Jakarta - Betapa media-media Kristen ini
berusaha membuat blow up Natal, tak ubahnya seperti Idul Fitri. Covered
(liputan) media-media Kristen itu, menggiring opini yang sangat luar
biasa, seakan Natal itu sudah menjadi milik bangsa Indonesia, dan diterima bangsa Indonesia, dan menjadi hari yang paling penting bagi kehidupan.
Natal dan Tahun Baru Masehi, yang selalu berkaitan dan tidak bisa
dilepaskan dari agama Kristen itu, sekarang terus dikemas oleh media
Kristen, seakan sudah menjadi sebuah ritual agama bagi seluruh bangsa
Indonesia. Melibatkan seluruh kehidupan. Tanpa kecuali. Begitu gempita
perayaan Natal. Begitu luar biasa penyambutan perayaan Natal.
Bukan hanya media yang memberikan sambutan kepada perayaan Natal.
Tetapi, kantor, mall, plaza, toko, tempat rekreasi, bahkan di
jalan-jalan terpasang spanduk, poster-poster, partai-partai politik,
semua memberikan sambutan yang begitu hangat terhadap perayaan Natal.
Seakan masih ada yang kurang, kalau tidak mengucapkan selamat Natal.
Aktivitas akhir tahun itu, yang selalu berkaitan dengan Natal dan Tahun
Baru Masehi, ingin di blow up, seakan itu sudah menjadi hajat seluruh
rakyat Indonesia. Sampai liputan orang-orang pulang kampung mudik,
semuanya dikaitkan dengan perayaan Natal. Semua aktivitas yang ada
sekarang ini, semuanya dikaitkan dengan aktivitas Natal dan Tahun Baru
Masehi.
Ada usaha-usaha sistematis yang dibangun mengarahkan
kegiatan perayaan Natal dan Tahun Baru itu, sebagai sebuah gerakan
nasional, dan terus didorong dengan cara-cara yang sistematis oleh
media-media Kristen yang sengaja, bukan hanya melakukan sosialisasi dan
internalisasi Natal dan Tahun Baru Masehi, tetapi yang lebih penting
menjadikan agama Kristen itu, akhirnya bisa diterima oleh seluruh bangsa
Indonesia. Tidak lagi bangsa Indonesia merasa agama Kristen itu
sebagai agama yang dibawa oleh kaum penjajah.
Tetapi, tentu
yang membuat kita bertanya mengapa setiap menjelang perayaan Natal dan
Tahun Baru Masehi, selalu begitu luar biasanya pengamanan yang dilakukan
oleh aparat keamanan? Seakan negeri ini tidak aman bagi orang-orang
Kristen. Harus beribu-ribu polisi dan tentara mengamankan gereja-gereja
diberbagai daerah. Seakan gereja-gereja itu akan diserang oleh orang
Islam. Bahkan, pasukan tentara yang akan mengamankan gereja di daerah
Jawa Tengah, harus melakukan latihan pengamanan yang begitu luar biasa.
Polisi dan tentara seakan masih belum cukup mengamankan gereja-gereja
yang ada. Masih ditambah pasukan pengaman dari Ormas Islam, seperti
Banser yang ditempatkan disetiap sudut gereja, ikut melakukan pengamanan
yang begitu hebat. Mengamankan gereja? Apakah benar gereja-gereja itu
dalam kondisi tidak aman dan berada dalam ancaman?
Apakah
memang masih ada ancaman yang bersifat riil terhadap orang-orang Kristen
di Indonesia sekarang ini. Atau orang-orang Kristen sendiri, yang
menciptakan suatu kondisi tidak aman, dan mendorong aparat keamanan
untuk mencurigai umat Islam?
Seperti yang sekarang dilakukan
oleh Amerika Serikat yang melakukan perang terhadap terorisme secara
global, "war on terorism", yang sejatinya hanyalah akal-akalan Amerika
Serikat yang ingin menjajah dan menguasai Dunia Islam.
Orang
Islam selalu menjadi tertuduh dan mendapatkan stigma yang buruk, dan
orang-orang Kristen mendapatkan privelige (hak istimewa), dan medapatkan
perhatian dan pengamanan yang begitu hebat, dan terus berlangsung
setiap tahun, setiap Natal dan Tahun Barul.
Bandingkan dengan
Idul Fitri atau hari-hari besar Islam lainnya. Tak ada pengamanan yang
begitu massif oleh aparat keamanan, baik kepolisian dan tentara.
Semuanya berlangsug dengan damai. Tidak ada kekawatiran dari kalangan
umat Islam yang melangsungkan perayaan, termasuk Idul Fitri dan Idul
Adha. Perayaan hari-hari besar Islam semuanya membawa berkah.
Betapa setiap tahun berlangsung Idul Fitri puluhan juta orang
melangsungkan shalat di tanah lapang, tidak ada pengamanan dari aparat
negara. Puluhan juta orang mudik dari kota ke desa. Bahkan mereka yang
berada di luar negeri pun pulang kampung. Jutaan orang mudik, ada yang
menggunakan sepeda motor, tak peduli apapun yang bakal terjadi. Mereka
pergi pulang ke kampung halaman. Ini tidak ada yang mengomando.
Semuanya berjalan dengan alamiah.
Mereka yang dengan segala
upaya dan pengorbanan ingin pulang menjelang Idul Fitri atau Idul Adha
itu, karena begitu kuatnya terpateri oleh ajaran Islam, tentang "birrul
walidain" (berbuat baik kepada dua orang tua), dan silaturrahmin, yang
sudah berlangsung berabad-abad didalam diri bangsa Indonesia. Setiap
tahun jumlah orang yang ingin melakukan "birrul walidain" dan
silaturrahim itu, bukan berkurang, tetapi semakin bertambah banyak.
Sisi lain yang sangat positif itu, dengan Idul Fitri dan Idul Adha itu,
dan tradisi pulang kampung melakukan "birrul walidain" terjadi
distribusi kekayaan yang sangat luar biasa. Triliunan rupiah setiap
tahun yang mengalir ke kampung ke desa-desa, tanpa diatur oleh
pemerintah. Semuanya itu berlangsung secara alamiah. Tidak ada mekanisme
yang mengatur terjadinya distribusi kekayaan yang begitu sangat massif,
kecuali oleh ajaran Islam.
Apalagi, disaat menjelang Idul
Fitri selalu, digaungkan tentang perlunya zakat, infaq, shadaqoh
terutama bagi fakir miskin, dan anak yatim. Semuanya lebih mendorong
terjadinya distribusi kekayaan dari orang-orang kaya kepada fakir
miskin, tanpa melalui aturan yang dibuat oleh pemerintah. Semuanya
karena adanya kesadaran secara kolektif umat Islam.
Semuanya
yang terjadi dikalangan umat Islam itu, tak ada yang harus melibatkan
aparat keamanan yang begitu massif. Semuanya berlangsung dengan damai.
Perayaan umat Islam tak ada yang menimbulkan kegalauan dikalangan
masyarakat. Tidak akan pernah terjadi adanya kekacauan di dalam kalangan
internal umat Islam.
Tetapi, tentu yang sangat pahit dialami
oleh umat Islam, saat berlangsung perayaan Idul Fitri, tahun 2000, umat
Islam di Ambon, yang sedang merayakan Idul Fitri diserang oleh
orang-orang Kristen, dihancurkan, dan masjid-masjid tepat ibadah milik
umat Islam dihancurkan, di coret-coret dengan tulisan yang sangat
menghujat Nabi Shallahu alaihi wassalam.
Ketika umat Islam
berusaha menolong saudaranya di Ambon, dan ikut melindungi mereka, dan
masuk kota Ambon, justeru yang mendapatkan fitnah umat Islam, dan
kemudian mendapatkan lebel sebagai teroris.
Mereka kemudian
dikejar-kejar sebagai penjahat. Padahal, mereka umat Islam menjadi
korban orang-orang Kristen, yang lebih dahulu menyerang dan
menghancurkan mereka. Inilah sebuah fakta yang tidak dapat dilupaan
sepanjang sejarah.
Sementara itu, Natal dan Tahun Baru Masehi,
penuh dengan hiburan, hura-hura, yang sangat menyesakkan. Mereka
berlibur pergi keluar negeri, dan bahkan hotel-hotel menjelang tahun
penuh dengan penghuni. Suasana hiburan yang sangat kontras dengan Idul
Fitri.
Ibaratnya kalau Idul Fitri, pelacur pun pulang kampung
mengunjungi orangtuanya bersilaturahmi. Tetapi, kalau tahun baru,
pelacur bertambah banyak, memenuhi tempat-tempat maksiat, penuh dengan
berbagai kemaksiatan yang dikemas dengan hiburan. Sangat berbeda dengan
Idul Fitri, semua orang mendapatkan manfaatnya.Wallahu'alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar