Isy Kariman aw Mut Syahidan.
Hidup Mulia Atau Mati Syahid. Slogan ini oleh aktivis Liberal dianggap
sebagai Slogan Pembangkit Militansi, ‘Teologi Maut’ yang negatif dan
menghancurkan dan tidak sesuai dengan Islam.
Ironisnya, dalam membicarakan
hidup mulia dan mati syahid tersebut tidak ada seorang pun penulisnya
yang merupakan representasi seorang mujahid, atau ulama mujahid. Bahkan
mengutip dari para mujahid atau ulama mujahid saja juga tidak, kecuali
untuk ‘dipelintir’ maksudnya.
Karena hampir seluruh penulisnya
aktivis Islam liberal, maka arah dan kecenderungan tulisannya pun sudah
bisa ditebak, yakni membela mati-matian ide liberalisme dan pluralisme
serta menolak ide syariat Islam dan jihad. Lantas, apakah makna dari
slogan Isy Kariman aw Mut Syahidan yang sebenarnya?
Haditskah Isy Kariman aw mut Syahidan ?
Isy Kariman aw Mut Syahidan
berarti Hidup Mulia atau Mati Syahid, atau bisa juga berarti hiduplah
dengan mulia dan matilah secara syahid alias menjadi seorang syuhada.
Isy Kariman aw Mut Syahidan bukanlah sebuah hadits, melainkan semacam
moto atau slogan dalam khazanah perjuangan Islam.
Ungkapan ini pertama kali
dikemukakan oleh ibunda Abdullah bin Zubair, yakni Asma Binti Abu Bakar
kepada puteranya, Abdullah bin Zubair. Konteks ungkapan itu juga
kontekstual dan sangat heroik, karena disampaikan oleh Ibunda Asma
kepada putranya Abdullah bin Zubair agar tetap semangat berperang
membela kebenaran sampai titik darah penghabisan melawan kekuasaan tiran
saat itu pimpinan Yazid bin Muawiyah.
Ungkapan ini menjadi istimewa
karena diucapkan oleh seorang Shahabat atau Shahabiat, yang di dalam
Islam memiliki kedudukan yang istimewa. Sebagian ulama bahkan
berpendapat bahwa ucapan Shahabat termasuk dalil syar’i yang bisa
dijadikan rujukan untuk melakukan amal perbuatan.
Asma Binti Abu Bakar dalam Islam
dikenal dengan julukan “Dzatu An Nithaqayn” yakni Wanita Dengan Dua
Ikat Pinggang. Beliau mendapat julukan ini karena membawakan makanan
untuk Rasulullah SAW dan Abu Bakar ketika hijrah dan memutuskan untuk
membagi ikat pinggangnya menjadi dua untuk mengikat makanan dan air
sehingga mereka dapat membawanya.
Sementara itu, Abdullah bin
Zubair, dikenal dalam Islam sebagai seorang pemuda dan pejuang yang
berani dan selalu siap berjuang untuk Islam. Dalam kehidupan sehari-hari
beliau juga dikenal sangat tekun beribadah, dan sebagaimana pesan
ibundanya, beliau juga mengakhiri hidupnya sebagai orang yang syahid
dalam memperjuangkan Islam.
Syekh Umar Bakri Muhammad dalam bukunya “Hal Qowl as-Sahabah Hujjah fid Deen?” mendefinisikan ucapan Shahabat sebagai :
“Apa saja yang terkait dengan
rantai periwayatan yang shahih dan tidak terdapat kontradiksi di
dalamnya dengan dalil-dali syar’i (Al Qur’an dan Hadits), baik itu
berupa perbuatan, perkataan, persetujuan (terhadap sesuatu) maupun
pendapat.”
Dalam buku tersebut dijelaskan
posisi Shahabat Rasulullah SAW yang begitu tinggi dan mulia dalam Islam,
dikarenakan mereka adalah orang-orang yang mendapatkan pengajaran
langsung tentang Islam dari Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian,
merekalah, alias para Shahabat yang paling tahu dan mengerti makna Islam
dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari.
Makna Hidup Mulia dalam Islam
Secara fitrah, setiap manusia pasti
mendambakan kehidupan mulia. Bagi setiap Muslim, setiap harinya mereka
selalu berdoa kepada Allah SWT., agar diberikan kehidupan mulia di
dunia, dan begitu pula di akhirat, Robbana atina fi dunya hasanah wa fil
akhiroti hasanah. Hanya saja perlu diperjelas, kehidupan seperti apa
yang dianggap mulia dalam pandangan syariat Islam.
Hidup mulia dalam Islam hanya
bisa tercapai jika fungsi dan esensi manusia diciptakan oleh Allah SWT
bisa diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Fungsi dan esensi tersebut
adalah menjadi abdullah (hamba Allah) dan khalifatullah (khalifah Allah)
di muka bumi. Kedua tugas suci tersebut telah disampaikan secara tegas
sebagaimana firman Allah SWT :
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS Adz Dzaariyat (51) : 56)
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi…”. (QS Al Baqarah (2) : 30)
Dua fungsi dan esensi hidup mulia
dalam pandangan Islam tersebut hanya bisa terealisir dalam kehidupan
sehari-hari dalam bingkai syariat Islam yang menaungi. Bahkan kehidupan
mulia di bawah naungan syariat Islam inilah yang mampu memberikan rahmat
tidak hanya kepada orang Muslim, melainkan kepada seluruh alam,
sebagaimana firmanNya :
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS Al Anbiyaa’ (21) : 107)
Mengapa Mati Syahid Menjadi Dambaan?
Dalam Islam dan bagi kaum Muslimin
telah maklum bahwa hidup di dunia tidak selamanya dan kehidupan di
akhiratlah yang abadi dan harus menjadi prioritas dan diusahakan
semaksimal mungkin pencapaiannya.
Tidak berguna jika hidup di
dunia mulia, kaya raya, berumur panjang, namun akhirnya menemui kematian
dengan buruk (su’ul khatimah). Karena yang menjadi perhitungan dan
menentukan bagi kehidupan seseorang adalah bagian akhirnya, apakah
berakhiran atau menemui kematian dengan buruk (su’ul khatimah) atau
berakhiran dengan baik (khusnul khatimah).
Diriwayatkan dari Sahal bin Hanif, ia dari bapaknya, bapaknya dari kakeknya, bahwasanya Nabi SAW., bersabda:
Barangsiapa memohon mati syahid
kepada Allah dengan tulus, niscaya Allah akan menyampaikannya ke derajat
para syuhada' meskipun ia mati di atas kasurnya. (HR Muslim, Tirmidzi,
Nasai, dan Abu Daud)
Dalam hadits lain disebutkan :
“Dikatakan, “Wahai Rasulullah, amal apa yang dapat menyamai (pahala) jihad fi sabilillah ? Nabi bersabda, “Kalian tidak mampu melaksanakannya.” Lalu mereka mengulang pertanyaan itu atau tiga kali, dan semua dijawab, “Kalian tidak mampu melaksanakannya.” ! Lalu Nabi bersabda, Perumpamaan mujahid fi sabilillah seperti orang yang shaum (puasa) dan shalat malam dan membaca ayat-ayat Allah dan tidak berhenti melakukan shiyam dan sholat sampai seorang mujahid fi sabilillah kembali.” (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah)
Nabi Muhammad SAW sebagai contoh dan
teladan kaum Muslimin memberikan ilustrasi yang begitu indah tentang
mati syahid, dimana beliau begitu menginginkannya dan berharap bisa
mencapainya.
Mati syahid bukanlah sebuah
kematian yang sia-sia, terhina, harus ditangisi, dilecehkan dan
ditakutkan oleh seorang Muslim. Karena mati syahid, mati ketika
memperjuangkan agama Allah SWT atau jihad fi sabilillah, adalah sebuah
kematian yang sangat tinggi dan mulia kedudukannya di dalam Islam, yang
tidak mungkin dicapai dan diraih kecuali oleh orang-orang yang memang
dipilih oleh Allah SWT.
Adapun kehidupan mulia dalam
Islam juga bukan berarti hidup mewah dan berfoya-foya serta lantas lupa
kepada Sang Pencitpa, Allah SWT, sebagaimana sangkaan orang kebanyakan
yang hidup pada saat ini. Hidup mulia di dunia dalam pandangan Islam
adalah sebuah ketundukan total seorang manusia, baik sebagai seorang
hambaNya, dan juga sebagai khalifahNya.
Kehidupan mulia di dunia hanya bisa tercapai jikalau seluruh syariat Islam diberlakukan secara kaffah (totalitas)
sehingga tidak hanya orang Muslim yang akan mendapatkan rahmat, orang
non-Muslim juga akan mendapatkan rahmat, bahkan alam semesta. Maka sudah
merupakan kewajiban bagi setiap Muslim untuk dapat meraih kehidupan
mulia di dunia, yakni dengan jalan selalu mengupayakan tegaknya syariat
Islam di muka bumi.
Dengan demikian, betapa indah
dan bertujuan indah, serta penuh maknanya semboyan dan slogan yang telah
diucapkan oleh Sahabat dan kini menjadi populer kembali. Keduanya
adalah kebaikan yang sangat didambakan oleh setiap Muslim, yakni Isy Kariman aw Mut Syahidan. Hidup Mulia Atau Mati Syahid (Hudep Mulia Matee Syahid)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar