data-config="{'skin':'skins/scmGreen/skin.css','volume':100,'autoplay':true,'shuffle':false,'repeat':1,'placement':'top','showplaylist':false,'playlist':[{'title':'Nurul Musthofa-Ya Dzaljalali Wal Ikram ','url':'http://www.youtube.com/watch?v=_eV6T3hpwEA'},{'title':'Nurul Musthofa-Ya Robbi Sholli Ala Muhammad','url':'http://www.youtube.com/watch?v=2vwjFDiMhv0'}]}" >


Jumat, 29 Juni 2012

Tulisan Ini Untuk Diriku Sendiri…

Suatu kali matahari bersinar terik, tetesan peluh mengalir sedikit demi sedikit melewati dahi, alis, pipi, kemudian jatuh ke bumi. Panasnya memang tak seberapa, memang tak mampu buat telor menjadi setengah matang. Tapi tetap saja, peluh masih juga keluar meski raga tak bergerak banyak. Tapi teriknya matahari pun tak selalu menyiksa, biasanya ada semilir angin halus yang mengelap dahi, alis, dan pipi dari peluh yang jatuh.
***
Suatu saat kita pernah hampir terjatuh, bahkan pernah tersungkur dalam. Perlahan-lahan merangkak menggapai asa, berharap bisa mendaki lubang dalam yang terjang. Setelah berhasil sampai di permukaan biasanya kita kembali berjalan, tapi sayangnya kita terkadang lebih sering menyeret kaki dengan dada membusung dan kepala menengadah menantang langit kuasa.
Ada lagi di suatu masa, saat air berhenti mengalir. Kemudian kita menunggu petuah langit agar menurunkan rejekinya, agar asa kembali tumbuh berkecambah. Masih saja terlupa bahwa rumput menjadi tempat bertanya, tapi sayangnya rumput lebih sering bergoyang dihujam angin. Atau kita lupa bahwa Tuhan selalu memberi yang tidak kita pinta, sementara kita meminta pada benda yang tak memberikan apa-apa.
***
Pada memori hidup manusia keadaan berputar linear, berulang suatu peristiwa dalam perbedaan masa. Tapi yang buruk tetap terjadi, sedangkan yang mengsankan jarang sekali berulang. Kata pepatah, buah tak akan jatuh dari pohonnya. Tapi sayangnya, iman lebih berharga dari pengalaman, dan itu tak bisa dicangkok untuk mengasilkan buah yang sama dari sebuah pohon kepribadian. Ada saat di mana roda berputar, namun stagnan diam karena berbagai keadaan. Kemudian kita hanya bisa menatap sambil berharap angin bisa gerakan roda: menunggu keajaiban.
Kemudian kita mulai menyalahkan iblis karena menggoda hawa. Romantis surgawi dalam utopis setiap makna dunia. Dipertuan, diperhamba, diperbabukan, dipaksa pada suatu bidang yang sebatas wacana perut dan dibawahnya saja.
***
Lalu, jenis manusia apakah kita? Setengah hewan vertebratakah, atau manusia setengah dewa yang segala ingin harus menjadi ada?
Pada suatu waktu kita meminta pada kehendak empunya bumi dan langit. Di saat ayam belum dibangunkan malaikat, maka cucur air mata lebih berharga daripada peluh kita. Sejenak renung dalam pada sepertiga malam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar