dengan apa yang tampak bagi akal kita, jadi bukan Kontradiksi Haqîqi. Karena Pembuat Syariat Yang Maha Esa lagi Bijaksana, tidak mungkin keluar dari-Nya dalil yang menunjukkan suatu hukum dalam suatu kondisi, kemudian keluar dari pada-Nya pula dalil lain dalam kondisi yang sama yang menunjukkan hukum yang berbeda dalam waktu bersamaan ”.
Wujud zhâhir pertentangan dalil syar’i bisa jadi timbul akibat adanya hubungan takhshîshul 'âm (pengkhususan yang umum), atau taqyîdul muthlaq (pembatasan yang mutlak), atau tafshîlul mujmal (perincian yang global), atau pula nâsikhul mansûkh (pembatalan yang terdahulu), dan lain sebagainya. Di sinilah menjadi kewajiban kita bersama untuk menguak hubungan tadi yang akan menafikan segala zhâhir pertentangan dalam syari’at.
Dalam Q.S.4. An-Nisâ’ : 82, Allah SWT menjamin tidak adanya pertentangan dalam kitab suci Al-Qur’an :
" أَفَلاَ يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوْا فِيهِ اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا "
Artinya : ” Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an ? Kalau kiranya Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. ”
Artinya : ” Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an ? Kalau kiranya Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. ”
Dan dalam Q.S.53. An-Najm : 3 – 4, Allah SWT menjamin kesucian As-Sunnah karena berasal dari sumber ilahi, sehingga pada saat yang sama sekaligus menjadi jaminan tidak ada pertentangan dalam As-Sunnah :
" وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى "
Artinya : ” Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan ( kepadanya ) .”
Artinya : ” Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan ( kepadanya ) .”
Kesimpulannya, lembut dan keras hanya soal teknis amar ma’ruf nahi munkar. Lembut ada tempatnya dan keras ada saatnya. Kedepankan kelembutan dan jadikan sikap keras dan tegas sebagai solusi yang paling akhir. Keduanya benar selama berjalan di atas rel syari’at Nabi Muhammad SAW.
Sayyidunâ ‘Ali ibnu Abi Thâlib krw pernah menulis pesannya kepada para pembantunya dalam menjalankan roda pemerintahan, antara lain berisi :
"
فَاسْتَعِنْ بِاللهِ عَلىَ مَا أَهَمَّكَ . وَاخْلُطِ الشِّدَّةَ
بِِضَغْثٍ مِنَ اللِّيْن , وَارْفُقْ مَا كَانَ الرِّفْقُ أَرْفَقُ .
وَاعْتَزِمْ بِالشِّدَّةِ حِيْنَ لاَ يُغْنيِ عَنْكَ إِلاَّ الشِّدَّة ".
Artinya : ” Mohonlah pertolongan Allah. Campurlah sikap keras dengan segenggam kelembutan, lembutlah ketika kelembutan itu yang terbaik. Dan mantapkan kekerasan saat engkau tidak lagi mendapatkan cara kecuali kekerasan .”
Artinya : ” Mohonlah pertolongan Allah. Campurlah sikap keras dengan segenggam kelembutan, lembutlah ketika kelembutan itu yang terbaik. Dan mantapkan kekerasan saat engkau tidak lagi mendapatkan cara kecuali kekerasan .”
Camkan baik-baik pesan tersebut, Insya Allah akan sangat besar manfaatnya bagi kita semua. Pesan tersebut dituangkan oleh As-Sayyid Asy-Syarîf Ar-Rodhi ( 359 – 404 H ), dalam Nahjul Balâghoh, sebuah kitab himpunan ucapan dan pernyataan Al-Imâm ‘Ali ibnu Abi Thâlib ra, Juz III, Hal.597, nomor ke 46, dengan tahqiq As-Syeikh Muhammad ‘Abduh rhm ( 1849 – 1905 M ), seorang ulama besar Mesir yang aktif dalam Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam di abad XIX.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar