JAKARTA (VoA-Islam) - Sejak Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) mendeklarasikan Hak Asasi Manusia (HAM) seiring
dengan pendiriannya pada tahun 1945, maka HAM muncul sebagai issue
internasional yang selalu menjadi perhatian masyarakat dunia. Namun
sayangnya, HAM yang semula lahir dimaksudkan untuk membebaskan umat
manusia dari penjajahan dan perbudakan, belakangan justru menjadi
senjata ampuh untuk menghidupkan kembali Imperialisme Modern.
Dalam sebuah situs resmi DPP FPI yang berjudul “HAM dan Wawasan
Kebangsaan”, Habib Muhammad Rizieq Syihab, MA mengemukakan pandangannya
tentang HAM yang diusung Barat dan diikuti oleh agen-agennya.
Habib menilai, dengan dalih HAM, para Kapitalis mengeruk keuntungan
sebesar-besarnya di berbagai sektor ekonomi, tanpa peduli kerugian pihak
lain. Dengan dalih HAM pula, negara-negara Kapitalis bersekutu
memporak-porandakan berbagai negara yang tidak mereka sukai, secara
politik mau pun ekonomi. Bahkan kini, dengan dalih HAM juga, berbagai
perilaku anti agama ditumbuh-suburkan tanpa peduli batasan ajaran
agama.
Di Indonesia, HAM menjadi senjata penting bagi kaum Liberal dalam
mengusung seluruh programnya. Dengan dalih HAM, kaum Liberal selalu
memperjuangankan "penghalalan yang haram" dan "pembelaan yang bathil",
seperti legalisasi miras dan ganja, bahkan narkoba, begitu juga
positivisasi perjudian dan pelacuran, bahkan formalisasi perkawinan
sejenis. Dengan dalih HAM pula, kaum Liberal selalu memperjuangankan
"pengharaman yang halal" dan "penolakan yang haq", seperti penolakan
terhadap Undang-Undang Penodaan Agama dan Undang-Undang Pornografi,
bahkan penolakan terhadap semua Undang-Undang dan Perda-Perda yang
bernuansakan Syariat Islam.
Karena itulah, pembahasan tentang HAM dalam Wawasan Kebangsaan
menjadi sangat penting, agar HAM tidak dijadikan senjata untuk
merontokkan pilar-pilar bangsa dan negara Indonesia.
HAM MENURUT BARAT
Barat mendefinisikan HAM sebagai hak yang melekat pada diri setiap
manusia sejak lahir secara alami tanpa ada kaitan sama sekali dengan
ajaran agama apa pun. HAM dalam pandangan Barat murni merupakan hasil
pemikiran dan penetapan akal semata, terlepas sama sekali dari dogma
agama.
Definisi tersebut melepaskan ikatan HAM dari doktrin ajaran agama,
sehingga norma-norma agama sama sekali tidak menjadi ukuran penting
dalam terminologi HAM. Dengan makna HAM seperti ini, maka HAM sering
dihadap-hadapkan dengan agama, sehingga HAM sering dipahami sebagai
sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama. Bahkan karena HAM sering
digunakan untuk mengkerdilkan agama, akhirnya HAM dianggap sebagai musuh
agama.
Berdasarkan definisi tersebut pula, maka setiap manusia berhak untuk
memenuhi kebutuhan biologisnya dengan melakukan aneka hubungan sex yang
diinginkannya, sebagaimana setiap manusia berhak untuk makan dan minum
apa saja yang disukainya. Karenanya, menurut Barat bahwa perzinahan dan
LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender) serta aneka penyimpangan
sex lainnya, adalah merupakan HAM. Begitu pula mengkonsumsi makanan dan
minuman haram, semuanya adalah HAM.
Selain itu, HAM dalam pandangan Barat tidak statis, tapi berubah-ubah
tergantung penilaian akal yang dikuasai hawa nafsu terhadap situasi dan
kondisi serta kepentingan, karena lepas dari doktrin agama sama sekali.
Bisa jadi, sesuatu yang dianggap HAM pada saat ini, namun di kemudian
hari tidak lagi dianggap sebagai HAM. Begitu pula sebaliknya, sesuatu
yang tidak dianggap HAM pada saat ini, namun di kemudian hari bisa
dianggap sebagai HAM.
Misalnya, saat ini mengkonsumsi khamar (miras) di Amerika Serikat
dianggap sebagai HAM, bahkan menjadi gaya hidup modern. Padahal pada
tahun 1919, pemerintah AS menganggap Miras bukan bagian HAM, bahkan AS
menyatakan perang terhadap Miras dan melarangnya sama sekali. Saat itu
pemerintah AS mengeluarkan Undang-Undang Anti Miras yang sosialisasinya
menelan biaya US $ 60 ribu dan dana pelaksanaannya mencapai Rp.75
Milyar, sesuai dengan nilai mata uang di zaman itu. Dan menghabiskan 250
juta lembar kertas berbentuk selebaran.
Selama 14 tahun pemberlakuan UU Anti Miras di AS, telah dihukum mati
sebanyak 300 orang peminum miras dan dihukum penjara sebanyak 532.335
orang. Tapi ternyata, masyarakat AS justru makin hobby meminum miras,
yang pada akhirnya memaksa pemerintah mencabut UU Anti Miras pada tahun
1933 M, dan membebaskan miras sama sekali.
Nah, bisa jadi saat ini mengkonsumsi Narkoba dianggap musuh besar HAM
di berbagai belahan dunia, namun di kemudian hari justru Narkoba
dianggap sebagai HAM, bahkan gaya hidup masa depan, sebagaimana Kasus
Miras. Gejala itu sudah mulai ada, misalnya sejak beberapa tahun lalu di
Indonesia ada usulan dari Lingkar Ganja Nusantara kepada Badan Narkotik
Nasional dan pemerintah serta DPR RI agar melegalisasi ganja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar