Mengikuti perkembangan Suriah, banyak pelajaran yang bisa dipetik
seiring makin diakuinya kiprah mujahidin baik lokal maupun asing yang
turut meramaikan kekuatan oposisi.
Dampak positifnya, nafas Islam kian mendapat tempat sebaliknya
nasionalisme makin terpinggirkan. Memang rakyat Suriah sudah sejak awal
memekikkan takbir, tapi takbir yang masih dibingkai nasionalisme.
Celupan interaksi dengan mujahidin pelan-pelan membuat pekikan takbir
itu makin ikhlas: demi memenangkan Allah, meninggikan kalimat-Nya dan
mengentaskan umat Islam dari kezaliman.
Barat dan pihak-pihak yang punya kepentingan dengan Suriah sangat
khawatir seluruh pejuang yang melawan Assad akan tertarbiyah dengan
ibadah jihad sehingga menjadi kaum militan yang tak lagi tertarik dengan
kalkulasi politik duniawi.
Ibadah jihad memang selalu menemukan tanah subur di tengah situasi
konflik bersenjata. Pada tingkat yang lebih matang, mereka akan
menghayati jatidiri seorang Rib’ie bin Amir yang mengusung misi
“mengentaskan peradaban manusia dari penghambaan sesama manusia menjadi
penghambaan kepada pencipta manusia”.
Perang Opini, Stigma “Teroris” Jabhab Nusrah
Seiring harapan umat Islam yang membuncah untuk memetik buah manis jihad
Suriah, musuh tak tinggal diam. Mereka serius mencari cara untuk
melumpuhkan kekuatan mujahidin dengan memercikkan api perpecahan.
Zaman penjajahan Belanda dulu kita mengenal istilah devide et impera,
strategi adu domba. Ternyata strategi ini juga dipakai AS untuk
melemahkan soliditas pejuang Suriah.
Barat melihat, istilah terorisme dan sentimen nasionalisme bisa diolah
menjadi pemantik keretakan di tengah barisan pejuang. Barat mengendus
ada satu kelompok pejuang yang paling berbahaya, baik ketrampilan
tempurnya maupun militansi ideologinya.
Kelompok tersebut bernama Jabhah Nushrah, yang sudah hadir di Suriah
sejak fase awal revolusi. Konon kabarnya mereka hasil didikan Al-Qaeda
dan banyak dihuni warga asing, setidaknya menurut versi AS. Tapi kaum
pejuang Suriah dengan segenap faksinya mengenal Jabhah Nushrah sebagai
kelompok yang paling solid, paling keras pukulannya kepada rejim, paling
baik akhlaqnya dan paling bersih dari kepentingan politik duniawi.
Awal Desember 2012 AS mengumumkan bahwa Jabhah Nushrah (JN) resmi
dimasukkan dalam daftar kelompok teroris dunia. Sebagaimana biasa, suatu
kelompok yang diwisuda sebagai kelompok teroris selalu dikaitkan dengan
Al-Qaeda. JN dianggap kepanjangan tangan Al-Qaeda di tanah Suriah.
Tak
cukup memainkan isu terorisme, sentimen nasionalisme turut dimunculkan.
Dengan kalimat provokatif, AS menggiring opini bahwa Jabhah Nushrah
adalah kelompok teroris asing yang akan mengancam nasionalisme Suriah,
dengan membajak revolusi nasionalis menjadi revolusi Islam, yang pada
gilirannya membuat kaum nasionalis akan kehilangan tempat.
Kombinasi kebencian naluriah manusia kepada terorisme dan kecintaan
alamiah kepada tanah air (nasionalisme), diramu menjadi stigma yang
gurih dan rasa yang ‘nendang’. Dan ini bukan hal baru, sebuah pakem
standar yang selalu dipakai musuh Islam sejak jaman baheula.
Mereka jago dalam memainkan senjata “mulut” sehingga Al-Qur’an mengilustrasikan polah mereka dengan kalimat: yuriduna liyuthfi’u nurallahi biafwahihim… (mereka
berusaha memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka). Tampaknya jargon
dalam iklan “mulutmu harimaumu” sangat dipercaya musuh-musuh Islam.
Dengan memunculkan ancaman terorisme di tengah ramainya revolusi, Barat
berharap tercipta saling curiga dan keretakan di tubuh pejuang Suriah.
Demikian pula dengan mengadu antara pejuang lokal (nasional) dengan
pejuang asing, akan membuat hubungan antar pejuang makin runyam.
Kalangan yang sejak awal hanya ingin menumbangkan rejim Bashar Asad
untuk membangun Suriah baru yang adil dan demokratis-nasionalis, merasa
khawatir dengan munculnya kekuatan teroris dan ancaman terhadap nafas
nasionalisme. Kalangan inilah yang dibidik oleh Barat dalam rilisnya,
dengan harapan akan merapat kepada Barat dan meninggalkan JN dan
sejenisnya, bahkan bisa dibina lebih jauh menjadi kaki tangannya kelak.
Jangan dikira peluru stigma ini hal yang enteng. Di tengah dominasi alam
pikiran nasionalisme yang sekian lama mengendap di alam bawah sadar
rakyat dan trauma yang terpelihara terhadap terorisme, stigma ini bisa
berdampak serius.
Reputasi, Terapi Menangkal Opini
Mau tidak mau, cepat atau lambat, gerakan Islam pasti akan dihadang
dengan perang opini yang dahsyat seperti yang dialami JN. Semua gerakan
perlawanan Islam sejak awal kelahirannya ketika baru sebatas aktifitas
dakwah hingga yang lebih jauh setelah melaksanakan aktivitas jihad, akan
selalu dijegal dengan perang opini. Suatu sunnatullah yang tak akan
berobah hingga akhir zaman.
Apa
yang ditunjukkan oleh Jabhah Nushrah menjadi pelajaran menarik.
Tembakan peluru opini sebagai kelompok teroris yang akan membahayakan
nasionalisme Suriah itu dijawab oleh Jabhah Nushrah dengan reputasi di
lapangan.
Sekedar bukti yang menjadi barometer reputasinya, semua kelompok pejuang
oposisi mengenal dengan baik kiprah Jabhah Nushrah. Di mata mereka, JN
adalah kelompok pejuang yang paling gigih, pemberani, tulus, adil,
paling rapi perencanaannya, paling baik akhlaqnya dan paling keras
menghantam kekuatan rejim Asad. Mereka tak mencium gelagat
ketidak-tulusan dalam membantu rakyat Suriah dalam melawan rejim yang
membantai mereka, meski diakui banyak anggotanya warga asing.
Jika reputasi Jabhah Nushrah yang harum di tengah rakyat Suriah ini
dapat dipertahankan, tanpa perlu berkata apapun perang opini yang
dilancarkan Barat akan menjadi buih yang menguap dengan sendirinya. Bila
ikatan wala’ yang terbangun antara Jabhah Nushrah dengan rakyat dapat
ditingkatkan lebih kuat, semua tuduhan itu akan dibantah sendiri oleh
rakyat.
Pelajaran lain, selama ini JN rutin memberi “laporan kerja” dengan video
kepada umat Islam atas amaliyat yang mereka lakukan. Hal ini dapat
menaikkan spirit perlawanan umat dan makin percaya dengan JN. Teknologi
internet dimanfaatkan dengan maksimal untuk membangun reputasi dan
kepercayaan, bukan untuk pamer diri yang narsis.
Dalam kasus negeri dakwah semacam Indonesia, reputasi bisa dibangun
dengan cara mendakwahkan Islam dengan benar. Islam diajarkan dengan
ilmiah, bijak, sepenuh hati dan tanpa pamrih dunia dan politik. Dakwah
dibingkai dengan akhlaqul karimah, ukhuwah yang tulus dan keteladanan
yang ideal. Reputasi ini akan selalu diingat oleh umat, pada saatnya
nanti tinggal dipetik buahnya: KEPERCAYAAN. Kunci menghasilkan reputasi:
SABAR dengan kerasnya resiko, dan SABAR dengan panjangnya jalan.
Betapa penting makna reputasi bagi kelompok kecil dan lemah dalam
menghadapi perang opini yang dilancarkan musuh, seperti halnya kelompok
kecil bernama Jabhah Nushrah yang dijadikan kambing hitam oleh musuh.
Reputasi menjadi modal wajib dalam semua kegiatan membela Islam, baik
dalam tataran dakwah maupun jihad. Reputasi identik dengan ketulusan,
kesabaran, persaudaraan, simpati, jujur, adil, bijak, ilmiah dan semua
sifat-sifat kebaikan yang disukai manusia. Sekali saja reputasi rusak,
akan membuat tembakan musuh berupa opini akan mengenai sasaran, dan
berakibat buruk bagi barisan pembela Islam yang masih kecil dan lemah. Wallahu a’lam bisshawab...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar