Enam hari setelah Natal 25 Desember,
tibalah tahun baru Masehi tanggal 1 Januari. Umat kristiani biasa
menggabungkan ucapan Selamat Natal dan Tahun Baru. Tak sedikit umat
Islam yang latah terjebak promosi kekafiran dengan mengucapkan Selamat
Natal dan Tahun Baru Masehi.
Bahkan ikut-ikutan merayakan pergantian
tahun baru dengan gebyar maksiat. Demi menunggu momen pukul 00.00 mereka
rela menghambur-hamburkan dana secara mubazir untuk pesta kembang api,
pesta miras, festival hiburan yang berbaur pria dan wanita, perzinaan
dan pesta maksiat lainnya.
Tak sedikit waktu, dana, tenaga dan
pikiran yang dibuang percuma demi tahun baru. Padahal Allah SWT
memperingatkan bahwa para pemboros itu adalah saudaranya syaitan yang
sangat ingkar kepada Tuhan (Qs Al-Isra’ 26-27).
Dalam tinjauan akidah, para ulama yang
berkompeten telah memfatwa haram ucapan Selamat Tahun Baru Masehi,
terlebih merayakan pestanya.
Komisi Fatwa Saudi Arabia (Al-Lajnah Ad-Daimah lil-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal-Ifta’)
dalam Fatawa nomor 20795 menyatakan bahwa mengucapkan Selamat Tahun
Baru Masehi kepada non muslim tidak boleh dilakukan oleh seorang Muslim
karena perayaan tahun baru tidak masyru’ (tidak disyariatkan).”
Fatwa ini ditandatangani oleh: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah Alu
Syaikh, Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan, Syaikh Shalih Al-Fauzan, dan
Syaikh Bakr Abu Zaid.
Senada itu, Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-‘Utsaimin, dengan tegas menyatakan bahwa umat Islam dilarang
mengucapkan Selamat Tahun Baru Masehi (Miladiyah), karena ia
bukan tahun syar’i. Bahkan apabila memberi ucapan selamat kepada
orang-orang kafir yang merayakan hari raya Tahun Baru, maka orang ini
dalam keadaan bahaya besar berkaitan dengan hari-hari raya kekafiran.
Karena ucapan selamat terhadap hari raya
kekafiran itu berarti senang dengannya dan mensupport kesenangan
mereka, padahal senang terhadap hari-hari raya kekafiran itu bisa-bisa
mengeluarkan manusia dari lingkaran Islam, sebagaimana Ibnul Qayyim
rahimahullah telah menyebutkan hal itu dalam kitabnya Ahkamu Ahlidz-Dzimmah. (Liqoatul Babil Maftuh, juz 112 halaman 6).
Ibnul Qayyim berkata, “Adapun memberi
ucapan selamat kepada simbol-simbol khusus kekafiran, (hal tersebut )
adalah haram menurut kesepakatan ulama…” (Ahkamu Ahlu Ad-Dzimmah, 1/441).
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaili dalam
situsnya juga mengharamkan ucapan Selamat Tahun Baru Masehi karena
perbuatan tersebut termasuk tasyabbuh (meniru kebiasaan orang kafir)
kepada kaum Kristen yang mana mereka saling mengucapkan selamat ketika
awal tahun baru Masehi. Tasyabbuh dengan mereka diharamkan oleh
Rasulullah SAW.
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Rasulullah SAW sudah mewanti-wanti
umatnya tentang bahaya tasyabbuh terhadap orang Persia, Romawi, Yahudi
dan Kristen. Kaum muslimin mengikuti mereka baik dalam berpakaian atau
pun berhari raya.
Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh kalian
akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi
sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian
ikuti itu masuk ke lubang biawak, pasti kalian pun akan mengikutinya.”
Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu
adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR.
Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri).
Para ulama itu memperingatkan strategi
pemurtadan yang dikemas dengan pencampuradukan antara al-haq dan
kebatilan, sesuai firman Allah Ta’ala dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah
109, Ali-Imran 69, 99, 149, dan Al-Hijr 9.
Momentum Tahun Baru ini tidak luput dari
pencampuradukan antara al-haq dan kebatilan, propaganda kepada
kekufuran, kesesatan, permisivisme dan ateisme serta pemunculan sesuatu
kemungkaran yang bertentangan dengan syariat.
Di antara hal itu adalah propaganda
kepada penyatuan agama-agama (pluralisme), penyamaan Islam dengan
aliran-aliran dan sekte-sekte sesat lainnya, penyucian terhadap salib
dan penampakan syiar-syiar kekufuran yang dilakukan oleh orang-orang
Kristen dan Yahudi.
Banyak yang beranggapan bahwa perayaan
tahun baru adalah urusan duniawi yang tidak ada kaitannya dengan akidah.
Padahal secara historis, perayaan tahun baru Masehi tidak bisa
dipisahkan dari tradisi dan ritual penyembahan dewa Janus dalam agama
paganisme (agama kafir penyembah berhala):
“The Roman ruler Julius Caesar
established January 1 as New Year’s Day in 46 BC. The Romans dedicated
this day to Janus , the god of gates, doors, and beginnings. The month
of January was named after Janus, who had two faces – one looking
forward and the other looking backward” (The World Book Encyclopedia, 1984, volume 14 hlm. 237).
(Penguasa Romawi Julius Caesar
menetapkan 1 Januari sebagai hari permulaan tahun baru semenjak abad
ke-46 SM. Orang Romawi mempersembahkan hari ini (1 Januari) kepada
Janus, dewa segala gerbang, pintu-pintu, dan permulaan (waktu). Bulan
Januari diambil dari nama Janus sendiri, yaitu dewa yang memiliki dua
wajah – sebuah wajahnya menghadap ke (masa) depan dan sebuahnya lagi
menghadap ke (masa) lalu).
Dalam mitologi Romawi, Dewa Janus adalah
sesembahan kaum Pagan Romawi. Bulan Januari (bulannya dewa Janus)
ditetapkan setelah Desember karena Desember adalah pusat Winter Soltice, yaitu hari-hari di mana kaum pagan penyembah Matahari merayakan ritual mereka saat musim dingin. Pertengahan Winter Soltice jatuh pada tanggal 25 Desember, dan inilah salah satu dari banyaknya pengaruh Pagan pada tradisi Kristen.
Kaum Pagan pandai menyusupkan budaya
mereka ke dalam budaya agama lain. Ini terbukti dengan tradisi mereka
bertahun baru yang sudah populer diikuti di berbagai belahan dunia.
Misalnya, tradisi kaum Pagan merayakan tahun baru mereka (atau Hari
Janus) dengan mengitari api unggun, menyalakan kembang api, bernyanyi
bersama, memukul lonceng dan meniup terompet.
Ke dalam agama Kristen, tradisi pagan
ini diadopsi dengan menjadikan hari Dewa Janus tanggal 1 Januari menjadi
Tahun Baru Masehi, sehingga muncullah pemisahan masa sebelum Yesus
lahir pun (Sebelum Masehi/SM) dan sesudah Yesus lahir (Tahun Masehi/M).
Di Persia yang beragama Majusi
(penyembah api), tanggal 1 Januari juga dijadikan sebagai hari raya yang
dikenal dengan hari Nairuz atau Nurus. Dalam perayaan itu, mereka
menyalakan api dan mengagungkannya, kemudian orang-orang berkumpul di
jalan-jalan, halaman dan pantai, bercampur baur antara lelaki dan
wanita, saling mengguyur sesama mereka dengan air dan minuman keras
(khamr). Mereka berteriak-teriak dan menari-nari sepanjang malam.
Semuanya dirayakan dengan kefasikan dan kerusakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar