data-config="{'skin':'skins/scmGreen/skin.css','volume':100,'autoplay':true,'shuffle':false,'repeat':1,'placement':'top','showplaylist':false,'playlist':[{'title':'Nurul Musthofa-Ya Dzaljalali Wal Ikram ','url':'http://www.youtube.com/watch?v=_eV6T3hpwEA'},{'title':'Nurul Musthofa-Ya Robbi Sholli Ala Muhammad','url':'http://www.youtube.com/watch?v=2vwjFDiMhv0'}]}" >
Sabtu, 07 Juli 2012
K.H. Abdul Wahab Chasbullah.
Ia lahir pada bulan Maret 1888 di Tambakberas, Jombang. Nasabnya tidak
jauh dari Hasyim Asy`ari. Nasab keduanya bertemu dalam satu keturunan
dari Kiai Abdus Salam. Ayahnya, Chasbullah, adalah pengasuh Pondok
Pesantren Tambakberas. Ibunya, Nyai Lathifah, juga putri kiai kondang.
Pendidikannya dihabiskan di pesantren, mulai dari Pesantren Langitan
(Tuban), Mojosari, Nganjuk, di bawah bimbingan Kiai Sholeh, Pesantren
Cepoko, Tawangsari (Surabaya), hingga Pesantren Kademangan, Bangkalan
(Madura), langsung berguru kepada Mbah Cholil. Kiai Cholil kemudian
menganjurkannya belajar ke Pesantren Tebuireng (Jombang). Pada umur 27,
ia pergi ke Makkah dan berguru kepada ulama-ulama besar Indonesia yang
bermukim di sana, seperti Kiai Mahfudz Termas, Kiai Muhtarom Banyumas,
Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Kiai Bakir Yogya, Kiai Asy`ari Bawean.
Ia juga belajar kepada tokoh-tokoh besar lain di sana yang bukan orang
Indonesia, seperti Syaikh Sa`id Al-Yamani dan Syaikh Umar Bajened. Tahun
1921, sewaktu menunaikan ibadah haji bersama istri, sang istri
meninggal di Makkah. Kemudian ia menikah dengan Alawiyah binti Alwi.
Setelah melahirkan seorang anak, istri kedua ini juga meninggal. Setelah
itu ia menikah berturut-turut dengan tiga wanita yang semuanya tidak
memberikan keturunan. Empat anak diperolehnya dari istri berikutnya,
Asnah binti Kiai Said. Setelah Asnah meninggal, ia menikah lagi dengan
Fatimah binti H. Burhan, seorang janda yang punya anak bernama Syaichu,
yang kelak menjadi ketua DPR pada masa Orde Baru. Sesudah itu ia menikah
lagi dengan Masnah, dikaruniai seorang anak, lalu dengan Ashikhah binti
Kiai Abdul Majid (Bangil), meninggal di Makkah setelah memberinya empat
anak, dan yang terakhir dengan Sa`diyah, kakak sang istri, yang
mendampinginya sampai akhir hayatnya dan memberinya keturunan lima anak.
Sedikit mundur ke belakang, tahun 1914, ketika berumur 26 tahun, ia
mendirikan kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran)
bersama K.H. Mas Mansur. Pada tahun 1916, ia mendirikan Madrasah
Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Negeri) di Surabaya. Pengajarnya terdiri
dari banyak ulama tradisional muda, seperti K.H. Bisri Syansuri
(1886-1980) dan K.H. Abdullah Ubaid (1899-1938), yang di kemudian hari
memainkan peranan penting di NU. Masih pada tahun yang sama, bersama
Kiai Hasyim Asy’ari (1871-1947), ia mendirikan koperasi dagang Nahdlatut
Tujjar (Kebangkitan Pedagang) untuk kalangan tradisionalis di kisaran
Surabaya-Jombang. Pada tahun 1920, ia juga aktif dalam Islam Studie
Club, jembatan untuk menghubungkan dirinya dengan tokoh-tokoh nasionalis
modernis, seperti dr. Soetomo. Sejak 1924, Wahab Chasbullah telah
mengusulkan agar dibentuk perhimpunan ulama untuk melindungi kepentingan
kaum tradisionalis. Pada 31 Januari 1926, atas persetujuan Hasyim
Asy`ari, ia mengundang para ulama terkemuka dari kalangan tradisionalis
ke Surabaya untuk mengesahkan terbentuknya Komite Hijaz, yang akan
mengirim delegasi ke kongres di Makkah untuk mempertahankan
praktek-praktek keagamaan yang dianut kaum tradisionalis. Pertemuan 15
kiai terkemuka dari Jawa dan Madura itu dilakukan di rumah Wahab
Chasbullah di Kertopaten, Surabaya. Pertemuan tersebut akhirnya juga
menghasilkan kesepakatan mendirikan NU, sebagai representasi Islam
tradisional, untuk mewakili dan memperkukuh Islam tradisional di Hindia
Belanda. Kemudian, MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia, Dewan Tertinggi
Islam di Indonesia), yang terbentuk pada September 1937, juga merupakan
gagasan Wahab Chasbullah dan Ahmad Dahlan Kebondalem (NU), Mas Mansur
(Muhammadiyah), dan Wondoamiseno (SI). Federasi organisasi Islam ini
bertujuan meningkatkan komunikasi dan kerja sama di antara umat Islam.
Namun kemudian MIAI dibubarkan oleh Jepang dan dibentuklah Masyumi pada
November 1943. Hasyim Asy`ari ditunjuk sebagai ketua umum dan Whab
Chasbullah sebagai penasihat dewan pelaksananya. Meski Masyumi adalah
organisasi non-politik, pada kenyataannya fungsinya setengah politis,
dimaksudkan untuk memperkuat dukungan umat Islam terhadap pemerintahan
Jepang. November 1945, Masyumi berubah menjadi parpol. Masyumi menjadi
satu-satunya kendaraan politik umat Islam. Hasyim Asy`ari menjadi ketua
umum Majelis Syuro (Dewan Penasihat Keagamaan), Wahid Hasyim, putra
Hasyim Asy`ari, menjadi wakilnya, dan Wahab Chasbullah menjadi anggota
dewan. Selanjutnya, setelah NU menyetujui peran politik bagi Masyumi
lewat muktamar di Purwokerto (1946), orang-orang NU tampil di
pemerintahan, yakni Wahid Hasyim, Kiai Masykur, dan K.H. Fathurahman
Kafrawi. Sedang Wahab Chasbullah menjadi anggota DPA. Tahun 1947, Wahab
Chasbullah menjabat rais am NU. Benih-benih krisis NU-Masyumi mulai
tumbuh pada 1952. Saat itu Wahab Chasbullah menjadi ketua Dewan Syuro.
Maka ia sangat gencar mengkampanyekan penarikan diri NU dari Masyumi.
Dan secara resmi NU menarik diri dari Masyumi pada 31 Juli 1952. Pada
sidang parlemen 17 September 1952, tujuh anggota parlemen dari NU
menarik diri dari Masyumi. Di antaranya Wahab Chasbullah, Idham Chalid,
Zainul Arifin. Mereka kemudian membentuk partai sendiri, NU. Akibatnya,
Masyumi bukan lagi partai terbesar. “Gelar” itu jatuh ke tangan PNI.
Pada Pemilu 1955, di luar dugaan, NU meraih tempat ketiga setelah PNI
dan Masyumi. Sejak itu kesibukan Wahab Chasbullah lebih banyak pada
bidang politik praktis di Jakarta, terutama sebagai anggota parlemen dan
rais am NU. K.H. Wahab Chasbullah wafat tanggal 29 Desember 1971, pada
usia 83 tahun, di rumahnya di Kompleks Pesantren Tambakberas, Jombang.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar