BAGI masyarakat
Indonesia, Idul Fitri dan Halal bi Halal bagaikan dua sisi mata uang
yang tak bisa terpisahkan; saling berkelit kelindan mempercantik nuansa
masing-masing. Hari Raya Idul Fitri merupakan perayaan tahunan yang
sifatnya syar'i, dalam artian bahwa eksistensinya memang ditetapkan oleh
syariat. Lain halnya dengan Halal bi Halal yang status syar'i-nya masih
debatable di kalangan ulama, karena ia merupakan produk asli Indonesia
baik sisi penamaannya maupun cara pelaksanaannya.
Ada sementara kalangan yang enggan menamainya dengan istilah Halal bi
Halal, dikarenakan menurut mereka, istilah itu secara gramatika Bahasa
Arab tidak benar. Bahkan ada sementara kalangan yang menentang kegiatan
ini apabila isinya adalah kegiatan saling memafkan, dengan alasan bahwa
mengkhususkan maaf hanya pada Hari Raya Idul Fitri itu tidak dibenarkan
secara syariat (bid'ah). Namun demikian, semuanya menyadari bahwa tujuan
Halal bi Halal adalah mengharmoniskan hubungan kekerabatan. Tulisan
sederhana ini akan sedikit menelisik kembali esensi Halal bi Halal.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Halal bi Halal diartikan sebagai
hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, biasanya
diadakan di sebuah tempat oleh sekelompok orang. Ensiklopedi Indonesia,
1978, menyebutkan bahwa Halal bi Halal berasal dari Bahasa Arab yang
tidak berdasarkan gramatikanya yang benar sebagai pengganti istilah
silaturrahmi.
Sangat sulit menentukan awal mula tradisi Halal bi Halal ini digelar.
Drs. H. Ibnu Djarir menulis bahwa sejarah dimulainya Halal bi Halal ada
banyak versi. Menurut sebuah sumber yang dekat dengan Keraton
Surakarta, kegiatan ini mula-mula digelar oleh KGPAA Mangkunegara I,
yang masyhur dipanggil Pangeran Sambernyawa. Dalam rangka menghemat
waktu, tenaga, fikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri
diadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara
serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit melakukan sungkem
kepada raja dan permaisuri.
Pada perkembangannya, kegiatan ini ditiru oleh Ormas-ormas Islam
dengan nama Halal bi Halal. Kemudian ditiru juga oleh instansi-instansi
tertentu. Kegiatan ini mulai ramai berkembang setelah pasca-Kemerdekaan
RI. Dan biasanya dilaksanakan tidak hanya pada tanggal 1 Syawal saja,
melainkan juga pada hari-hari berikutnya yang masih hangat dengan nuansa
Idul Fitri.
Jika ditinjau secara etimologis Bahasa Arab, hemat penulis, istilah
Halal bi Halal tidaklah patut disalahkan. Meskipun istilah ini asli made
in Indonesia dan tidak di kenal di dunia Arab, apalagi di dunia Islam
lainnya, namun tidaklah meniscayakan istilah ini tidak benar secara
Arabic. Dalam ilmu Bahasa Arab sering dijumpai teori izhmâr (sisipan
spekulatif pada kalimat). Setidaknya ada dua cara agar istilah Halal bi
Halal ini benar secara bahasa dengan pendekatan teori tersebut. Pertama Halal bi Halal menjadi: thalabu halâl bi tharîqin halâl; mencari kehalalan dengan cara yang halal. Kedua, halâl "yujza'u" bi halâl; kehalalan
dibalas dengan kehalalan. Untuk yang kedua ini hampir sepadan dengan
redaksi ayat al-Qur'an saat berbicara hukum qishâs "anna al-nafsa bi al-nafsi, wa al-'aina bi al-'aini; sesungguhnya
jiwa dibalas dengan jiwa dan mata dibalas dengan mata" (QS. Al-Maidah:
45). Dalam redaksi ayat tersebut, mufasir biasanya memahaminya dengan
teori izhmâr, menjadi: anna al-nafsa "tuqtalu" bi al-nafsi, wa al-'aina "tufqa'u" bi al-'aini. Hanya bedanya kalau Halal bi Halal berbicara dalam konteks positif, sedangkan redaksi ayat tersebut dalam konteks negatif.
Merujuk kepada keterangan Prof. Dr. Quraish Shihab, bahwa istilah
Halal bi Halal adalah bentuk kata majemuk yang pemaknaannya dapat
ditinjau dari dua sisi: sisi hukum dan sisi bahasa. Pada tinjauan hukum,
halal adalah lawan dari haram. Jika haram adalah sesuatu yang dilarang
dan mengundang dosa, maka halal berarti sesuatu yang diperbolehkan dan
tidak mengundang dosa. Dengan demikian, Halal bi Halal adalah menjadikan
sikap kita terhadap pihak lain yang tadinya haram dan berakibat dosa,
menjadi halal dengan jalan mohon maaf. Namun tinjauan hukum ini secara
hakikat belum menyentuh tujuan Halal bi Halal itu sendiri yang merupakan
untuk mengharmoniskan hubungan. Karena dalam bagian halal terdapat
hukum makruh, tidak disenangi dan sebaiknya tidak dikerjakan, seperti
menceraikan isteri yang justru lepas dari tujuan mengharmoniskan
hubungan.
Sedangkan pada tinjauan bahasa, kata halal yang darinya dapat
terbentuk beberapa bentuk kata memiliki varian makna, antara lain:
“menyelesaikan masalah”, “meluruskan benang kusut”, “melepaskan ikatan”,
“mencairkan yang beku”, dan “membebaskan sesuatu”. Bahkan jika langsung
dikaitkan dengan kata dzanbin; halla min dzanbin, akan berarti
“mengampuni kesalahan”. Jika demikian, ber-Halal bi Halal akan menjadi
suatu aktivitas yang mengantarkan pelakunya untuk menyelesaikan masalah
dengan saudaranya, meluruskan hubungan yang kusut, melepaskan ikatan
dosa dari saudaranya dengan jalan memaafkan, mencairkan hubungan yang
beku sehingga menjadi harmonis, dan seterusnya. Kesemuanya ini merupakan
tujuan diselenggarakannya Halal bi Halal.
Oleh sebab itu, maka makna filosofis Halal bi Halal berdasarkan teori
izhmâr tadi dengan analisa pertama (thalabu halâl bi tharîqin halâl)
adalah: mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan
dengan cara mengampuni kesalahan. Atau dengan analisis kedua (halâl
"yujza'u" bi halâl) adalah: pembebasan kesalahan dibalas pula dengan
pembebasan kesalahan dengan cara saling memaafkan.
Saling memaafkan dan menyambung tali silaturrahmi merupakan ajaran
luhur dalam Islam. Setiap saat kaum Muslim harus mengindahkan ajaran ini
tanpa memandang hari dan momen tertentu. Jadi tidak terbatas saat Idul
Fitri saja. Bahkan secara tegas Allah Swt. akan melaknat orang yang
memutuskan tali persaudaraan (QS. Muhammad: 22-23). Rasulullah juga
menyabdakan yang artinya, "Tidak ada dosa yang pelakunya lebih layak
untuk disegerakan hukumannya di dunia dan di akhirat daripada berbuat
zalim dan memutuskan tali persaudaraan." (HR. Ahmad dan al-Tirmidzi).
Betapa pentingnya memelihara hubungan persaudaraan agar tidak kusut,
sampai-sampai Allah dan Rasul-Nya menegaskan laknat besar sebagai
ganjaran bagi pemutus tali silaturrahmi. Bahkan urgensitasnya tampak
begitu jelas manakala memelihara silaturrahmi ini dikaitkan dengan
keimanan seorang Muslim. Seperti dalam hadits, "Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka sambunglah tali silaturrahmi." (HR. Al-Bukhari). Kegiatan ini juga sangat banyak nilai positifnya bagi kehidupan duniawi. Rasulullah menyabdakan, "Siapa saja yang ingin diluaskan rizkinya dan dipanjangkan pengaruhnya, maka sambunglah tali persaudaraan." (HR.
Al-Bukhari dan Muslim). Oleh sebab itu, dalam dunia karir pun manusia
tak bisa lepas dari ketergantungan relasi dan partner.
Halal bi Halal menjadi momen yang sangat tepat untuk memperbaharui
dan mempererat persaudaraan. Aktivitas manusia yang begitu sibuk, bahkan
sering mengharuskannya jauh dari kerabat, sangatlah membutuhkan suasana
Halal bi Halal. Paling tidak agar acara tahunan itu benar-benar menjadi
perhatian khusus untuk ber-silaturrahmi dan saling memafkan bagi semua
pihak. Ketimbang jikalau tidak ada acara tahunan seperti itu, mungkin
kesibukan akan meleburkan perhatian mereka akan pentingnya
ber-silaturrahmi.
Saling maaf-memaafkan pada saat Idul Fitri dan Halal bi Halal bukan
berarti mengkhususkan maaf hanya pada momen itu saja. Terlebih dikatakan
sebagai menambah-namabahi syariat (bid'ah). Yang terpenting adalah
Muslimin meyakini bahwa saling memaafkan tidak memiliki batas waktu.
Karena, jika sampai meyakini bahwa memaafkan dan silaturrahmi hanya
berlaku saat Idul Fitri atau Halal bi Halal saja, itulah yang salah
secara syariat.
Halal bi halal adalah salah satu bukti keluwesan ajaran Islam dalam
implementasi nilai-nilai universalitasnya. Nilai universalitas
silaturrahmi yang diajarkan bisa menjelma menjadi beragam acara sesuai
dengan kearifan lokal masing-masing daerah, dengan catatan tetap
mengindahkan norma-norma Islam yang sudah ditentukan. Maka tidak boleh
tercampuri kemaksiatan apa pun dalam implementasinya. Setelah manusia
berbuat baik kepada Allah dengan berpuasa sebulan penuh; mengabdikan
diri kepada-Nya. Maka pada momen Idul Fitri dan Halal bi Halal, giliran
mereka meneguhkan kesadaran persaudaraan antar sesama dengan saling
memafkan dan berbagi keceriaan. Aktivitas ini sangat indah sebagaimana
diisyaratkan surat al-Hajj ayat 77,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu,
sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah kebaikan supaya kamu mendapat
kemenangan." Dan surat al-A'raf ayat 199, "Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh." Maka, Halal bi Halal meskipun asli kelahiran Indonesia, namun esensinya tetap Islami.
Oleh: Pandi Yusron
Tidak ada komentar:
Posting Komentar