SEORANG tua, berusia sembilan puluh tahun, membuka pintu rumahnya,
menjelang tengah malam, ketika mendengar ketukan. Seorang perwira
militer, membawa jenazah, yang tak lain, adalah putranya sendiri, Hasan
al-Banna. Maka, 12 Februai l949, adalah peristiwa pertama, yang
bersejarah, yang dialami Jamaah Al-Ikhwanul Al-Muslimun, di mana
pemimpin jamaah itu, dibunuh aparat Raja Farouk.
Malam itu, sang
perwira member instruksi kepada orang tua itu: “Tidak boleh ada suara,
tidak boleh ada tangis, tidak boleh ada ucapan belasungkawa, dan tidak
boleh orang lain yang ikut mengurus jenazah itu, tidak boleh ada yang
mengiri jenazah ke tempat pekuburan. Kecuali, keluarga yang berada di
rumah itu, dan pukul sembilan pagi, jenazah itu sudah harus dikubur”.
Menjelang
pagi hari , perwira itu datang lagi, dan memberi perintah: “Bawalah
anakmu untuk dikubur!”. “Bagaimana cara membawanya.Silakan tentara
membawa?”, tegas orang tua itu. Perwira itu balik membentak :
“Keluargamu yang membawa! Cepat!”.
Di pagi hari, orang tua yang
sudah lanjut usianya itu mengurus sendiri anaknya. Ia mengusap seluruh
tubuh anaknya yang penuh dengan darah, akibat rentetan tembakan. Orang
tua itu menshalatkan jenazah Hasan al-Banna bersama anak lekakinya yang
masih kecil dan keluarga wanitanya. Kemudian, menggali liang dan
menguburkan jenazah anaknya bersama dengan isteri dan putri-putrinya,
tanpa bantuan siapapun.
Di saat yang hampir bersamaan, Raja Farouk
mengadakan pesta besar, merayakan ulang tahun kelahirannya, 11- 12
Februari, l949, di Amerika, perpaduan antara ulang tahun raja, dan
perayaan atas kematian Hasan al-Banna, yang sangat meriah.
Kematian
Hasal al-Banna, tak berarti berakhirnya perjuangan Jamaah Ikhwan,
karena jamaah itu selanjutnya, dipimpin oleh orang-orang yang
sungguh-sungguh, kompeten, dan komit terhadap cita-cita al-Islam.
Bahkan, jamaah itu terus berkembang, hingga hari ini ke seluruh penjuru
dunia.
Umar Tilmisani, Mursyid Aam Al-Ikhwanul Al-Muslimun, yang
ketiga, mengisahkan pertemuan pertama di rumah Hasan al-Banna, yang
sangat berkesan. Karena, Umar adalah berasal dari keluarga terpandang
dan kaya. Sebelum masuk Jamaah Ikhwan, Umar adalah pengacara terpandang,
dan berkantor di Syabin Qanatir, serta tinggal di villa (real estate)
Tilmisan. Ketika Mursyid Ketiga itu, masuk ke rumah Hasan al-Banna, dia
mendapatkan rumah pemimpin Jamaah Ikhwan itu, ruangan yang gelap, hingga
tak dapat dilihat oleh mata. Ketika al-Banna membuka satu-satunya
jendela yang menghadap ke jalan, Umar melihat sebuah meja kecil yang
sederhana dan berdebu.
Maka, ketika Umar duduk di kursi dan
meletakkan sapu tangan di tempat duduknya, Hasan al-Banna tersenyum.
Dan, Umar merasa agak malu, ketika melihat Hasan al-Banna tersenyum,
apalagi waktu itu, Umar mengenakan jas, yang sangat mewah. Namun,
kehidupan pribadi Umar Tilmisani itu berubah, sesudah berinteraksi
dengan Hasan al-Banna, dan terlibat dalam Jamaah Al-Ikhwan.
Mush’ab
bin Umair Radhiyallahu anhu, yang masih muda, dan meninggalkan seluruh
kehidupan remajanya. Ia meninggalkan kemewahan, yang dinikmatinya, dan
beralih menjalani kehidupan keras, miskin, dan penuh derita. Mush’ab,
yang awalnya hidup mewah, hanya punya satu baju untuk kafannya, ketika
meninggal. Jika Sahabat menutup kakinya, maka kepalanya terlihat. Lalu,
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam, menyuruh Sahabat menutup kepala
Mush’ab bin Umair dengan bajunya, dan meutup kedua kakinya dengan pohoh
idzkir.
Shalahuddin al-Ayyubi, seluruh sisa hidupnya, dihabiskan
diperkemahan padang pasir, yang terik menyengat. Ia tinggalkan istana
yang penuh dengan kemewahan dan kenikmatan duniawi. Shalahuddin, yang
berhasil memenangkan di perang Hitthin, dan memporak-porandakan pasukan
Salib itu, begitu besar cintanya dengan jihad. Sehingga, hari-hari yang
dilalui hanya bersama para pejuang (mujahidin) di padang pasir.
Khalifah
Umar bin Abdul Aziz, hidup penuh dengan wara’ dan zuhud, tak pernah
terpengaruh dengan kehidupan dunia. Meskipun, ia memiliki kedudukan
sebagai khalifah. Seluruh hidupnya diabdikan untuk kaum muslimin. Hanya
dalam waktu dua tahun pemerintahannya, tak lagi menemukan orang-orang
yang berhak mendapat zakat sebagai fakir miskin (mustahiq). Dan, ketika
Umar bin Abdul Aziz meninggal, ia hanya meninggalkan jubah dan terompah
yang lusuh.
Hari ini, Dunia Islam, de facto terjajah kembali, dan
dikuasai oleh Israel dan Amerika. Bukan semata-mata karena kekalahan
dalam perang. Pengusaan terhadap Dunia Islam, tidak lagi melalui
kekerasan semata-mata, tapi hanya dengan cara menguasai para
penguasanya. Dan, mereka secara moral telah kalah. Dunia Islam dikuasai
oleh orang-orang yang secara fisik kuat, dan hidup di dalam
istana-istana yang megah, yang penuh dengan kemewahan. Tapi, hakekatnya
adalah orang-orang yang ringkih, dan tidak memiliki kekuatan apa-apa.
Kehidupan
para pangeran dan putri serta anak-anak para penguasa di negara Timur
Tengah, mengalami dis-orientasi. Mereka sekolah di negara-negara Barat.
Mereguk kehidupan dan budaya Barat. Sehingga, secara perlahan-lahan
Barat berhasil menguasai negara-negara Timur Tengah, tanpa berperang,
dan mengeluarkan sebutir pun peluru. Karena, Barat berhasil menguasai
para putera mahkota.
Tak ada lagi kisah seperti yang terjadi di
awal generasi shalaf. Shalahuddin al-Ayyubi, Umar bin Abdul Aziz,
Mush-ab bin Umair, Mohammad al-Fatih, Hasan al-Banna. Dan, yang tersisa
adalah sebuah penomena yang sangat paradok, dibandingkan di masa awal
Islam, yang penuh dengan keindahan, gambaran pemimpin yang sangat
mengagumkan dalam kepemimpinann mereka.
Adakah solusi yang akan
dilakukan para generasi berikutnya, yang akan menghela nafas perjuangan
Islam di masa depan? Wallahu ‘alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar