Langit kemerah-merahan yang menyelimuti alam tempat tinggalku mulai
merona dengan barisan awan-awannya di medan senja. Aku yang duduk di
bawahnya terusik pada iringan kisah masa laluku yang membuat hatiku
sering diserang rasa dag dig dug tidak karuan. Traumatik rasanya. Ya…
benar, benar-benar traumatik. Bagaimana tidak, cinta memang perkara
fitrah namun kali ini cinta itu dibalut dengan kesalahpahaman manusia
dalam mengartikan kata ta’aruf.
Beberapa waktu silam ketika aku
beranjak dari dunia putih abu-abu, rasanya bebas sudah segala beban yang
terus menerpa otak kiriku. Sedikit istirahat dari banyak buku yang
menumpuk di meja belajar. Saat itu, mulailah aku melamar di salah satu
lembaga kesehatan yang berbasis islamik, tak menunggu lama akhirnya aku
diterima sebagai salah satu tenaga medis di sana. Uh… senangnya.
Hatiku meronta-ronta gembira. Keseharianku yang sudah terlepas dari
kewajiban sebagai pelajar, mulai ku isi celah-celah waktu dengan
kegiatanku di dunia maya: membaca artikel islami, kata-kata motivasi,
serta menggali wawasan keislamanku sebagai muslimah. Tak sengaja ketika
aku membaca salah satu postingan Fans Page di situs jejaring social
Facebook, aku tersentak kagum pada posting tersebut yang isinya
mengisahkan bagaimana harmonisasi cinta Ali bin Abi Thalib dan Fatimah
Az-Zahra yang tidak pernah disentuh oleh kesalahpahaman dalam
mengapresiasikan cinta. Sucinya cinta mereka membuatku iri dan ingin
menjadikan kisah hidupku dalam perkara cinta layaknya cinta yang
dikisahkan mereka. Merasa tertarik, aku iseng-iseng meng-copas
(copy-paste) posting tersebut dan ku update dalam status Facebook-ku, barangkali bisa menginspirasi teman-teman Facebook-ku yang lain ketika membaca status ini, dalam benakku berkata.
Wooww…
ternyata status yang ku update itu memberikan banyak sumbangan jempol
(like) pembacanya. Tak lama room chat Facebook-ku didatangi tamu tak
diundang, yang sedikit mengusik aktivitasku di sana. (Siapakah dia?)
Ya, sebut saja dia Si Ikhwan, seorang Ikhwan yang lembut tutur
katanya, yang fahim agamanya dan yang smart intelektualnya (-awalnya
yang aku tau). Dia adalah seorang mahasiswa semester awal, jurusan
Matematika Science, FMIPA di salah satu Universitas di Tangerang
Selatan. Awalnya tak banyak bicara, namun intensitas komunikasi yang tak
jarang di Facebook yang pada akhirnya membuat aku dan dia akrab juga.
Lama-lama ko’ ada yang aneh ya kalau enggak’
komunikasi sama Ikhwan tersebut, walaupun yang dibicarakan adalah
perkara-perkara urgensi seperti keagamaan dan seputar fakta kehidupan
baik jasmani maupun ruhiyah. Tak menutup kenyataan hingga pada akhirnya
aktivitas chatting dan saling bertukar postingan di Facebook semakin
meningkat. Mulai dari memberikanku ucapan selamat dan motivasi karena
telah diterimanya aku di salah satu lembaga kesehatan, sampai pada malam
hari kelahiranku tiba, Ikhwan tersebut memberikanku banyak kejutan
lewat puisi-puisi yang di posting dalam wall Facebook-ku hingga
kata-kata yang dituturkannya dalam room chat yang berisi “Dik, Maukah adik menjadi istri kakak dunia dan akhirat”.
Byuurr…. rasanya hati seperti disiram madu, manis rasanya. Ikhwan
menawarkan diri untuk berta’aruf denganku dan berprinsip sebagai
seseorang yang anti-pacaran. Seketika aku teringat pada kisah Ali dan
Fatimah yang menginspirasiku untuk mengikuti jejak cinta mereka, mungkin
ta’aruf adalah solusinya. Malam itu hanya rasa haru yang menyelimuti
hati di malam miladku yang ke-17. Mungkin masih tergolong labil untuk
belia sepertiku yang baru saja menginjakkan kaki di usia ke-17, apalagi
ingin mengarungi hari ke dalam prosesi ta’aruf yang diharapkan akan
berujung ke jenjang pernikahan. Saat itu aku tak banyak bicara, dan
hanya mengiyakan apa yang dikatakan Sang Ikhwan saat berlangsungnya
komunikasi di Facebook.
Sepertiga malam lepas dari obrolan
tersebut, aku munajatkan segala isi hati yang menumpuk dalam benakku,
istikharah cinta hampir ku lakukan setiap hari untuk memohon kepada-Nya
agar jalan ta’aruf ini berjalan sebagaimana yang diinginkan aku dan
Ikhwan tersebut. Hem… hari-hariku rasanya semakin sering dihabiskan
berkomunikasi dengan Sang Ikhwan walau hanya di Facebook. Beberapa bulan
berlalu, akhirnya Ikhwan memintaku agar dia bisa menghubungiku lewat
telepon berkenaan dengan masalah urgensi yang terjadi dalam hubungan
antara aku dan dia. Jelas pada akhirnya kami berdua bukan saja
berkomunikasi lewat jejaring social Facebook tapi juga lewat telepon.
Setiap hari Facebook dan telepon selularku dipenuhi dengan kehadiran
Sang Ikhwan (ya… yang seperti ini sepertinya bukan lagi disebut ta’aruf)
-tapi kala itu yang menguasai hati dan pikiranku adalah tentang dia dan
keinginanku untuk menikah.
Melihat hari-hariku yang dipenuhi
dengan komunikasi bersama Sang Ikhwan di telepon selular, Ibu, Ayah dan
Saudara-saudaraku gerah juga, dan mencoba mencari informasi tentang
Ikhwan tersebut, juga sejauh apa hubunganku dengan dia. Aku jelaskan
kepada kedua orang tuaku dan saudara-saudaraku mengenai keseriusannya
padaku, walau tak sedetik pun aku dan Sang ikhwan tersebut pernah
mengenal atau bertemu dalam dunia nyata. Zlep, serentak mereka
terkejut dengan apa yang ku katakan, mungkin yang ada dalam benak mereka
adalah kekhawatiran dan kewas-wasan yang saat itu juga tergambarkan di
paparan raut wajah mereka, aku adalah gadis yang masih sangat belia,
labil dan belum bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk untuk
diriku sendiri, mana mungkin aku bisa mengarungi bahtera rumah tangga
yang jelas pasti banyak tantangan di dalamnya. Begitu sekiranya pikiran
mereka terhadapku saat itu. Tapi aku mencoba untuk meredam kekhawatiran
mereka dengan pemikiranku yang hanya tertuju pada keberlangsungan
hubunganku dan Ikhwan. Alhasil mereka tetap tidak menyetujui hubungan
ini. Berbagai cara mereka lakukan untuk meyakinkanku bahwa jalan yang ku
ambil bersama Ikhwan adalah sebuah kekeliruan, nampaknya seperti
terhipnotis oleh segala kelebihan Ikhwan dari segi agama, intelektual
dan social, mati-matian aku membela Sang Ikhwan di depan keluargaku
sendiri. Jelas mereka jadi sangat memusuhiku, gelar sebagai “Anak
Pembangkang” juga telah dinobatkannya padaku. Sedih rasanya melihat
perlakuan keluarga sendiri terhadapku hingga aku putuskan untuk
menceritakan hal ini kepada Sang Ikhwan. Aku jelaskan kepada dia apa
yang selama ini terjadi antara aku dan keluarga. Sang Ikhwan mencoba
menjadi pendengar yang baik bagi hatiku dan menenangkan aku yang dilanda
isak tangis kala itu. Entah apa yang telah dia rasuki ke dalam
pikiranku, segala dan apa yang dia katakan nampaknya tak sedikit pun aku
elakkan, selalu aku percaya apa-apa yang dia katakan dan yang
diceritakannya kepadaku. Apa yang dia katakan selalu aku anggap benar,
sehingga aku relakan memperjuangkan Sang Ikhwan di hadapan keluarga.
Suatu
saat kedua orang tuaku memintaku agar Sang Ikhwan menemui mereka,
menjelaskan apa yang terjadi antara aku dan Sang Ikhwan. “Jika Dia memang serius kepadamu, Bawalah Ikhwan tersebut menghadap Ayah dan Ibu”
begitu kata mereka. Tak banyak kata, aku menyampaikan pesan Ibu dan
Ayah kepada Ikhwan. Tanpa ambil pusing Sang Ikhwan mengiyakan undangan
kedua orang tuaku dan berjanji akan menemui mereka. Aku sedikit tenang. Alhamdulillah, semoga pertemuan nanti akan membuka pintu hati keluargaku yang selama ini tertutup untuk kehadiran Sang Ikhwan, demikian hatiku berkata.
Hari
berganti hari, janji hanya sekedar janji. Janjinya untuk menemui
keluargaku selalu diundur-undur dengan alasan masih banyak pekerjaan
yang harus dia urus dan selesaikan, sementara keluarga sudah
berkali-kali menagih janji kepadaku. Aku bingung sendiri bagaimana
menghadapi kondisi emergency ini. Suatu saat, ketika aku tengah
menjalani aktivitas pekerjaanku sebagai tenaga kesehatan di lembaga
tempat aku bekerja, seorang laki-laki dengan atasan berlapis jaket hitam
dan celana hitam mendatangiku, awalnya aku kira hanya pasien biasa atau
pelanggan yang ingin membeli obat, namun laki-laki itu melontarkan
banyak pertanyaan seputar kesehatan kepadaku, ku jawab seperlunya dan
tidak ingin banyak bicara. Pembicaraan selesai, laki-laki itu
menyodorkan sebuah kitab bahasa Arab kepadaku, dan menjelaskan bahwa dia
adalah seseorang yang diberikan kepercayaan dari Ikhwan untuk
menyampaikan amanat berupa kitab bahasa Arab tersebut kepadaku. Dengan
rasa terkejut dan keheranan hatiku bertanya-tanya “mengapa Ikhwan tersebut menyuruh laki-laki itu yang mengantarkan kitab ini?”
Tanpa ambil pusing aku menerima kitab itu, dan laki-laki itupun segera
pergi. Sampai di rumah, aku menceritakan kejadian tadi kepada keluarga,
keluargaku terkejut dan berfikir sama dengan apa yang ku pikirkan, mengapa tak Ikhwannya langsung yang mengantarkan kitab itu kepadaku.
Beberapa
hari setelah kejadian berlangsung, Sang Ikhwan mengirimkanku sebuah
pesan singkat, segera ku buka inbox yang masuk di telepon selularku. “Aku dalam perjalanan menuju rumahmu, Malam ini aku akan datang memenuhi undangan orang tuamu”.
Aku terdiam membaca pesan singkat ini, tak ada yang bisa menggambarkan
perasaanku saat itu dan tanpa berfikir panjang aku kabarkan berita ini
kepada orang tuaku. Aku hanya berharap pertemuan orang tuaku dan dia
nanti akan membuka hati keluarga untuk kehadiran Ikhwan serta
keberlangsungan hubungan ini, walaupun pertemuan ini telah ditunda-tunda
sepihak selama beberapa bulan oleh Si Ikhwan. Tak lama seorang
laki-laki berkostumkan kemeja kotak-kotak berlapiskan jaket hitam,
bersarung hijau, mengenakan peci, ransel yang menggantung di punggungnya
dan sebuah buku yang selalu menempel di tangannya ke manapun dia pergi
yang merupakan ciri khas laki-laki tersebut tengah bertamu ke rumahku.
Salah satu keluarga mempersilakannya duduk dan menunggu. Aku yang masih
di dalam rumah mencoba melihat di balik jendela kamarku dan memastikan
siapa orang yang tengah bertamu itu. Ku intip sedikit dan…
Huuzsshhh, “bukankah yang seharusnya menemuiku adalah Ikhwan yang selama
ini tergambar di pikiranku, tapi kenapa laki-laki ini lagi yang datang
menemuiku? “Laki-laki yang tempo lalu mengantarkan sebuah kitab
titipan Ikhwan kepadaku. Aku memanggil ayah dan menginterupsikan untuk
menemui laki-laki itu. Ayah segera menemuinya sementara aku lebih
memilih untuk mendengarkan pembicaraan mereka dari dalam. Selang
beberapa menit pembicaraan mereka berlangsung, kakakku yang ada di dalam
bersamaku, menyuruhku untuk menemui laki-laki itu bersama Ayah yang
terlebih dahulu menemuinya. Terpaksa aku keluar juga, aku duduk di
samping ayah dan mendengarkan pembicaraan mereka. Setelah mendengar
jawaban dan penjelasan laki-laki itu atas pertanyaan ayah, serasa kepala
mau pecah, kesal bercampur malu menjadi satu. Diam dan berusaha tenang
yang hanya bisa ku lakukan saat itu. Kesimpulan dari jawaban laki-laki
itu dan apa yang dijelaskannya kepadaku dan ayah adalah sebenarnya
dialah Ikhwan yang selama ini menjalin hubungan denganku, bahwa dia
bukanlah apa yang selama ini diceritakannya kepadaku, bahkan identitas
sang Ikhwan yang selama ini aku tahu bukanlah identitas yang sebenarnya,
identitas keluarganya yang diceritakan selama ini kepadaku bukanlah
identitas yang sesungguhnya, bahkan beberapa cerita tentang aktivitasnya
sehari-hari adalah bentuk rekayasa yang dibuatnya juga, foto-foto yang
terlampir di belantara facebooknya adalah foto hasil smart-editing yang
menjadikan gambar dirinya dalam foto tersebut sangat berbeda jauh lebih
bagus dengan tampak aslinya. Dengan gamblangnya dia menjelaskan satu hal
di hadapan aku dan ayah, bahwa awalnya dia hanya menjadikanku bahan
eksperimen dan penelitian cintanya, namun tak menutup kenyataan bahwa
pada akhirnya Sang Ikhwan juga terperangkap dalam permainan cintanya
sendiri. Dia mencintaiku, dan berharap bisa melanjutkan hubungan
denganku.
Mengetahui hal itu, keluargaku merasa terhina dengan apa
yang dilakukannya padaku, tanpa kompromi lagi sudah jelas keluargaku
tak sedikit pun merestui hubungan yang ku jalani bersamanya. Sembari
menutup kekesalan, kekecewaan dan rasa malu-ku kepada orang tua dan
keluarga besarku yang sebelumnya sudah mendengar kabar angin bahwa aku
akan segera menikah, aku mencoba menghubungi Sang Ikhwan dan meminta
penjelasan yang lebih luas tentang apa yang selama ini dia lakukan
kepadaku, dengan menampilkan sikap baik seperti saat sebelum ku bertemu
dengan dia, yang mencintai dia dan menghargai setiap apa yang dia
katakan kepadaku. Dan ternyata penjelasan yang sama seperti yang
dijelaskannya waktu dia ke rumahku yang aku dapatkan dari mulutnya lewat
telepon. Ahh… aku tak percaya, seperti mimpi rasanya. Aku
termenung dalam kekecewaanku, hari-hari ku lewati dengan penuh
kebimbangan, dan rasa sakit yang mendera jiwa, ingin meninggalkan kisah
kelam ini namun aku menyadari bahwa sedikit aku mencintainya namun
banyak kenangan yang telah aku lalui bersamanya, aku telah terbiasa
berkomunikasi dan aneh dirasa jika sehari saja tak mendengar suaranya
dia pun merasakan hal yang demikian, dia sangat mencintaiku, cinta
pertamanya adalah aku dan berharap kelak aku bisa menjadi istri baginya.
Namun melihat situasi dan kondisi keluargaku yang tak lagi sedikit pun
memberi restu, rasanya tidak mungkin hubungan ini bisa dilanjutkan, Sang
Ikhwan-pun penuh kebimbangan, di satu sisi dia sangat mencintai aku dan
ingin mempertahankan hubungan yang telah berlangsung ini, tapi di sisi
lain restu dari keluargaku sudah tak mungkin lagi didapatkan akibat
ulahnya sendiri. Sementara, aku rapuh di atas kekecewaan terhadap apa
yang telah dilakukannya padaku selama ini, pikiranku semakin kacau tidak
karuan, suka merenung dan menangis seketika. Di tengah ketermenungan,
aku mencoba menghibur diri dan log in ke Facebook-ku, barangkali banyak
postingan yang bisa memotivasi diriku yang sedang dalam keterpurukan, ku
buka dan ku dapatkan Message dari seorang Akhwat yang sedikit banyak
memberikan motivasi dan banyak pelajaran berharga.
“Assalamu’alaikum Ukhti…”
Bagaimana kabar imanmu hari ini? Semoga hatimu masih dalam tuntunan dan Rahmat-Nya.
Ukht… Jika kamu selalu murung dan menyesali apa yang tengah melandamu
saat ini, mungkinkah kamu bisa saja disebut sebagai hamba-Nya yang
kurang bersyukur???
Ukhti… engkau adalah gadis belia yang cantik dan
manis, keinginanmu untuk menikah adalah atas izinnya, tapi satu hal
yang selalu kita lupa ukht… apa yang menjadi Izin-Nya tak berarti
menjadi Ridho-Nya. Jangan ukhti… jangan engkau selalu meratapi dan
menyesali apa yang telah berlaku dalam hidupmu, Allah punya rencana
indah di atas rencana. Apa yang kamu alami sudah menjadi Rencana-Nya,
dan di atas Rencana-Nya, Allah mempunyai Rencana lain untukmu ukhti.
Sadarilah bahwa Allah Subhaanahu wa ta’ala adalah sebaik-baiknya Dzat
Perencana.
“Dan berencanalah kalian, Allah membuat rencana. Dan Allah sebaik-baik perencana.” (Ali Imran: 54)
Cinta memang terkadang membuat kita lupa akan Kebesaran-Nya, taukah kau ukhti…
Cinta yang Hakiki adalah cinta karena-Nya, jika cinta dalam hatimu
datang semata-mata karena-Nya, engkau pun harus ikhlas meninggalkan
cinta semata-mata karena-Nya. Cinta yang suci itu cinta yang tak pernah
tersentuh oleh “cinta” sebelum cinta itu menjadi kehalalan bagi
penikmatnya, sekalipun cinta itu hanya ada dalam kata-kata. Bisa jadi
apa yang engkau alami saat ini adalah sebuah teguran sebagai bentuk rasa
Cinta-Nya terhadapmu Ukhti. Mungkin selama ini engkau lupa bahwa apa
yang kau jalani bersama seseorang yang engkau kagumi bukanlah sebuah
tindakan yang di-Ridhai-Nya. Dan Allah sedang memberikan Petunjuk-Nya
kepadamu… “Maka Allah menyesatkan kepada siapa saja yang Dia kehendaki,
dan memberikan petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki… (QS.
Ibrahim: 4)
Ukhti mungkin engkau akan bertanya-tanya atas
ujian yang melanda hatimu saat ini. Kenapa engkau diuji?? Allah telah
menjawab dalam Al-Qur’an ukht: “Apakah manusia itu mengira bahawa
mereka dibiarkan saja mengatakan; “Kami telah beriman,” sedangkan mereka
tidak diuji? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang
sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang yang benar dan,
sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” – (QS. Al-Ankabut
ayat 2-3)
Dan jika engkau bertanya: Mengapa aku tak dapat apa yang aku idam-idamkan?
Allah
juga telah menjawab dalam Al-Qur’an: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu
padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu,
padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak
mengetahui.” – (QS Al-Baqarah ayat 216)
Sungguh Maha
Benar Allah atas segala Firman-Nya. Bersyukurlah ukhti, karena itu kunci
pembuka Rahmat-Nya, Allah sedang mengetuk hatimu, lihatlah bagaimana
Allah sangat mencintaimu ukht, Allah sedang memanggilmu untuk segera
kembali ke jalan yang di-Ridhai-Nya.
Ukhti… sungguh aku mencintaimu karena Allah…
Aku menorehkan pesan ini kepadamu karena Allah
Aku melihat keberadaanmu karena Allah…
Dan kita dipertemukan karena Allah, Insya Allah…
“Wassalamu’alaiki yaa Ukhti”
Tersentak
air mataku bercucuran dan hatiku luluh dalam tangisan, haru dan bahagia
yang kurasa saat itu, membaca inboxnya hatiku seperti ditiupkan nyawa
kembali. Ya… dia adalah rekan kerjaku, seorang akhwat yang lemah lembut,
pintar, sopan, berjilbab lebar, dan setiap apa yang dikatakannya mampu
menenangkan hati pendengarnya, sungguh beliau salah satu cerminan Akhwat
sejati. Memang, sejak awal lingkungan tempat kerjaku adalah tempat yang
mampu memberikanku banyak hikmah di dalamnya, mulai dari aku yang
belajar memperbaiki pakaianku, yang biasanya jilbab setengah-setengah
mulai ku labuhkan jilbab lebar, itulah jilbab syar’i, kemudian aku yang
mulai menyadari urgensi tarbiyah bagi muslimah sampai pada ukhuwah
islamiyah yang mendarah daging. Subhaanallaah. Serasa, Aku ingin mencintainya karena Allah, dan aku ingin seperti dia karena Allah. Aku bangkit dan aku harus berubah,
semangatku membara. Pada hari itu juga ku putuskan untuk tidak
melanjutkan hubungan terlarang dengan Ikhwan tersebut yang telah
berlangsung kurang lebih 6 bulan lamanya, ku hubungi kembali Sang Ikhwan
dan ku katakana padanya bahwa aku ingin mengakhiri hubungan terlarang
ini. Marah, kesal, dan emosi bercampur kata-kata kasar yang justru
Ikhwan itu lontarkan kepadaku, hinaan bahkan cacian si Ikhwan ditimpa
padaku saat aku memutuskan hubungan terlarang itu. Ya… sepertinya dia
belum bisa menerima keputusananku, jiwanya tak terkontrol sementara
marah menjadi raja atas dirinya ketika aku memutuskannya, semua aku
lakukan karena aku baru menyadari bahwa hubungan yang selama ini aku
jalani bukanlah cinta layaknya serial cinta Ali dan Fathimah, apa yang
ku jalani bukanlah kesucian cinta yang menjadi fitrah dari Allah Ta’ala,
justru kecelakaan cinta namanya. Sakit memang sakit mendengar kata-kata
kasar yang keluar dari mulut Sang Ikhwan, namun jiwaku mungkin akan
lebih sakit jika masih ku jalani hubungan terlarang itu dengannya. Hanya
bait-bait doa mengharap ampunan-Nya yang mampu ku tuturkan kala
kegoncangan jiwa itu melanda “Yaa Rabb, Cinta yang datang
semata-mata karena-Mu, cinta itu juga akan pergi semata-mata karena-Mu,
maka berikanlah aku keikhlasan dalam menerima datang dan perginya cinta
yang Engkau fitrahkan pada setiap diri manusia. Dan sisi-kan-lah aku
dalam penjagaan-Mu siang maupun malam ketika cinta itu datang dan pergi
seketika. Hanya kepada-Mu aku berserah diri yaa Rabb….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar