data-config="{'skin':'skins/scmGreen/skin.css','volume':100,'autoplay':true,'shuffle':false,'repeat':1,'placement':'top','showplaylist':false,'playlist':[{'title':'Nurul Musthofa-Ya Dzaljalali Wal Ikram ','url':'http://www.youtube.com/watch?v=_eV6T3hpwEA'},{'title':'Nurul Musthofa-Ya Robbi Sholli Ala Muhammad','url':'http://www.youtube.com/watch?v=2vwjFDiMhv0'}]}" >


Kamis, 31 Januari 2013

Pejuang Suriah “Teroris”? Anda Salah!

Mengikuti perkembangan Suriah, banyak pelajaran yang bisa dipetik seiring makin diakuinya kiprah mujahidin baik lokal maupun asing yang turut meramaikan kekuatan oposisi.
 
 
Dampak positifnya, nafas Islam kian mendapat tempat sebaliknya nasionalisme makin terpinggirkan. Memang rakyat Suriah sudah sejak awal memekikkan takbir, tapi takbir yang masih dibingkai nasionalisme. Celupan interaksi dengan mujahidin pelan-pelan membuat pekikan takbir itu makin ikhlas: demi memenangkan Allah, meninggikan kalimat-Nya dan mengentaskan umat Islam dari kezaliman.
 
 
Barat dan pihak-pihak yang punya kepentingan dengan Suriah sangat khawatir seluruh pejuang yang melawan Assad akan tertarbiyah dengan ibadah jihad sehingga menjadi kaum militan yang tak lagi tertarik dengan kalkulasi politik duniawi.
 
 
Ibadah jihad memang selalu menemukan tanah subur di tengah situasi konflik bersenjata. Pada tingkat yang lebih matang, mereka akan menghayati jatidiri seorang Rib’ie bin Amir yang mengusung misi “mengentaskan peradaban manusia dari penghambaan sesama manusia menjadi penghambaan kepada pencipta manusia”.
 
 
Perang Opini, Stigma “Teroris” Jabhab Nusrah
 
 
Seiring harapan umat Islam yang membuncah untuk memetik buah manis jihad Suriah, musuh tak tinggal diam. Mereka serius mencari cara untuk melumpuhkan kekuatan mujahidin dengan memercikkan api perpecahan.
 
 
Zaman penjajahan Belanda dulu kita mengenal istilah devide et impera, strategi adu domba. Ternyata strategi ini juga dipakai AS untuk melemahkan soliditas pejuang Suriah.
 
 
Barat melihat, istilah terorisme dan sentimen nasionalisme bisa diolah menjadi pemantik keretakan di tengah barisan pejuang. Barat mengendus ada satu kelompok pejuang yang paling berbahaya, baik ketrampilan tempurnya maupun militansi ideologinya.
 
 
Kelompok tersebut bernama Jabhah Nushrah, yang sudah hadir di Suriah sejak fase awal revolusi. Konon kabarnya mereka hasil didikan Al-Qaeda dan banyak dihuni warga asing, setidaknya menurut versi AS. Tapi kaum pejuang Suriah dengan segenap faksinya mengenal Jabhah Nushrah sebagai kelompok yang paling solid, paling keras pukulannya kepada rejim, paling baik akhlaqnya dan paling bersih dari kepentingan politik duniawi.
 
 
Awal Desember 2012 AS mengumumkan bahwa Jabhah Nushrah (JN) resmi dimasukkan dalam daftar kelompok teroris dunia. Sebagaimana biasa, suatu kelompok yang diwisuda sebagai kelompok teroris selalu dikaitkan dengan Al-Qaeda. JN dianggap kepanjangan tangan Al-Qaeda di tanah Suriah.
 
 
Tak cukup memainkan isu terorisme, sentimen nasionalisme turut dimunculkan. Dengan kalimat provokatif, AS menggiring opini bahwa Jabhah Nushrah adalah kelompok teroris asing yang akan mengancam nasionalisme Suriah, dengan membajak revolusi nasionalis menjadi revolusi Islam, yang pada gilirannya membuat kaum nasionalis akan kehilangan tempat.
 
 
Kombinasi kebencian naluriah manusia kepada terorisme dan kecintaan alamiah kepada tanah air (nasionalisme), diramu menjadi stigma yang gurih dan rasa yang ‘nendang’. Dan ini bukan hal baru, sebuah pakem standar yang selalu dipakai musuh Islam sejak jaman baheula.
 
 
Mereka jago dalam memainkan senjata “mulut” sehingga Al-Qur’an mengilustrasikan polah mereka dengan kalimat: yuriduna liyuthfi’u nurallahi biafwahihim… (mereka berusaha memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka). Tampaknya jargon dalam iklan “mulutmu harimaumu” sangat dipercaya musuh-musuh Islam.
 
 
Dengan memunculkan ancaman terorisme di tengah ramainya revolusi, Barat berharap tercipta saling curiga dan keretakan di tubuh pejuang Suriah. Demikian pula dengan mengadu antara pejuang lokal (nasional) dengan pejuang asing, akan membuat hubungan antar pejuang makin runyam.
 
 
Kalangan yang sejak awal hanya ingin menumbangkan rejim Bashar Asad untuk membangun Suriah baru yang adil dan demokratis-nasionalis, merasa khawatir dengan munculnya kekuatan teroris dan ancaman terhadap nafas nasionalisme. Kalangan inilah yang dibidik oleh Barat dalam rilisnya, dengan harapan akan merapat kepada Barat dan meninggalkan JN dan sejenisnya, bahkan bisa dibina lebih jauh menjadi kaki tangannya kelak.
 
 
Jangan dikira peluru stigma ini hal yang enteng. Di tengah dominasi alam pikiran nasionalisme yang sekian lama mengendap di alam bawah sadar rakyat dan trauma yang terpelihara terhadap terorisme, stigma ini bisa berdampak serius.
 
Reputasi, Terapi Menangkal Opini
 
 
Mau tidak mau, cepat atau lambat, gerakan Islam pasti akan dihadang dengan perang opini yang dahsyat seperti yang dialami JN. Semua gerakan perlawanan Islam sejak awal kelahirannya ketika baru sebatas aktifitas dakwah hingga yang lebih jauh setelah melaksanakan aktivitas jihad, akan selalu dijegal dengan perang opini. Suatu sunnatullah yang tak akan berobah hingga akhir zaman.
 
 
Apa yang ditunjukkan oleh Jabhah Nushrah menjadi pelajaran menarik. Tembakan peluru opini sebagai kelompok teroris yang akan membahayakan nasionalisme Suriah itu dijawab oleh Jabhah Nushrah dengan reputasi di lapangan.
 
 
Sekedar bukti yang menjadi barometer reputasinya, semua kelompok pejuang oposisi mengenal dengan baik kiprah Jabhah Nushrah. Di mata mereka, JN adalah kelompok pejuang yang paling gigih, pemberani, tulus, adil, paling rapi perencanaannya, paling baik akhlaqnya dan paling keras menghantam kekuatan rejim Asad. Mereka tak mencium gelagat ketidak-tulusan dalam membantu rakyat Suriah dalam melawan rejim yang membantai mereka, meski diakui banyak anggotanya warga asing.
 
 
Jika reputasi Jabhah Nushrah yang harum di tengah rakyat Suriah ini dapat dipertahankan, tanpa perlu berkata apapun perang opini yang dilancarkan Barat akan menjadi buih yang menguap dengan sendirinya. Bila ikatan wala’ yang terbangun antara Jabhah Nushrah dengan rakyat dapat ditingkatkan lebih kuat, semua tuduhan itu akan dibantah sendiri oleh rakyat.
 
 
Pelajaran lain, selama ini JN rutin memberi “laporan kerja” dengan video kepada umat Islam atas amaliyat yang mereka lakukan. Hal ini dapat menaikkan spirit perlawanan umat dan makin percaya dengan JN. Teknologi internet dimanfaatkan dengan maksimal untuk membangun reputasi dan kepercayaan, bukan untuk pamer diri yang narsis.
 
 
Dalam kasus negeri dakwah semacam Indonesia, reputasi bisa dibangun dengan cara mendakwahkan Islam dengan benar. Islam diajarkan dengan ilmiah, bijak, sepenuh hati dan tanpa pamrih dunia dan politik. Dakwah dibingkai dengan akhlaqul karimah, ukhuwah yang tulus dan keteladanan yang ideal. Reputasi ini akan selalu diingat oleh umat, pada saatnya nanti tinggal dipetik buahnya: KEPERCAYAAN. Kunci menghasilkan reputasi: SABAR dengan kerasnya resiko, dan SABAR dengan panjangnya jalan.
 
 
Betapa penting makna reputasi bagi kelompok kecil dan lemah dalam menghadapi perang opini yang dilancarkan musuh, seperti halnya kelompok kecil bernama Jabhah Nushrah yang dijadikan kambing hitam oleh musuh.
 
 
Reputasi menjadi modal wajib dalam semua kegiatan membela Islam, baik dalam tataran dakwah maupun jihad. Reputasi identik dengan ketulusan, kesabaran, persaudaraan, simpati, jujur, adil, bijak, ilmiah dan semua sifat-sifat kebaikan yang disukai manusia. Sekali saja reputasi rusak, akan membuat tembakan musuh berupa opini akan mengenai sasaran, dan berakibat buruk bagi barisan pembela Islam yang masih kecil dan lemah. Wallahu a’lam bisshawab...
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar