Seorang yang memegang misi panjang, tentu menyiapkan bekal menjadi
hal amat penting. Demikian pula dengan pemuda yang sudah sadar akan
peran sebenarnya di tengah sekumpulan makhluk Allah lainnya. Bekal di
sini tak cukup hanya mencakup finansial saja. Justru bekal non fisiklah
yang terbukti membuat banyak pejuang dan para pendahulu kita berhasil
dalam misinya.
Bang Porkas (2012) menuturkan setidaknya ada tiga bekal yang patut diusahakan berada dalam genggaman pejuang muda, yaitu at-tarbiyah al-fithriyah, al-‘ilmu wa al-hikmah, dan asy-syakhshiyah al-qiyaadiyah.
1. At-Tarbiyah al-Fithriyah (Pendidikan Jiwa)
Makna at-tarbiyah al-fithriyah di sini sama dengan at-tarbiyah al-islamiyyah,
karena pada dasarnya fitrah dan jiwa manusia ialah sebagai seorang
Muslim yang mentauhidkan Allah SWT. Adapun pokok kegiatan di dalamnya
ialah pembinaan kesadaran, pemahaman, dan karakter keislaman serta
pengasahan potensi seorang Muslim. Seluruh rangkaian proses tersebut
tentu tak berhenti di titik menjadi pribadi yang shalih individu, namun
dituntut menjadi pribadi yang shalih sosial pula. Artinya, salah
indikator keberhasilan proses at-tarbiyah al-islamiyyah seseorang
ialah sejauh mana kontribusi yang bisa dia berikan untuk umat di
sekelilingnya. Adapun tindakan kongkretnya ialah berupa mujahadah (berupaya sungguh-sungguh) untuk senantiasa istiqamah dalam menambah kapasitas keilmuan, amal, serta meningkatkan skill penunjang misi. Jadi, pendidikan jiwa di sini mencakup tak hanya tazkiyatun nafs, tapi banyak hal lain yang membentuk kepribadian seorang Muslim yang utuh.
2. Al-‘Ilmu wa al-Hikmah (Ilmu dan Kebijaksanaan)
Selain
keilmuan agama, keilmuan umum pun menjadi syarat yang tidak bisa
diabaikan oleh para pengemban amanah masa depan. Masyarakat yang menjadi
target kita tentu akan lebih respect manakala memiliki satu
atau lebih disiplin ilmu yang kita kuasai. Peluang inilah yang membantu
tersampainya setiap pesan kebenaran yang membangun. Lain keilmuan, lain
pula kebijaksanaan. Perlu dicatat di sini bahwa jangan sampai sebagai
generasi muda kita terlampau berlebihan. Hal ini sebenarnya tidak wajar
karena hakikat seorang pemuda ialah penuh dengan semangat yang menggebu,
tidak apatis. Dan kebijaksanaan di sini sebaiknya kita tarik ke arah
keseimbangan antara perhitungan yang matang dan semangat membumikan
kebenaran di lingkungan kita. Jadi, tidak ada dalih bagi pemuda untuk
menjadikan tameng sikap bijaksana untuk tidak bergerak. Demikian pula
jangan sampai gerak-gerik perbaikan itu dilakukan serampangan tanpa
adanya pertimbangan.
3. Asy-Syakhshiyah al-Qiyaadiyah wa al-Jundiyyah (Pribadi Pemimpin dan Prajurit)
Pemuda
dengan pribadi ganda (pemimpin sekaligus prajurit) pun ternyata amat
penting guna memuluskan agenda kita. Hal ini berkaitan dengan pencapaian
misi bersama dalam sebuah jamaah atau perkumpulan. Ada kalanya kita
memang diperlukan untuk menjadi pimpinan dan pionir. Namun, suatu saat
kita pun harus siap menjadi prajurit atau yang dipimpin. Perpindahan
peran seperti ini tentu dilakukan bukan sekadar formalitas, namun demi
tercapainya tujuan dengan baik. Kita sebaiknya tampil menjadi pimpinan
saat memang itu adalah bidang yang kita kuasai dan dikhawatirkan tidak
maksimal bila dipegang orang lain. Tapi, ketika pada saatnya sebuah
tugas itu bukan merupakan bidang kita ada orang lain yang bisa
melakukannya, maka kita menjadi yang dipimpin adalah pilihan utama.
Apalagi jika kita kaitkan hal ini dengan regenerasi atau distribusi
tugas, maka shifting position ini amat penting adanya. Tepat
sekali jika orang bijak mengatakan bahwa kepemimpinan sejati itu bukan
perkara posisi, namun perkara kontribusi.
Sekali lagi, bahwa
segala mujahadah kita sebagai generasi mudah melalui rangkaian bekal di
atas harus mendapat perhatian khusus. Alangkah dekatnya kemenangan itu
jika bekal sudah kita genggam dan peran sebagai pemuda harapan masa
depan sudah kita tempuh dengan amat baik. Akhirnya, kita harus sadari
bahwa hal itu tentu bukan perkara mudah, namun bukan berarti tak
mungkin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar