Bisri, anak nomor tiga dari lima bersaudara pasangan Syansuri dan
Maiah, lahir pada 18 September 1886/26 Dzulhijjah 1304 di Tayu, Jawa
Tengah, daerah yang kuat memegang tradisi ajaran Islam.
Umur tujuh tahun, ia belajar agama kepada Kiai Sholeh hingga umur
sembilan tahun. Setelah itu ia mempelajari hadits, tafsir, dan bahasa
Arab kepada Kiai Abdul Salam, salah seorang familinya yang hafal
Al-Quran. Sesudah itu ia ke Jepara belajar kepada Kiai Syu`aib Sarang
dan Kiai Cholil Kasingan.
Umur 15 tahun ia menuju Bangkalan, Madura, berguru kepada Kiai
Cholil. Di sinilah ia berjumpa dan berteman akrab dengan Wahab
Chasbullah.
Dari Bangkalan, ia menuju Jombang, berguru kepada K.H. Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng.
Setelah enam tahun, ia mendapat ijazah untuk mengajarkan kitab hadits
Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim serta kitab fiqih Matn Az-Zubad.
Seusai dari Tebuireng, ia melanjutkan pengembaraan ilmunya ke Makkah
bersama Wahab (1912). Di sana ia berguru kepada sejumlah ulama
terkemuka, seperti K.H. Muhammad Bakir, Syaikh Muhammad Sa`id Yamani,
Syaikh Ibrahim Madani, Syaikh Jamal Maliki. Juga kepada Syaikh Ahmad
Khatib Minangkabaw, Syaikh Syu`aib Dagestani, dan Syaikh Mahfudz Termas.
Tahun 1914 ia mempersunting adik Wahab Chasbullah, Nur Chadijah, di
Tanah Suci. Setelah itu, tahun itu juga, Bisri balik ke tanah air dan
menetap di Jombang, membantu mertuanya mengurus Pesantren Tambakberas.
Pada 1917, atas bantuan mertua, ia membuka pesantren sendiri di Desa
Denanyar, yang populer dengan sebutan Pesantren Denanyar. Tahun itu
pula, kakak iparnya, Wahab, pulang kampung. Bisri ikut terlibat dalam
sepak terjang Wahab ketika mendirikan Komite Hijaz dan pembentukan NU
pada 31 Januari 1926 di Kertopaten, Surabaya.
Dalam proses pendirian NU, Bisri menjadi penghubung antara Kiai Wahab dan Kiai Hasyim Asy`ari.
Segera setelah NU terbentuk, sebagai pembantu dalam susunan pengurus
besar, ia menjadi motor penggerak di Jombang dan daerah pesirir utara
Jawa. Posisi itu membuatnya dikenal secara luas.
Rumah tangga Bisri dikaruniai sepuluh anak, tapi ada beberapa yang
meninggal waktu kecil. Di antaranya anaknya itu, Solichah, dinikahkan
dengan Wahid Hasyim, putra sulung Hasyim Asy`ari, gurunya.
Ketika Masyumi terbentuk, ia pun aktif di dalamnya. Periode
kemerdekaan juga membawanya pada fase perjuangan bersenjata. Di
pemerintahan, ia mula-mula duduk di Komite Nasional Indonesia Pusat,
mewakili Masyumi. Tahun 1855 ia terlibat dalam Dewan Konstituante hasil
pemilu, mewakili NU. Pada Pemilu 1971 ia terpilih masuk DPR.
K.H. Bisri Syansuri menutup mata beberapa bulan setelah terpilih
menjadi rais am NU dalam Muktamar Semarang Juni 1979, tepatnya pada 25
April 1980, dalam usia 94 tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar