data-config="{'skin':'skins/scmGreen/skin.css','volume':100,'autoplay':true,'shuffle':false,'repeat':1,'placement':'top','showplaylist':false,'playlist':[{'title':'Nurul Musthofa-Ya Dzaljalali Wal Ikram ','url':'http://www.youtube.com/watch?v=_eV6T3hpwEA'},{'title':'Nurul Musthofa-Ya Robbi Sholli Ala Muhammad','url':'http://www.youtube.com/watch?v=2vwjFDiMhv0'}]}" >


Senin, 05 November 2012

Dedengkot JIL: “Negara Tak Maju dengan Syariat Islam”

Dedengkot pegiat liberal Indonesia, Luthfi Assyaukanie, sekaligus salah seorang pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL) bersama Ulil Abshar Abdalla ditahun 2001 itu, mengatakan dalam sebuah wawancara media bahwa tidak ada negara yang maju dengan menggunakan syariat Islam. 
Pernyataan dilontarkan dedengkot JIL itu dalam sebuah wawancara dengan seorang wartawan MERDEKA.com, Islahuddin. Sebagaimana melihat tingkat kemajuan negara-negara Islam yang menggunakan syariat Islam seperti Arab Saudi dan Iran.
Ia justru mengatakan, bahwa Negara-negara Islam justru melawan Kodrat manusia karena melarang kebebasan. Benarkah demikian?
Lalu, seperti apa wawancara sahabat dedengkot JIL, Ulil Abshar Abdalla tersebut saat ditemui wartawan merdeka.com pada Kamis (18/10) sore di sekretariat Freedom Institute, Jakarta Pusat.

Berikut wawancara Dikutip dari laman MERDEKA.COM :

Lembaga survei menyimpulkan kian merosotnya perolehan suara partai Islam dalam tiap pemilu. Tidak sedikit tokoh partai Islam yang merasa itu hanya survei biasa yang masih bisa mengalami kesalahan dan tidak sepenuhnya hasil itu mutlak.

Namun, bagi Luthfi Assyaukanie, Deputi Direktur eksekutif Freedom Institute, hasil survei itu sudah memperlihatkan bagaimana mestinya partai Islam mestinya segera berbenah. Menolak hasil survei itu boleh saja, namun hasil perolehan partai Islam dalam tiap pemilu sudah sebagai bukti nyata bentuk pandangan pilihan masyarakat terhadap partai Islam. Selain itu bagaimana melihat tingkat kemajuan negara-negara Islam yang menggunakan syariat Islam seperti Arab Saudi dan Iran.

Berikut penuturan Luthfi Assyaukanie saat ditemui Islahuddin, wartawan merdeka.com pada Kamis (18/10) sore di sekretariat Freedom Institute, Jalan Proklamasi Nomor 41 Menteng Jakarta Pusat.

Sejauh mana Islam harus berperan dalam kehidupan politik di Indonesia?

Lutfie Assyaukanie, dedengkot pendiri JIL
Itu isu lama, sejauh mana Islam mengakomodasi masalah-masalah politik. Ada sebagian orang percaya, Islam harus menaklukkan politik atau Islam harus berpolitik, harus mendirikan partai Islam, harus menjalankan dakwah Islam lewat partai politik, dan seterusnya. Ada juga sebaliknya, kita boleh lebih religius, menjadi orang yang saleh, tapi dalam urusan politik itu urusan dunia, tidak ada urusannya dengan agama.
Saya kira jumlah umat Islam yang percaya dengan tidak ada hubungan Islam dan politik itu lebih banyak jumlahnya. Buktinya pemilu ini, tentu saja pemilu adalah bukti nyata, tidak bisa dibohongi. Orang di luar sana bilang, “Oh, orang Islam itu percaya pada agama dan negara (addin wa daulah)”, atau macam-macam, itu cuma bicara saja, buktinya tetap pemilu. Saat mereka datang ke bilik suara mereka tidak memilih partai Islam. Kalau mereka yakin pandangan agama dan negara adalah satu kesatuan mereka akan memilih partai Islam.

Apakah Islam memang tidak boleh ikut campur dalam kehidupan politik?

Ada sebagian yang berkeyakinan begitu, tapi sebagian besar masyarakat Indonesia justru meyakini sebaliknya. Ya sudahlah, Islam tidak usah ikut campur dalam masalah politik, itu kalau ukurannya partai-partai politik.

Apakah anda percaya negara yang menerapkan syariat Islam bisa maju?

Setahu saya tidak ada negara yang maju dengan menggunakan syariat Islam. Apa ada contohnya?

Bagaimana dengan Iran dan Arab Saudi?

Maju apanya, ekonominya paling terbelakang. Terbelakang dalam artian, mereka hanya memanfaatkan sumber daya alam yang ada sebagai sumber utama ekonominya. Berapa lama sumber alam terus untuk eksplorasi?

Ada contoh negara Islam yang bisa dibilang maju?

Tidak ada. Negara yang paling mundur di dunia, adalah negara yang melawan kodrat manusia. Negara-negara Islam itu melawan kodrat manusia, jadi tidak akan bisa maju. Manusia itu kodratnya menginginkan kebebasan pada dasarnya. Sementara negara-negara yang menerapkan itu, memusuhi kebebasan itu. Misalnya di Arab Saudi, perempuan tidak diperbolehkan mengendarai mobil sendiri. Orang mau bicara politik tidak boleh, di sana orang tidak boleh demonstrasi.

Tapi sebulan kemarin Arab Saudi sudah mengeluarkan aturan yang membolehkan perempuan boleh mengendarai mobil sendiri?
Bayangkan, sudah zaman segini baru memperbolehkan. Orang-orang yang menginginkan aturan itu sendiri juga orang-orang dari kerajaan itu sendiri. Anak-anak raja, anak-anak pangeran yang ingin mengemudi sendiri, mereka yang kuliahnya di barat. Jadi negara-negara itu tidak akan maju, karena melawan kodrat manusia.
Iran begitu juga, mundur jauh sekali. Kalau pun ada pencapaian, itu pasti dari orang-orang yang melawan sistem itu. Misalnya, orang sering bilang, “Kok film-film Iran itu bagus-bagus.” Justru karena mereka memberontak dari situasi yang mengungkung. Para sineas Iran itu adalah orang yang tidak setuju dengan sistem negara Islam di Iran. Itu yang salah dimengerti orang. Setiap ada pencapaian di negara-negara yang seperti itu, muncul dari mereka yang anti dari sistem yang ada di sana.

Bagaimana dengan dari sisi kemajuan ekonominya?

Saya rasa tidak. Melihat ekonomi bukan hanya melihat pendapatan per kapita atau Produk Domestik Bruto (PDB) tapi kita harus lihat, harus diuraikan, dari mana mereka mendapatkan itu. kalau Indonesia, saya sangat bangga dengan pencapaian ekonomi kita. Itu dilakukan dengan kerja keras dan sungguh-sungguh. Tapi kalau negara-negara penghasil minyak di teluk itu tidak bisa dibanggakan.

sumber: MERDEKA.COM

***
Menanggapi pernyataan itu, Penulis buku-buku Islam, Artawijaya, menilai pendapat Luthfie Assyaukanie yang mengatakan tidak ada negara yang maju dengan syariat Islam dinilai sangat dangkal, seperti dilansir Hidayatullah.com. 
Faktanya negara seperti Amerika Serikat (AS) sendiri penuh dengan kesenjangan ekonomi meski telah memilih jalan sekuler. Kemajuan sebuah negara seharusnya dinilai seberapa besar kemakmuran dirasakan oleh rakyat di negara tersebut.
Buktinya menurut Arta, di Arab Saudi hingga Mesir angka kemiskinan sangat minim dibanding negara yang menggunakan sistem sekuler seperti AS dan Indonesia sendiri. Arta menilai pendapat Luthfi yang merendahkan sistem syariat jelas tidak mendasar.
Hingga hari inipun menurut Arta negara-negara kapitalis justru menggantungkan hidupnya kepada sumber daya alam negara-negara Islam. Arta mencatat sekita tahun 1967-an negara-negara Arab pernah memboikot subsidi minyak ke AS dan Israel. Saat itu ketidakstabilan ekonomi langsung membuat pemerintah Washington panik. AS lantas mengemis-ngemis minyak ke negara-negara Islam.
“Sekarang yang tidak konsisten kan demokrasi itu sendiri karena selalu mengkebiri hak syariat umat Islam,” tambahnya. Jelas Artawijaya kepada hidayatullah.com usai kajian buku “#IndonesiaTanpaLiberal” di Islamic Center AQL Tebet Jakarta Selatan, Ahad (21/10/2012).
Gagasan sekulerisme yang menghalalkan gaya hidup materialisme dan kapitalisme sangat hipokrit. Kapitalisme menurutnya menilai kemajuan sebuah negara dari berapa banyak tampilan kemewahan, padahal dibalik kemewahan itu terdapat penindasan dan kesenjangan ekonomi yang tajam.
Sedangkan syariat Islam dia menghidupkan persamaan sesuai dengan proporsi keadilannya. Kehidupan sederhaan dan non individualistik hanya salah satu segmen kecil yang dihidupkan oleh syariat dalam gagasannya yang syamil dan mutaqamil (mencakup semua lapisan kehidupan kehidupan).
sumber: Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar