Ini kisah dari Bekasi, pinggiran kota Metropolitan Jakarta. Dalam
lima tahun terakhir ini, pengalaman keagamaan orang-orang di kota besar
banyak yang berubah. Mereka yang dulunya dari kampung terbiasa dengan
praktek keagamaan tradisional, setelah hijrah ke Jakarta berubah.
Termasuk sahabat kita yang satu ini, sebut saja Tukijan.
Dulunya Tukijan adalah jama’ah tahlilan di kampungnya. Tetapi,
setelah sering mendapat ceramah dari ustad-ustad di kota, Tukijan
menjadi orang yang sangat anti tahlil. Bahkan, Tukijan kini menjadi
orang yang sangat sering menyerang dan menantang jama’ah yang masih
setia melakukan tahlilan. Tukijan mengatakan bahwa tahlil itu bid’ah
dholalah. Bid’ah yang sesat, sehingga mengerjakannya sia-sia bahkan
diancam neraka. Sadis memang ucapan Tukijan. Seakan-akan dia sudah
mengambil alih tugas Malaikat Rokib dan Atid, tukang catat amal baik dan
buruk.
Namun suatu hari ada keluarganya yang meninggal, sikap Tukijan jadi
berubah total. Ditinggal ke alam barzah anggota keluarganya membuat
Tukijan melihat dunia menjadi mencekam dan dilanda kesepian yang
mendalam. Tiba-tiba sontak dalam pikirannya seperti ada yang mendorong
agar Tukijan datang ke Ustad yang menjadi pengurus takmir masjid tak
jauh dari rumahnya. Ustad itu justru setiap malam jum’at menjadi imam
tahlilan.
Kebetulan sore itu, ustad tadi menjadi imam shalat ashar. Tukijan
tiba-tiba ikut wiridan keras, sampai do’a imam selesai. Setelah
bersalam-salaman, jama’ah lain sudah pada pulang, Tukijan masih menunggu
ustad yang pulang belakangan. “lho kok belum pulang Pak Tukijan?,”
tanya ustad. “Anu .., ustad saya menunggu ustad untuk mengundang
sekalian meminta ustad agar mengajak jama’ah tahlil mengadakan tahlilan
malam nanti di rumah saya,” ujar Tukijan memohon pada ustad.
“Lho kok, Pak Tukijan bukannya dulu anti tahlil dan malah pernah
menanyakan ke saya hukum tahlil yang dijawab sendiri Pak Tukijan bahwa
hukumnya orang tahlil bid’ah,” jawab ustad dikira Tukijan tidak serius
minta tahlilan di rumahnya.
“Ustad saya ini serius, saya akui dulu saya anti tahlil. Tapi
sekarang sejak keluarga saya meninggal, saya tiba-tiba sangat ingin agar
di rumah ada tahlilan untuk menenangkan batin saya yang sedang sedih
dan kesepian,” jelas Tukijan. “Oh…, begitu. Baik, saya akan umumkan ke
jama’ah tahlil agar nanti ba’da maghrib tahlilan di rumah Pak Tukijan,”
ujar ustad.
Tukijan bercerita, dirinya menjadi anti tahlil karena didoktrin oleh
ustadnya yang anti tahlil. Namun, begitu anggota keluarganya meninggal,
Tukijan menjadi sangat antusias untuk mengadakan tahlilan di rumahnya.
Bagi Tukijan, pengalaman yang dialami sekarang ini, menjadikan tahlil
kematian sangat perlu. Tahlilan berfungsi untuk menghilangkan kesepian,
perasaan sedih dapat terlupakan karena sibuk melayani tamu dan ikut
berdzikir yang akan membawa ketenangan. “Kami bersyukur, ketika
dilantunkan do’a kepada keluarga kami, agar diampuni dosanya dan
diterima pahalanya, kami sekarang menjadi lebih tenang,” cerita Tukijan.
Tukijan juga menceritakan, tahlilan kematian berdampak positif
terhadap emosional keluarga yang ditinggalkannya. Karena dengan
banyaknya jama’ah tahlil yang hadir tiap malam sampai tujuh hari, dapat
menjadi obat kesepian dan bisa melupakan kesedihan yang dialami.
Ustad lalu menjelaskan, “Pak Tukijan, memang tahlil dan kenduri
kematian tidak hanya semata-mata budaya, tetapi berdimensi social,
mengandung muatan ibadah dengan berdzikir akan semakin dekat dengan
Allah dan menjadikan hati lebih tenang,” jelas ustad.
Memang sedikit merepotkan, lanjut ustad, karena harus keluar belanja
untuk menjamu mereka yang ikut tahlil. Namun, jika diniatkan sedekah dan
pahalanya dihadiahkan pada si mayit, insya Allah menjadi ibadah.
Sebagaimana hadits : “Dari ‘Aisyah : Sesungguhnya ada seorang laki-laki
datang kepada Nabi Muhammad SAW dia berkata : Sesungguhnya ibuku telah
meninggal tiba-tiba, saya kira kalau ia dapat bicara sebelum meninggal,
tentu ia akan bersedekah. Apakah ibu saya akan dapat pahala, jika saya
bersedekah menggantikannya?’ Jawab Nabi SAW : “Ya” (HR. Imam Muslim, juz
XI hal 84)
Berdasarkan hadits tersebut, Imam Nawawi menjelaskan bahwa dibenarkan
bersedekah yang kemudian pahalanya disampaikan kepada yang sudah
meninggal, bahkan dianjurkan.
Sumber : Majalah Risalah NU no.7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar